Share

06. Terhina

"Wuhuuuu...! Velove memang paling bisa diandalkan dalam urusan menyanyi, Sodara-sodara."

"Yo'i, Nin! Isyana-nya SMA 88 gitu loh!"

Kedua sahabatku kompak menyemangati dan memuji penampilanku. Mereka bahkan membawa pom-pom cheerleader, dan berteriak-teriak ketika aku berada di panggung.

"Apaan sih, kalian ini?" Aku tersipu mendengar pujian dari mereka berdua. Masa aku disamain sama Isyana Sarasvati yang punya suara merdu nan melengking indah itu? Kan malu kalau sampai ketahuan aku besar kepala. Eh?

Teman-teman sekelas yang lain pun ikut menyalamiku. Hari ini hari kelulusan kami. Setiap kelas diminta mengirimkan satu talenta untuk memeriahkan acara, dan aku yang dipilih oleh teman-teman untuk mewakili kelas kami.

Mereka masih heboh berceloteh tentang ini itu, tapi satu sosok yang aku cari tidak ada di antara mereka. Mataku mencari di setiap sudut, tetapi tak tampak batang hidungnya.

"Ngapain, Vel? Nyariin Jarjit ya?" tanya Sandra yang sudah ikut-ikutan menyematkan nama Jarjit pada pacarku.

"Hehehe, iya, San."

"Tadi sempat di sini, terus katanya nyariin papanya gitu," terang Sandra.

Aku hanya bisa ber-oh. Kalau sudah berkaitan dengan keluarganya aku tak berani banyak berkomentar.

"Lah, itu dia yang dicariin," seru Nina tak mau ketinggalan. "Panjang umur bener si Jarjit, pantesan serialnya Upin Ipin dari zaman gue masih TK sampai sekarang masih jalan terus. Hihihi."

"Hihihi." Sandra ikut cekikian mendengar lelucon Nina. Mereka berdua masih hobi saja meledekku, meskipun kami sekarang bukan murid SMA lagi.

Aku tak sanggup menahan senyumku demi melihat kekasihku berlari sumringah ke arahku. Secara reflek tanganku memeriksa rambutku, kalau-kalau ada helaiannya yang tidak rapi.

Sandra dan Nina bercie-cie menggodaku.

Dalam sekejap kekasihku telah berada tepat di depanku. "Ayo cepetan," ucap Erick seraya menarik tanganku tiba-tiba.

"Eh, mau kemana?" tanyaku berniat menolak.

"Udah, ikut aja." Erick terus menarikku dengan sedikit berlari, seolah ada hal penting yang ingin ia tunjukkan padaku. Kami melewati tatapan keheranan banyak murid yang masih berkerumun di gedung ini.

Saat kami sampai di lapangan tempat parkir, Erick berhenti. Aku pun berhenti dengan napas terengah-engah. Mata Erick celingukan.

"Eh, mana ya? Kok udah nggak ada?" tanyanya kebingungan. Pandangannya mengelilingi lapangan tempat parkir.

"Nyari siapa sih, Rick?" Kepo juga aku dibuatnya.

Erick memandangku sebentar, lalu kembali melihat sekeliling. "Papaku, tadi ada di sini. Aku bilang kepada Papa untuk menunggu karena aku mau ngenalin Papa ke kamu, tapi nggak tahunya dia keburu pergi. Huh!"

Lelaki itu mendengus kesal, dengan kaki menghentak ke tanah beberapa kali.

Duh, dikenalin ke Papa Erick? Mengapa tiba-tiba aku jadi deg-degan nggak karuan?

"Ya udah, mungkin papamu ada urusan penting, jadi harus cepat pergi," ucapku menenangkannya. Sebenarnya hatiku yang lebih lega, karena aku tidak jadi bertemu ayah Erick.

"Hmm, bisa jadi begitu," ujarnya mulai maklum. Kekesalan Erick memudar. Ah, syukurlah. Rasanya aku tidak sanggup kalau harus bertemu dengan orang tua Erick sekarang.

Di saat aku mulai tenang, secara mengejutkan Erick meremas tanganku.

"Aw! Apaan sih, Rick? Sakit tahu!" pekikku kesakitan.

"Sorry, Love. Aku terlalu bersemangat." Kekasihku menatapku dengan antusias. Duh, kok perasaanku jadi makin nggak enak ya? Erick nggak memikirkan ide gila, 'kan?

"Love..., kalau kita nggak bisa nemuin Papa di sini, kita samperin di rumah ya," usulnya tiba-tiba.

"Apah???"

Tolong! Rasanya aku mau pingsan.

***

"Ini Velove, pacar aku, Pa." Walau dengan raut muka tegang, Erick berhasil memperkenalkan aku pada papanya.

"Siang, Om, Tante." Aku menyapa orang-orang yang berada di ruangan ini. Suaraku nyaris serupa bisikan karena kegelisahan yang tiba-tiba mendera batinku.

Ada seorang pria tampan mirip Erick yang mungkin berusia pertengahan empat puluhan. Itu pasti Om Johan, Papa Erick. Di dekatnya ada seorang wanita anggun berwajah sendu, sepertinya dia mama tiri Erick.

Tapi ada satu orang yang tampaknya bukan anggota keluarga mereka. Setahuku Erick memang punya seorang saudara perempuan, tapi kakak, bukan adik. Kakak Erick juga sudah menikah dan tinggal di kota lain.

Perempuan muda yang ada di sini tampak begitu cantik dan modis dengan pakaian mewah, dan makeup cantik. Aroma parfumnya bahkan tercium dari tempatku berdiri. Penampilannya membuatku merasa seperti babu, sekalipun aku telah mengenakan gaun terbaikku.

