Share

07. Nelangsa

"Love...."

"Erick sayang, di sini saja."

"Erick, tetap di sini! Turuti kata Papa!"

Suara-suara itu masih sempat kudengar tatkala aku keluar dari rumah mewah milik keluarga Erick, bersaut-sautan memenuhi indra pendengaranku.

Sepertinya pacarku ingin mengejarku, tapi sudah jelas cewek yang sedari tadi menempel di lengannya seperti ulat bulu itu tidak membiarkannya. Seruan Om Johan bahkan lebih keras lagi.

Akan tetapi aku masih berharap Erick akan menyusulku, karena aku percaya ia mencintai aku.

Dengan wajah bersimbah air mata aku berjalan tak tentu arah. Hatiku sakit tak terkira.

"Kenapa, Non, kok nangis?"

"Disakiti pacarnya ya, Mbak?"

Beberapa orang yang berpapasan denganku tampak menunjukkan perhatian dan keprihatinan saat melihat penampakanku yang berjalan gontai dengan muka amburadul. Kebanyakan hanya menatapku aneh, namun ada sebagian yang bertanya.

Saat merasa kelelahan, aku memilih untuk duduk di dekat trotoar. Kaki lelah berjalan, tetapi hatiku lebih lelah lagi.

Meskipun aku hanya gadis yatim piatu yang tinggal di panti, dan selama ini ada cukup banyak orang yang tak menganggapku, baru kali ini aku merasa begitu direndahkan, dan terhina.

'Erick... Erick...," batinku gejolak memanggil nama lelaki yang aku cintai itu. Aku masih berharap akan melihat dia berlari datang kepadaku, menenangkan dan meyakinkan aku bahwa aku yang paling penting buat dia, tidak soal apa pandangan keluarganya.

Tapi harapan itu sama sekali tidak terwujud. Saat aku tengok ponselku pun sama sekali tidak ada telepon atau pesan masuk darinya. Sungguh kah ia tak peduli kepadaku?

Dengan hati kacau aku pulang naik angkot. Tak aku pedulikan sesama penumpang yang sempat memperhatikan aku.

"Velove, kamu kenapa?" tanya Bu Wiwin saat aku sudah kembali ke panti. Ia memandang aku yang masuk dengan muka kusut.

Ketika aku melihat wajah prihatin Bu Wiwin, air mata yang sudah surut, kembali mengalir deras tak terbendung. Aku menangis di pelukan ibu pantiku, dan sambil tersedu-sedu aku menceritakan apa yang sudah terjadi.

"Sabar ya, Nak," katanya sembari terus mengusap punggungku. "Ditunggu saja, mungkin ada hal yang harus Erick bicarakan dengan orang tuanya. Pasti sulit baginya kalau harus melawan ayahnya. Nanti dia pasti datang lagi nyariin kamu."

"Iya, Bu." Aku mencoba tersenyum dan menyeka air mata yang membasahi kedua pipiku. Setidaknya aku merasa lebih lega, setelah bercerita kepada Bu Wiwin.

Akan tetapi kenyataannya Erick tak muncul juga, ia bagai hilang ditelan bumi.

Aku nelangsa. Seandainya kami putus, setidaknya dia mesti bilang, 'Velove, aku tidak bisa melawan papaku. Kita putus saja.' Menyakitkan, tapi akan terasa melegakan, ketimbang digantung tanpa kepastian seperti ini.

Aku bisa memahami seandainya Erick tak mampu melawan ayahnya, tapi jangan gantungkan aku seperti ini.

Setelah berhari-hari aku menunggu, Erick tidak juga muncul. Hatiku patah semakin parah, namun aku tidak bisa melupakannya begitu saja.

Kegalauanku sedikit terobati ketika Nina muncul di panti. Ia memang teman sejati yang menjadi saudara dalam kesesakan hati.

"Besok aku ke Bandung, Vel, aku jadi kuliah di sana," ucapnya dengan wajah sedikit sedih, sebab kami harus berpisah.

Nina memang sudah berulang-ulang menyebutkan tentang rencananya untuk kuliah di Bandung. Sedangkan Sandra malah sudah lebih dulu terbang ke Jogja.

"Kamu sendiri gimana? Nggak jadi ambil beasiswa itu?" tanyanya sembari menatapku dengan wajah prihatin. Nina, si jahil, sering bersikap cuek dan seenaknya saat aku senang, tetapi ia juga selalu tahu ketika aku sedih.

Aku tertunduk lesu dan menggelengkan kepalaku, ketika mendengar pertanyaan Nina. Aku tak berharap lagi bisa kuliah.

