Beranda / Young Adult / Cintaku, Berhenti di Kamu / Satu Raja untuk Dua Ratu

Share

Satu Raja untuk Dua Ratu

Penulis: Sigi Allegra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 05:51:15

"Fady, No.." Binar tak kuasa lagi berkata-kata, tapi masih mencoba sebisanya 'membujuk' Fady untuk berhenti.

Fady berhenti sejenak, hendak menatap Binar, tanpa melepaskan kuasa tangannya yang tengah menjelajahi Binar.

"Panggil, Sayang! Atau aku hukum kamu lebih dari ini!" Ucap Fady dengan nada ancaman, kemudian beranjak meneruskan 'pekerjaannya' yang tertunda.

Binar yang sudah tidak lagi memiliki cara untuk menyelamatkan diri, hampir memilih menyerah, sampai terdengar dering telepon yang bergetar di meja.

"Sayang," Binar menahan dada Fady yang hendak mendekat ke tubuhnya.

"Itu handphone kamu" Lanjutnya lagi.

"Biarin aja, Sayang. Siapa juga nelpon weekend pagi pagi, gak mungkin soal kerjaan." Tegas Fady.

"Gimana kalau Umi?" Ujar Binar mengingatkan.

Fady menghela nafas berat dan mencoba meluruskan tubuhnya yang tengah menguasai Binar dengan enggan.

Ternyata dugaan Binar benar, itu Umi Fady yang menelepon. Iapun mencoba mengatur nafas untuk meredakan hasratnya yang tertunda, kemudian menekan tombol hijau.

"Iya, Mi. Ada apa?" Satu kalimat yang kemudian dibalas racauan oleh Umi di ujung telpon sana yang membuat Fady sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Abang lagi dimana sih, Bang? Umi WA dari shubuh ga ada balasan sama sekali! Kamu itu sebenarnya lagi dimana? Umi telpon si Kiki katanya kamu ga nginep disana." Umi dengan nada marah khas ibu-ibu mengomeli Fady.

"Waduh gawat nih ketauan" batin Fady yang hampir kehabisan akal untuk mencari alasan soal keberadaannya saat ini.

Mendapati anaknya yang lama memberi jawaban, Umi semakin sewot.

"Abang kalau masih peduli sama Umi, pulang sekarang!" Perintah Umi yang mustahil bisa ditolak.

Fady yang sudah tidak tahu harus merespon apa, akhirnya hanya mengiyakan.

"Iya, Mi. Abang pulang sekarang."

Binar yang mendengar percakapan Fady dan Umi di telepon merasa tidak enak hati tapi juga lega, karena akhirnya ia 'terselamatkan' dari ganasnya Fady.

"Sayang, Umi kenapa?" Ucap Binar untuk memecah ketegangan.

"Umi ada WA aku buat minta temenin ke rumah Neng hari ini, aku ga pegang hp kan dari semalem, fokus ke kamu" Jelas Fady sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya, sesekali menggaruk kepalanya yang tak gatal. Untuk urusan Umi, membuat dirinya panik setengah mati.

"Ya udah gih mandi siap-siap pulang. Nanti Umi nungguin makin marah lagi." Ucap Binar.

Fady menyimpan ponselnya di meja kemudian duduk menghadap Binar dan meraih pipinya.

"Sayang, masih kangen." Rengek Fady sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Binar untuk mengecup bibirnya.

"Kangen kangennya bisa nanti lagi," Hibur Binar sambil membalas kecupan Fady sekali lagi.

"Ah emang maunya kamu ini mah," Celetuk Fady pura-pura kesal lalu beranjak ke kamar mandi.

Sementara itu Binar menarik nafas lega, akhirnya ia terselamatkan.

---

"Nanti aku video call ya kalo udah selesai anter Umi" Ucap Fady saat berpamitan dengan Binar.

"Iya sayang"

Belum jauh dari pintu apartemen Binar, Fady mengirimi Binar pesan teks.

Fady:

Pake daster tali ijo yang aku beliin kemarin ya, ada yang belum tuntas nih.

Binar :

Nggak ah ga suka.

Fady :

Please sayang..

Binar :

Lagian beliin daster modelannya 'haram' semua, ijo lagi warnanya. Aku jd kayak ulet daun makenya.

Fady :

Kan pas kamu yang pake cakep sayang, seksi hehe... Aku sukanya ijo, seger aja gitu liatnya. Apalagi kamu yang pake, beuuuuh beneran kayak ulet daun sih, sayang, bikin aku gatel soalnya...

