Wanita dengan payung hijau itu adalah sosok pertama yang aku lihat ketika aku tersadar. "Kamu sudah bangun, Nak? Saya Bu Berta yang membawa kamu ke rumah sakit. Namamu Velove?" tanya wanita berbadan tinggi besar itu. Ia tampak lega melihatku akhirnya siuman. Mungkin Bu Berta telah melihat kartu identitasku sehingga ia tahu namaku. Aku tersenyum dan mencoba bangun, namun rasanya kepalaku masih berat. Aku melihat jarum dan selang infus terpasang di lenganku. Sepertinya kemarin aku sekarat. "Tiduran saja dulu. Kamu tidak sadarkan diri selama tiga hari. Badanmu demam tinggi. Syukurlah sekarang kamu sudah sadar dan tidak demam lagi," ucap Bu Berta dengan lembut. Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari? Dan selama itu hanya mimpi buruk yang aku temui. Erick mengejarku. "Love, jangan pergi," ucapnya seraya membawaku ke dalam pelukannya. Ia mendekapku erat, seolah tak ingin aku pergi lagi. "Erick...." Aku sangat bahagia. Aku membalas pelukannya erat, tak ingin aku lepaskan. Dekapan Eri
"Silakan Ibu tanda tangan di sini." Seorang pria berpakaian formal menyodorkan satu map berisi dokumen kepadaku.Tanganku menggenggam erat dokumen itu dengan tubuh gemetaran. Ingin rasanya aku merobeknya, agar niat jahat mereka tak terwujud.Tapi ... ada tanda tangan suamiku di situ? Mendadak kepalaku terasa pening, mataku berkunang-kunang, seolah dunia ini akan runtuh."Velo!" seru Bu Berta yang menahan tubuhku supaya tidak jatuh. Ia membawaku ke kamar dan menyuruhku berbaring. Aku memejamkan mata. 'Sabar ya, Nak,' ucapku dalam hati seolah menguatkan bayi di dalam kandunganku. Aku merasakan tendangan yang cukup kuat di perutku, seakan-akan ia juga ingin menyemangati ibunya. "Bapak ini gimana sih? Kalau mau ngasih surat gugatan cerai lihat situasi dong! Kak Velo kondisinya lagi lemah gitu, habis sembuh dari sakit, sedang hamil pula. Tega bener sih? Nggak punya perasaan! Mikir dong, Pak!" teriak Selvi lantang. Ia memarahi orang-orang itu dengan garang. "Maaf, Dik. Kami cuma melaksan
[Kembali ke masa kini] Bu Berta mendengarkan ceritaku sambil berurai air mata. Ini kali pertama aku melihat dia menangis. Ibu kuat itu bersedih untukku. "Sini, Nak. Bu Ber mau berikan pelukan beruang untukmu," ucapnya dengan suara sendu. Aku mendengar keprihatinannya. Dengan penuh haru aku menghamburkan diri ke pelukan Bu Berta, wanita yang selama tiga tahun ini menjadi penolongku, seseorang yang telah ku anggap ibuku sendiri. Saat aku tak punya tempat berteduh, ia menjadi payung untukku. "Velo, bagaimana bisa kamu menyimpan semuanya sendirian selama ini, Nak?" sesalnya sembari terus mengusap kepalaku. "Maaf ya, Bu. Saya baru bisa cerita sekarang. Saya tidak ingin menjadi beban, dan sejujurnya saya malu dengan kisah hidup saya," sahutku penuh penyesalan. Bu Berta melepaskan pelukannya. Kedua tangannya memegang lenganku. "Kenapa malu, Sayang? Kamu tidak melakukan kejahatan yang melanggar hukum." "Bukan itu, Bu. Selama ini saya hanyalah seorang perempuan naif yang dibutakan oleh c