"Enggak, Nin. Lebih baik aku kerja saja. Kalaupun aku dapat beasiswa untuk bayar kuliahku, aku masih harus mikirin uang kos, makan, juga yang lain-lain. Tapi kalau aku kerja, aku nggak perlu mikirin itu, malahan aku bisa bantu keuangan di panti," terangku dengan perasaan pahit.

Nina memahami keresahanku. Sebenarnya alasan lain aku tidak mau mengambil beasiswa itu karena tidak mau lagi berurusan dengan Erick.

Kami sama-sama mendapat tawaran beasiswa di sebuah universitas di Jakarta. Kami bahkan sudah berencana untuk kuliah di tempat yang sama. Tapi dengan situasi sekarang ini, aku tidak ingin lagi melanjutkan rencana itu.

"Si Jarjit itu memang keterlaluan. Nggak perlu lagi kamu tangisi cowok macam itu, Vel, masih banyak yang lain. Dua tiga kaki meja, si Jarjit ke laut aja."

"Hahahaha."

Aku terpingkal-pingkal demi mendengar pantun Nina. Lucu sekali dia kalau sudah menirukan gaya teman Upin Ipin itu. Rasanya aku tidak ingat kapan terakhir aku tertawa selepas ini.

"Gitu dong, ketawa. Kembalikan Veloveku yang dulu selalu ceria," ucap Nina sembari menyenggol lenganku.

Aku tersenyum pada sahabatku itu. "Makasih ya, Nin. Kamu memang sahabat yang terbaik."

"Siapa dulu dong? Nina!" Kami pun tertawa lagi.

Awalnya ku pikir aku bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, walaupun cuma rendahan dan bergaji kecil. Namun dengan ijazah SMA saja, apalagi aku masih lulusan baru, tidak ada perusahaan yang mau menerima aku.

Rasanya hampir putus asa, tapi aku terus mencoba. Sampai suatu hari Bu Wiwin bilang ada lowongan di Indah Mart, sebuah minimarket yang letaknya tidak jauh dari panti, jadi aku mencoba melamar di sana, dan diterima.

"Makasih ya, Bu Iin, sudah mau menerima saya," kataku pada pemilik minimarket itu.

"Sama-sama, Velove. Ibu sudah kenal kamu dari kecil, kamu anak baik dan rajin jadi Ibu tidak ragu untuk menerima kamu bekerja di sini."

Jadilah aku mendapat pekerjaan di Indah Mart. Pekerjaannya tidak ringan dan gajinya tidak besar, tapi aku tidak mengeluh. Aku bersyukur bisa mendapat pekerjaan itu, setidaknya aku tidak menjadi pengangguran terlalu lama.

Bu Iin orang yang baik. Ia telah mengenal para ibu di panti, dan sesekali suka berbagi makanan dengan anak-anak di sini.

Bosku itu bahkan selalu memberi aku makan siang, sehingga aku tidak perlu membawa bekal dari rumah. Apa saja yang dia masak hari itu, makanan itu juga yang menjadi makan siangku. Itu sudah lebih dari cukup.

"Kalau ada makanan di meja, atau kulkas, ambil saja, makan. Kalau haus juga ambil air di dispenser. Buat teh atau kopi juga boleh. Anggap saja rumah sendiri," pesan Bu Iin.

"Terima kasih, Bu," sahutku sembari tersenyum lebar. Dalam hati aku berjanji akan bekerja keras dan rajin untuknya.

Siapa yang tidak bahagia punya bos sebaik itu?

Hari-hariku selalu sibuk, sehingga tidak ada kesempatan lagi memikirkan Erick atau rasa sakit hatiku. Walaupun terkadang aku masih teringat padanya, aku sudah lebih lapang hati, toh aku telah membuang semua harapan yang pernah kumiliki bersama Erick.

Bagaimanapun Erick adalah cinta pertamaku, tidak mungkin semudah itu aku melupakannya. Tapi aku yakin nanti aku akan move-on dari Erick. Pasti!

Lalu suatu hari saat aku sedang bekerja, keyakinan itu harus runtuh. Hatiku goyah lagi.

Kala itu aku sedang menata barang-barang di rak. Terdengar suara pintu minimarket terbuka.

"Selamat datang di In ...."

Ucapanku terputus. Aku tercengang melihat sosok yang memasuki toko, sampai barang yang aku pegang terjatuh.

Orang itu menatapku tajam namun sendu. Ia berjalan ke arahku tanpa ragu, dan tiba-tiba memelukku sangat erat.

"Love, aku kangen banget. Hidupku sepi tanpa kamu, rasanya seperti nggak bisa hidup. Walaupun berbulan-bulan kita tidak bertemu, cintaku padamu tak pernah sekalipun padam."

"Erick...."

Babak baru dalam hidupku telah dimulai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status