MasukPagi datang perlahan, menembus tirai tipis di jendela apartemen. Aroma hujan semalam masih menggantung samar di udara.
Binar terbangun lebih dulu. Fady masih terlelap di sebelahnya, napasnya teratur dan tenang. Sesekali jemarinya tanpa sadar menggenggam ujung selimut, seperti anak kecil yang takut kehilangan hangatnya. Binar menatap wajah itu lama, ada rasa tenang sekaligus aneh yang tak bisa dijelaskan, rasa yang muncul setelah malam panjang tadi. Ia turun pelan dari tempat tidur, berusaha tak membangunkan Fady, lalu menuju dapur. Suara pelan dari wajan, aroma telur goreng mulai memenuhi ruangan. Fady bangun beberapa menit kemudian, matanya masih setengah terpejam. Ia melihat punggung Binar yang sibuk di dapur dengan piyama tak berlengan, rambut digulung asal, dan langkah kecil yang nyaris tanpa suara. Entah kenapa, pemandangan sederhana itu terasa seperti rumah. Tanpa berpikir panjang, Fady bangkit dan berjalan mendekat. Ia berdiri di belakang Binar, ragu sejenak, sebelum berbisik pelan, “Sudah boleh dapat pelukan pagi?” Binar spontan menoleh, sedikit terkejut, lalu tertawa kecil. “Hmm… boleh. Tapi jangan lama-lama, nanti telurku gosong.” Fady tersenyum, kemudian melingkarkan tangannya ke pinggang Binar dengan lembut. Ia menyandarkan dagunya di pundak Binar, menarik napas panjang menghirup wangi tubuh alami Binar yang membuatnya candu. “Gosong juga gapapa,” gumamnya, setengah bercanda, setengah jujur. Binar terkekeh, tapi tubuhnya tak beranjak. Ada kehangatan aneh di dadanya. Ia bisa merasakan detak jantung Fady di punggungnya pelan, tapi pasti. “Sayang..” suaranya lirih. “Hm?" “Mau sampe kapan nih meluknya, aku ga bisa gerak." Fady tersenyum. “Gamau udahan," "Tapi gimana ini aku bawain sarapannya?" Tanya Binar. "Biarin aja dulu." Ujar Fady sambil menyembunyikan mukanya di ceruk leher Binar, yang sukses membuat Binar bergidik geli. "Sayang.. ihh udah yaa" "Diem sayang," Jawab Fady sambil terus manja dengan Binar. Binar tak membalas lagi, hanya tersenyum samar. Ia tahu, di titik ini mereka sudah melewati batas kenyamanan yang dulu dijaga terlalu rapat. Tapi anehnya, tidak ada rasa bersalah yang ada hanya tenang. Setelah beberapa saat, Fady melepaskan pelukannya, lalu membantu menyiapkan sarapan di meja. Mereka makan berdua, membicarakan hal-hal kecil seperti rencana hari itu, film yang ingin ditonton malam nanti, dan bercanda tentang siapa yang harus cuci piring. Binar menyandarkan dagu di punggung tangannya, menatap Fady yang tampak terlalu santai menikmati sarapan terakhirnya. “Kamu gak ada rencana keluar hari ini?” tanyanya sambil menyesap air putih. Fady menatap balik dengan tatapan malas tapi lembut. “Ada. Tapi cuma satu.” Binar menaikkan alis, pura-pura serius. “Apa tuh?” “Rebahan,” jawab Fady santai. “Rebahan disini.” Ia menepuk meja pelan. “Di apartemen kamu. Sama kamu. Nonton film, atau... ya, gak ngapa-ngapain juga gak apa-apa.” Binar terkekeh, “Dasar, mager banget ih.” “Bukan mager, sayang,” sahut Fady cepat, mencondongkan tubuh sedikit. “Aku cuma lagi pengin manja sama kamu lebih lama aja.” Binar menggeleng, pura-pura kesal, padahal hatinya hangat sekali. “Kalau gitu kamu yang cuci piring, ya. Aku udah masakin sarapan.” Fady berdiri sambil menegakkan bahunya seperti prajurit yang siap diperintah. “Siap, sayangku.” Suara air keran mengisi ruangan. Binar berdiri di samping meja, menatap punggung Fady yang sedang mencuci piring