Binar :

ASTAGAAAA FADY FIRDAUUUS 😭

Itulah pesan teks terakhir mereka, karena kemudian Fady fokus menyetir mobilnya untuk segera sampai di rumah.

Bagi Fady, andaikan hidupnya ini sebuah kerajaan, ia bagaikan Raja yang memiliki dua Ratu, yang kondisinya sekarang harus segera memenuhi panggilan untuk menyambangi Ratu Agung di rumahnya, setelah selesai bercumbu dengan ratu kesayangannya yang lain.

Memanglah harusnya Ratu itu satu, karena tidak akan saling berebut perhatian sang Raja sampai membuatnya bingung harus menaruh prioritas pada Ratu yang mana.

Umi harusnya jadi Ibu Suri yang bijaksana, biarkan putranya ini menjadi Raja yang bijaksana juga untuk fokus meratukan pasangannya, batin Fady yang sudah melantur kemana-mana.

---

Sesampainya di rumah, Fady langsung bergegas masuk. Pintu rumah belum sempat tertutup rapat, tapi amarah Umi sudah lebih dulu menyambut.

“Masih inget jalan pulang?"

Nada tajam itu membuatnya diam di tempat. Tak ada tenaga untuk membantah. Hanya helaan napas panjang, menahan sisa lelah dari apartemen Binar yang seharusnya menjadi tempatnya menenangkan diri, bukan awal badai baru.

“Umi udah nanya ke Kiki. Katanya kamu gak pernah nginep di sana. Jadi kamu ke mana aja selama ini?”

Fady menunduk. “Mi..."

Belum selesai Fady menjawab, Umi sudah mendahuluinya dengan omelannya yang lain.

"Umi ga pernah ngajarin kamu buat bohong ya, Bang. Biar apa sih bohong begitu!" tegas Umi.

"Mi, Abang ga maksud bohong sama Umi. Abang cuma.." Fady terhenti sejenak, mencari kalimat yang pas untuk menggambarkan kondisi sebenarnya.

"Abang cuma ngerasa kalau Abang udah dewasa, Mi. Abang punya hak untuk hidup Abang sendiri. Abang butuh ruang." Akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Fady, walaupun sempat ragu ia katakan karena sudah bisa dibayangkan reaksi tidak terima Umi.

“Memangnya kalau dewasa itu artinya kamu jadi bebas gini? Abang mau menghindar dari Umi? Abang udah ga butuh pendapat Umi?”

"Ga begitu, Mi."

"Terus gimana? Kamu tuh anak laki-laki satu-satunya, Bang. Setelah Abi gak ada, kamu janji jadi sandaran keluarga. Tapi sekarang? Umi minta anter ke rumah Neng aja susah! Entah sibuk apa!”

Suara itu bergetar, separuh marah, separuh kecewa. “Padahal Umi cuma takut kamu salah jalan, Bang. Takut kamu salah pergaulan, apalagi soal milih pasangan, janganlah pilih perempuan yang gak jelas.”

Kata perempuan itu menusuk. Fady menahan diri untuk tak terpancing. Ia tahu, jika menyebut nama Binar sekarang, keadaan hanya akan memburuk.

Ia diam seperti biasanya. Tak membantah sedikitpun. Dan dalam diam itu, Umi terus bicara tentang usia Fady yang makin matang, tentang teman-temannya yang sudah menikah, tentang Trisya, adiknya Fady yang mungkin akan segera punya anak kedua. Tentang perjodohan yang katanya sudah ada calon baik-baik, anak teman pengajian Umi.

“Umi cuma mau kamu bahagia, Bang. Gak selamanya Umi bisa jagain kamu. Nikah, biar ada yang urus. Biar hidup kamu beres.”

Fady tak menjawab. Dalam hati ia menjerit, Aku sudah punya seseorang yang membuatku bahagia, Mi. Tapi kata-kata itu tak keluar.

Malam itu ia hanya masuk kamar, duduk lama di ranjang, dan memandang ponselnya yang berkedip tanda pesan dari Binar.

Binar :

Kamu udah sampai rumah, Sayang? Umi marah banget ya? Kabarin aku, ya. Aku khawatir.

Tapi Fady tak membalas. Meski sebelumnya sudah janji untuk 'video call', jangankan memikirkan hal itu, kondisinya sekarang, tangannya terasa berat. Kepalanya penuh.