"Pacar katamu?" Suara Om itu terdengar sinis. Sorot matanya tak bersahabat.

"Iya, Pa. Velove pacar aku, teman sekolahku di SMA 88. Dia yang sudah membuat aku semangat belajar lagi, sampai lulus dan jadi juara umum di sekolah. Aku serius sama dia, Pa. Nanti kalau aku sudah lulus kuliah, aku mau nikahin Velove," ujar Erick tanpa ragu.

Aku menggigit bibir. Ini tak seperti yang kuharapkan, walaupun aku telah memikirkan kemungkinan ini.

Kemarin saat Erick mengusulkan agar aku ikut ke rumahnya untuk bertemu papanya, aku langsung menolak. Bukannya aku tidak mau berkenalan dengan orang tua pacarku, tapi ... entahlah, aku punya perasaan tidak enak.

Erick berasal dari keluarga kaya raya, sedangkan aku cuma anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Jujur aku rendah diri.

Namun bukan Erick namanya kalau tidak ngotot. Dia bahkan memohon-mohon. "Ayolah, Love, please...," bujuknya sambil menggenggam erat tanganku.

"Aku ngajak kamu ketemu Papa, karena aku serius sama kamu, Love. Suatu hari nanti kita akan menikah pastinya, dan tidak mungkin aku tidak mengenalkan wanita pilihanku pada Papa," tambahnya lagi.

Setelah kupikir-pikir, benar juga perkataan Erick. Namun, tak berarti aku langsung yakin.

"Tapi, Rick...."

"Udah deh. Sekarang aku tanya, kamu serius nggak sama aku?" tanyanya dengan raut wajah sedikit kesal.

"Serius dong!"

"Makanya, ayo ketemu sama Papa. Ya? Atau kamu mau Papa yang nemuin kamu dan Bu Wiwin di panti?"

"Eh, enggak! Jangan!" tolakku cepat.

Wah, gawat kalau Papa Erick datang ke panti, sedangkan aku belum tahu orangnya seperti apa.

"Ya udah deh, aku ikut," jawabku pada akhirnya.

Dan di sinilah kami hari ini, di rumah keluarga Erick. Sedari kemarin aku terus menenangkan perasaan agar tidak overthinking, tapi ternyata kekhawatiranku itu benar terjadi.

"Jadi namamu Velove?" tanya pria itu.

Suara Papa Erick terdengar begitu dingin, rasanya seperti air es disiramkan ke mukaku.

"I-iya, Om," jawabku gugup.

"Hmm, kamu tinggal di mana? Apa pekerjaan ayahmu?" tanyanya lagi tanpa basa-basi.

Deg! Kalau bisa aku ingin menghilang ditelan bumi saja, ketimbang berada di situasi seperti ini. Aku bisa menebak ke mana arah pertanyaan Papa Erick ini.

"Pa! Jangan memojokkan pacarku seperti itu!" Erick mencoba membelaku.

"Memojokkan bagaimana? Pertanyaan Papa wajar saja kok."

Entah karena sudah lelah dengan situasi ini, atau ada kekuatan dari langit, akhirnya aku bisa membuka mulutku. "Saya tinggal di panti asuhan, Om. Saya anak yatim piatu, jadi saya tidak punya ayah," jawabku penuh ketegaran yang menyakitkan.

"Love...." Erick menatapku penuh penyesalan, entah apa yang ia sesali. Papa Erick mendengus penuh penghinaan.

"Memang kenyataannya begitu, Rick," ucapku berkata realistis. Ketimbang aku berbohong dan memalsukan identitasku, lebih baik aku berkata terus terang.

"Kamu sudah dengar sendiri kan, Rick?" Om Johan kembali bersuara. "Apa yang bisa kamu harapkan dari anak yatim piatu yang asal usulnya tidak jelas?"

"Papa!" teriak Erick mulai emosi.

"Paling-paling cuma mau numpang hidup enak dari harta kekayaan Papa."

Astaga! Seburuk itukah diriku di mata ayah Erick?

"Papa! Jangan keterlaluan ya! Velove tidak seperti itu."

Hatiku sakit saat mendengar hinaan Om Johan, tapi sepertinya Erick tidak kalah sakit, terlebih dia pasti malu dengan sikap papanya.

"Erick, dengarkan Papa. Kalau kamu cari istri, harusnya yang sepadan dengan kamu, punya kelas. Misalnya seperti Stella ini. Sudah bener kalau kamu sama Stella. Kenapa dulu harus putus?"

Oh, jadi gadis itu bernama Stella. Dan..., dia mantan pacar Erick?

Hatiku yang tadinya seperti dilempari dengan kerikil, kini serasa bagai ditimpuk dengan batu batu besar. Sakit banget! Bila hatiku ini terbuat dari daging, sudah pasti akan berdarah-darah.

Lalu seolah bagai mendapat lampu hijau, gadis cantik nan anggun yang sedari tadi menatapku dengan sinis itu tiba-tiba berdiri menghampiri aku dan Erick.

"Hai, Erick. Aku kangen lho," desahnya sembari menebar senyuman manis nan palsu.

"Hai, Velove. Aku Stella, calon tunangan Erick." Perempuan itu dengan manja bergelayut di lengan Erick. Sorot matanya memandangku hina.

Sudah cukup! Aku tak sanggup lagi. Tanpa permisi aku berlari ke luar, meninggalkan rumah itu, sebelum suara tangisan yang sedari tadi aku tahan di tenggorokanku pecah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status