dengan serius, sedikit miring ke kanan karena wastafelnya kecil. Fady menoleh sambil menutup keran, “Kamu liatin aku dari tadi, ya?" “Enggak,” elak Binar cepat. Fady mendekat, dengan sisa air sabun di ujung jarinya. “Oh ya?” katanya pelan, lalu mengusap sedikit buih sabun di ujung hidung Binar. “Sayang ih!” seru Binar setengah tertawa, setengah sebal. “Tuh kan, senyum lagi,” ucap Fady, sambil menatapnya lembut. Binar mendorong pelan bahunya, tapi Fady tak mundur. Ia justru menunduk, menatap mata Binar dari jarak yang terlalu dekat untuk dianggap biasa. “Aku suka suasana kayak gini,” bisiknya. “Gak perlu pergi ke mana-mana. Cukup kamu aja di sini.” Keheningan kecil mengalir. Binar sempat menunduk, merasa dadanya berdebar tanpa alasan. Tapi saat Fady memeluknya dari belakang, hanya diam tanpa berkata apa-apa. Pelukan itu bukan lagi sekadar manja. Ada kehangatan baru, kelegaan, dan keyakinan yang perlahan tumbuh, mereka kini punya arah. --- Setelah dapur kembali rapi, Binar dan Fady berpindah ke ruang tamu. Sinar matahari menembus tirai krem, menciptakan nuansa lembut di seluruh ruangan. Di meja depan sofa, ada semangkuk kecil popcorn dan dua gelas jus jeruk dingin. Binar duduk bersandar, memegang remote. “Kamu mau nonton apa? Drama, action, atau dokumenter lagi kayak minggu lalu?” Fady sudah rebahan separuh di sofa, kepala bersandar di bahu Binar dengan santai. “Terserah kamu aja. Yang penting... ada kamu di sebelah aku.” Binar mendesah kecil, pura-pura malas. “Gombalnya gak pernah absen, ya.” “Tapi selalu berhasil bikin kamu senyum,” balas Fady, matanya masih terpejam. Film pun dimulai. Suara dialog pelan bercampur dengan suara kipas angin yang berputar lambat. Beberapa menit pertama berjalan dalam diam, sampai Fady mulai memainkan ujung rambut Binar, menggulungnya di jari. “Kamu tuh gak bisa diem ya,” kata Binar tanpa menoleh. “Gak boleh protes, ini Fady lagi mode manja," jawab Fady setengah berbisik. Ia kemudian bergeser sedikit, posisi rebahnya kini membuat wajahnya sejajar dengan pipi Binar. Napasnya terasa di kulit, cukup dekat untuk membuat Binar sulit berkonsentrasi pada film. “Sayang...” “Hm?” “Ini kamu mau nonton film atau gimana, dari tadi nyosor terus." Protes Binar. "Kenapa sih, Sayang?" Ujar Fady sambil menenggelamkan wajahnya ke leher Binar, mengeratkan pelukannya ke tubuh Binar dari samping seperti seorang bayi yang tidak ingin lepas dari ibunya. “Kalau gini terus, filmnya gak akan kelar, loh,” ucapnya pelan. “Biarin sayang,” jawab Fady dengan suara hampir berbisik. “Ending film bisa ditebak, tapi ending hari ini cuma kita yang tahu.” Pungkasnya sambil mengecup lembut leher Binar sampai ke bahu. Sementara itu, reaksi jujur tubuh Binar tak bisa dikendalikan, karena menerima sentuhan yang terus menerus, akhirnya sebuah desahan pelan keluar dari mulut Binar tanpa bisa ditahan. "Ahhh.." Hanya satu suara pendek tapi berhasil menjadi bahan bakar bagi Fady untuk melancarkan aksinya lebih lanjut. "Sayang. Please Stop!" Rengek Binar setengah tertahan. Mulutnya bisa saja berkata Stop tapi tatapan sayu mata Binar dan bahasa tubuhnya tidak bisa berbohong bahwa ia menginginkan lebih. Sementara tangan Fady entah sejak kapan sudah menyelinap ke dalam piyama Binar dan mengelus lembut perut ratanya. "Ohhh shit jangan disitu, ahh" batin Binar dalam hati yang sudah tak kuasa dia utarakan karena mulutnya hanya bisa mengeluarkan desahan demi