Antara rasa bersalah karena berbohong pada Umi dan rasa ingin mempertahankan ketenangan yang Binar bawa.

Beberapa hari berikutnya, ia jadi lebih diam di kantor. Sibuk tenggelam dalam tumpukan proposal proyek besar yang sedang dikejar. Setiap kali ponsel bergetar, ia hanya menatap layar, membaca nama Binar, lalu meletakkannya lagi.

Ia pikir diam sebentar tak apa. Ia hanya butuh waktu. Tapi waktu itu ternyata membuat jarak.

Binar mulai gelisah. Pesan-pesannya makin pendek, makin jarang dibalas.

Binar:

Sayang, Kamu sibuk banget, ya?

Binar:

Kamu baik-baik aja, Sayang?

Binar:

Sayang, maaf ya kalau gara-gara aku kamu jadi berantem sama Umi.

Fady ingin menjawab semuanya dengan pelukan, tapi kepalanya seperti dipenuhi kabut.

Umi masih sering menanyai, “Kapan kamu siap kenalan sama anaknya Bu Marni?”

Sedangkan tiap malam, pikirannya justru kembali ke apartemen Binar, ke tawa pagi yang hangat, ke aroma masakan di dapur, ke pelukan yang terasa seperti rumah.

Ia ingin melawan, tapi tak tahu caranya tanpa membuat Umi kecewa.

Ia ingin menjelaskan, tapi takut Binar salah paham kalau tahu betapa rumit tekanan dari keluarganya.

Dan akhirnya, Fady memilih jalan yang paling mudah tapi juga paling menyakitkan: menjauh untuk sementara waktu.

Ia pikir, itu akan memberi ruang untuk berpikir jernih.

Tapi di sisi lain, Binar justru mulai bertanya-tanya, apakah cinta yang mereka bangun selama ini hanya terasa sepihak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Memilikimu Seutuhnya

    Udara Bandung malam itu dingin seperti biasanya. Tetesan embun sisa-sisa hujan menempel di kaca hotel. Suasa kamar dengan lampu yang temaram seolah menjadi latar pendukung untuk dua manusia yang sedang dimabuk rindu. "Sayang.. ahh" Desahan demi desahan lolos dari mulut Binar tanpa bisa ditahan. Melihat wanitanya sudah setengah "mabuk", Fady secara tiba-tiba berhenti yang membuat Binar menatapnya dengan tatapan sayu seolah berkata, "Ayo lanjutkan, sayang. Kenapa berhenti?" "Kalau kamu mau berhenti, berhenti sekarang. Selanjutnya, kamu gak akan bisa nahan aku lagi. Kita harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai." Ucap Fady sambil menelusuri tubuh polos Binar dari bibir turun ke bawah sampai perutnya. Binar sudah tak mampu berkata apapun. Kepalanya sudah tak mampu berpikir jernih, jangankan untuk menolak, bahkan kata "iya" pun sudah tak sanggup lagi dia katakan. Matanya memejam dan tubuhnya merinding hebat seolah terkena sengatan listrik yang disalurkan Fady lewat sentuhan, kec

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Rindu yang Tak Terbendung

    "Sayang, serius kamu mau ngelakuin itu sekarang?" Tanya Fady memastikan kembali. "Hmm. Kamu bawa pengaman?" Tanya Binar dengan tatapan yang sulit diartikan. Fady mengernyitkan dahinya, ia pikir Binar sudah ingin berhenti tadi, tapi kemudian menggodanya lagi, sekarang? "Ahh kamu ngerjain aku ya?" Sambil merebahkan tubuhnya yang tadi setengah menindih Binar. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba meredam gairahnya yang sudah sepenuhnya terpancing. "Gak enak kan ditarik ulur?" Ucap Binar sambil melirik Fady, seolah puas sudah berhasil mengerjainya. "Bin.." Panggil Fady dengan nada sedikit merengek tak terima. Sementara Binar hanya tertawa kecil melihat tingkah manja kekasihnya. "Ya udah ah, aku mau berendam air dingin aja." Ujar Fady sambil bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi menuju ke bath up. --- Untuk meredam hawa panas di tubuhnya akibat pergulatan yang tak tuntas, Fady berendam dalam air dingin di bath up, tentunya tanpa mengenakan baju. Ketika dia menc