desahan. "Jangan ditahan sayang, I will make you feel good" bisik Fady di telinga Binar, hampir tak terdengar karna berbarengan dengan suara dialog di televisi yang sedang memutar film. Tapi, sepertinya bukan mereka yang menonton film, melainkan televisi lah yang menyaksikan mereka melakukan adegan demi adegan yang seringkali muncul di drama atau film romantis dewasa.Udara Bandung malam itu dingin seperti biasanya. Tetesan embun sisa-sisa hujan menempel di kaca hotel. Suasa kamar dengan lampu yang temaram seolah menjadi latar pendukung untuk dua manusia yang sedang dimabuk rindu. "Sayang.. ahh" Desahan demi desahan lolos dari mulut Binar tanpa bisa ditahan. Melihat wanitanya sudah setengah "mabuk", Fady secara tiba-tiba berhenti yang membuat Binar menatapnya dengan tatapan sayu seolah berkata, "Ayo lanjutkan, sayang. Kenapa berhenti?" "Kalau kamu mau berhenti, berhenti sekarang. Selanjutnya, kamu gak akan bisa nahan aku lagi. Kita harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai." Ucap Fady sambil menelusuri tubuh polos Binar dari bibir turun ke bawah sampai perutnya. Binar sudah tak mampu berkata apapun. Kepalanya sudah tak mampu berpikir jernih, jangankan untuk menolak, bahkan kata "iya" pun sudah tak sanggup lagi dia katakan. Matanya memejam dan tubuhnya merinding hebat seolah terkena sengatan listrik yang disalurkan Fady lewat sentuhan, kec
"Sayang, serius kamu mau ngelakuin itu sekarang?" Tanya Fady memastikan kembali. "Hmm. Kamu bawa pengaman?" Tanya Binar dengan tatapan yang sulit diartikan. Fady mengernyitkan dahinya, ia pikir Binar sudah ingin berhenti tadi, tapi kemudian menggodanya lagi, sekarang? "Ahh kamu ngerjain aku ya?" Sambil merebahkan tubuhnya yang tadi setengah menindih Binar. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba meredam gairahnya yang sudah sepenuhnya terpancing. "Gak enak kan ditarik ulur?" Ucap Binar sambil melirik Fady, seolah puas sudah berhasil mengerjainya. "Bin.." Panggil Fady dengan nada sedikit merengek tak terima. Sementara Binar hanya tertawa kecil melihat tingkah manja kekasihnya. "Ya udah ah, aku mau berendam air dingin aja." Ujar Fady sambil bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi menuju ke bath up. --- Untuk meredam hawa panas di tubuhnya akibat pergulatan yang tak tuntas, Fady berendam dalam air dingin di bath up, tentunya tanpa mengenakan baju. Ketika dia menc
Langit Bandung sore itu kembali menangis. Rintik hujan turun deras, membasahi jalanan dan kaca mobil Fady yang berhenti di area parkir hotel. Di jok sebelahnya, sebuket lily putih terbungkus kertas cokelat muda. Di sampingnya, sekotak kecil cokelat premium dan secarik kertas yang ditulis terburu-buru namun penuh perasaan: "Tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan betapa beruntungnya aku bisa menjadi bagian dari hidup kamu. Terimakasih, Binar sayang." Fady menghela napas pelan. Ia tahu tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari alergi, tapi entah kenapa, langkahnya terasa ringan. Setelah merasa agak baikan, tadi ia segera pergi dari hotel untuk mencari apa yang pantas dihadiahkan pada Binar. Ia tak ingin menunggu. Ia ingin segera melihat senyum Binar, senyum yang selalu membuat hari-harinya terasa hangat. Tanpa payung, ia keluar dari mobil, membiarkan hujan membasahi rambut dan bahunya. Napasnya tampak mengepul di udara dingin, namun langkahnya terus menapak cepat menuju lobi.