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Bunga Lily dan Cokelat

    Langit Bandung sore itu kembali menangis. Rintik hujan turun deras, membasahi jalanan dan kaca mobil Fady yang berhenti di area parkir hotel. Di jok sebelahnya, sebuket lily putih terbungkus kertas cokelat muda. Di sampingnya, sekotak kecil cokelat premium dan secarik kertas yang ditulis terburu-buru namun penuh perasaan: "Tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan betapa beruntungnya aku bisa menjadi bagian dari hidup kamu. Terimakasih, Binar sayang." Fady menghela napas pelan. Ia tahu tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari alergi, tapi entah kenapa, langkahnya terasa ringan. Setelah merasa agak baikan, tadi ia segera pergi dari hotel untuk mencari apa yang pantas dihadiahkan pada Binar. Ia tak ingin menunggu. Ia ingin segera melihat senyum Binar, senyum yang selalu membuat hari-harinya terasa hangat. Tanpa payung, ia keluar dari mobil, membiarkan hujan membasahi rambut dan bahunya. Napasnya tampak mengepul di udara dingin, namun langkahnya terus menapak cepat menuju lobi.

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Kembali Hangat

    Setelah percakapan panjang di sofa itu, suasana kamar menjadi hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Fady bersandar ke belakang, matanya menatap langit-langit. Rasanya berat bukan karena kelelahan fisik, tapi karena emosi yang baru saja tumpah. Binar menatapnya sekilas. Ada sisa teduh di wajahnya, meski bibirnya belum sepenuhnya tersenyum. “Hmm. Udah gak ada yang mau diomongin lagi kan?” tanyanya pelan, mencoba menjaga agar suasana tak kembali tegang. Fady menegakkan tubuh, tersenyum kecil. “Udah. Makasih ya kamu masih mau dengerin.” Ia menatap jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. “Aku pamit, ya. Takutnya kamu mau istirahat.” Binar sempat menatap heran. “Loh, pamit kemana?" “Mau booking kamar.” jawab Fady ringan, berusaha terdengar wajar. “Ngga mungkin tidur sekamar kan? Lagian kamu pasti capek, aku gak mau ganggu waktu istirahat kamu.” Binar mengangguk pelan, tidak menahan, tapi ekspresi matanya sempat berubah sejenak seolah ada rasa iba yang tidak i

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Kesempatan Kedua

    Telepon di kamar hotel berdering pelan, membuat Binar yang tengah berbaring terkejut. Ia baru saja menutup laptop, bersiap tidur setelah hari panjang rapat di Bandung. Suaranya serak ketika mengangkat. “Halo?” “Selamat malam, Mbak Binar,” suara sopan dari resepsionis terdengar. “Ada tamu atas nama Fady, katanya ingin menyampaikan sesuatu secara langsung. Apakah diperkenankan untuk kami teruskan?” Binar membeku. Nama itu yang berhari-hari berusaha ia hindari muncul begitu saja, menghantam dadanya tanpa peringatan. “Dia... masih di sana?” “Masih, Mbak. Duduk di area lobi depan lift.” Binar terdiam cukup lama sebelum menjawab singkat, "Suruh naik aja, Mbak. Saya sudah mau istirahat." Suara ketukan di pintu kamar membuat Binar terdiam. Ia baru saja menerima panggilan dari resepsionis dan meski awalnya enggan, entah kenapa langkahnya justru membawanya ke arah pintu itu. Begitu daun pintu terbuka, di sanalah Fady berdiri, dengan raut lelah dan lusuh. “Boleh aku masuk?” t

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Sepi

    Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di Apartemen Binar. Dan dalam tiga hari itu pula, Fady baru benar-benar menyadari bahwa tanpa Binar, hidupnya kesepian. Biasanya, sepulang kerja, jari-jarinya otomatis membuka pesan di ponsel. Mencari satu nama yang selalu ada di daftar paling atas, Binar. Sekadar menanyakan, “Udah makan?” atau, “Kamu capek ga hari ini?” Kini layar itu kosong. Tak ada balasan, tak ada kabar. Kemudian ia mengerti apa yang dirasakan Binar beberapa waktu lalu dan sangat memahami rasa muak itu. Rasanya diabaikan. Rasanya tak dianggap penting. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Di kepalanya, hanya ada satu suara, aku harus perbaiki ini. --- Keesokan harinya, Fady datang ke kantor Binar, tanpa memberi kabar dulu, tidak janji ketemu. Ia hanya menunggu di lobi, membawa kantong kertas berisi makanan kecil yang biasa disukai Binar, roti isi cokelat dan es kopi kesukaannya. Begitu Binar keluar lift, langkahnya terhenti seketika. Tatapannya ka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status