Setelah percakapan panjang di sofa itu, suasana kamar menjadi hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Fady bersandar ke belakang, matanya menatap langit-langit. Rasanya berat bukan karena kelelahan fisik, tapi karena emosi yang baru saja tumpah. Binar menatapnya sekilas. Ada sisa teduh di wajahnya, meski bibirnya belum sepenuhnya tersenyum. “Hmm. Udah gak ada yang mau diomongin lagi kan?” tanyanya pelan, mencoba menjaga agar suasana tak kembali tegang. Fady menegakkan tubuh, tersenyum kecil. “Udah. Makasih ya kamu masih mau dengerin.” Ia menatap jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. “Aku pamit, ya. Takutnya kamu mau istirahat.” Binar sempat menatap heran. “Loh, pamit kemana?" “Mau booking kamar.” jawab Fady ringan, berusaha terdengar wajar. “Ngga mungkin tidur sekamar kan? Lagian kamu pasti capek, aku gak mau ganggu waktu istirahat kamu.” Binar mengangguk pelan, tidak menahan, tapi ekspresi matanya sempat berubah sejenak seolah ada rasa iba yang tidak i
Telepon di kamar hotel berdering pelan, membuat Binar yang tengah berbaring terkejut. Ia baru saja menutup laptop, bersiap tidur setelah hari panjang rapat di Bandung. Suaranya serak ketika mengangkat. “Halo?” “Selamat malam, Mbak Binar,” suara sopan dari resepsionis terdengar. “Ada tamu atas nama Fady, katanya ingin menyampaikan sesuatu secara langsung. Apakah diperkenankan untuk kami teruskan?” Binar membeku. Nama itu yang berhari-hari berusaha ia hindari muncul begitu saja, menghantam dadanya tanpa peringatan. “Dia... masih di sana?” “Masih, Mbak. Duduk di area lobi depan lift.” Binar terdiam cukup lama sebelum menjawab singkat, "Suruh naik aja, Mbak. Saya sudah mau istirahat." Suara ketukan di pintu kamar membuat Binar terdiam. Ia baru saja menerima panggilan dari resepsionis dan meski awalnya enggan, entah kenapa langkahnya justru membawanya ke arah pintu itu. Begitu daun pintu terbuka, di sanalah Fady berdiri, dengan raut lelah dan lusuh. “Boleh aku masuk?” t
Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di Apartemen Binar. Dan dalam tiga hari itu pula, Fady baru benar-benar menyadari bahwa tanpa Binar, hidupnya kesepian. Biasanya, sepulang kerja, jari-jarinya otomatis membuka pesan di ponsel. Mencari satu nama yang selalu ada di daftar paling atas, Binar. Sekadar menanyakan, “Udah makan?” atau, “Kamu capek ga hari ini?” Kini layar itu kosong. Tak ada balasan, tak ada kabar. Kemudian ia mengerti apa yang dirasakan Binar beberapa waktu lalu dan sangat memahami rasa muak itu. Rasanya diabaikan. Rasanya tak dianggap penting. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Di kepalanya, hanya ada satu suara, aku harus perbaiki ini. --- Keesokan harinya, Fady datang ke kantor Binar, tanpa memberi kabar dulu, tidak janji ketemu. Ia hanya menunggu di lobi, membawa kantong kertas berisi makanan kecil yang biasa disukai Binar, roti isi cokelat dan es kopi kesukaannya. Begitu Binar keluar lift, langkahnya terhenti seketika. Tatapannya ka