Apa maksud orang ini? Melamar jadi ayah Ricky? Terus aku yang ibunya Ricky ini akan dia anggap sebagai apanya? Istrinya? Nah, lho! Aku malah jadi mikir sampai ke situ, gawat nih! Mas-mas satu ini memang hobinya bikin baper. Sadar, Velove! Ingat siapa dirimu! Jangan sampai peristiwa dahulu terulang kembali! "Oh, kalau itu silakan hubungi bagian HRD ya, Pak. Saya hanya bagian cleaning service," kata Bu Berta yang melirikku dengan genit sebelum berjalan menuju rusunnya. "Bagaimana, Bu HRD? Apakah boleh? Ini anaknya mau lho sama saya." Pria itu bertanya dengan begitu percaya diri. "Heleh!" cemoohku meremehkan ucapannya. Mukaku saja yang mungkin terlihat santai, padahal jantungku dag dig dug der saja. "Masa Ibu nggak percaya sih? Nih, saya buktikan ya." Penghuni rusun 203 itu menyodorkan pipinya pada Ricky, dan tanpa ragu anakku menciumnya. "Tuh, kan! Ibu HRD sudah lihat sendiri kan?" tambah pria itu lagi sedikit pongah. Anakku memang sedekat itu dengan Mas Vincent Memang ya, pria s
Pernah dengar istilah 'muka Rambo hati Romeo'? Kata-kata ini kayaknya cocok menggambarkan tetanggaku satu ini. Kesan pertamaku saat mengamati penampilan dia, aku mikir, 'orang ini macam gelandangan saja.' Akan tetapi setelah melihat keramahan dan senyumannya, aku merasa dia orang yang baik. Kata orang kepribadian kita bisa dilihat dari sorot mata, dan dari matanya aku melihat kebaikan hati serta ketulusan. Senyumannya seolah berkata, 'Aku orang baik, jangan takut pada penampilanku. Aku tidak akan menyakitimu, apalagi membuat kamu menangis.' Seperti saat ini, dia tersenyum ramah kepadaku. Tentu saja aku membalasnya dengan ramah pula. Tapi kok lama-lama ada yang aneh ya? Dia tampak seperti menahan tawa, aku jadi bingung. Apa mukaku seperti badut, kok diketawain? "Oke, aku pamit dulu ya, masih mau ke tetangga yang lain. Sampai ketemu lagi, Ve," pamitnya sembari tetap tersenyum lebar. Dia berlalu bersama sekeranjang besar jeruk yang akan ia bagikan ke sesama penghuni rusun ini. "Mak
Sejak hari itu lorong di depan rumahku menjadi lebih ramai. Ada saja perempuan yang iseng lewat sembari memanggil-manggil tetanggaku itu. Mas Vincent yang mirip gelandangan itu, sekarang nampak ganteng dengan penampilan yang rapi dan bersih. Rambutnya dipangkas rapi dan kumis serta bulu halus lain di rahang dan pipinya juga dicukur bersih. Aku saja sampai melongo waktu pertama melihatnya. "Kenapa, Ve? Baru nyadar ya kalau saya ganteng?" ucapnya penuh percaya diri. "Mas Vincent memang ganteng kok. Hehe," jawabku jujur. Dia memang sudah tampan sebelum make over ini. Kadang aku diam-diam memperhatikan saat ia bersama Ricky, Mas Vincent tuh berwajah ganteng. Tapi setelah bercukur dengan benar dan merapikan rambut, ia jadi tampak bersih dan lebih muda. Nggak heran sih kalau para gadis di rusun ini tiba-tiba jadi tertarik padanya, dan berupaya mendekatinya. Mulai dari yang pura-pura lewat lalu memanggil, "Mas Vincent...." Membawakan makanan, "Mas, tadi saya masak rendang jengkol keba
"Luar biasa!" Suara tepuk tangan dari tiga orang itu memenuhi ruangan kafe ini. Aku tersenyum lebar dengan hidung kembang kempis. Walaupun sejenak, rasanya seolah aku kembali ke masa sebelum aku mengalami banyak kepedihan hati, saat jiwaku masih muda dan bebas. "Apakah kamu bisa mulai menyanyi malam ini, Velove?" tanya Pak Benny, sang manajer kafe. "Tapi saya belum persiapan apa-apa, Pak," dalihku seraya menutupi rasa malu. Aku sedikit menunduk melihat pakaianku yang ala kadarnya, mana pantas untuk tampil di panggung? "Pulang dulu saja, Velove. Sekalian minta tolong Bu Berta jagain Ricky," usul Mbak Ugi yang juga berada di ruangan bersama kami. "Eh, betul juga, Mbak." Kafe ini memang tidak jauh dari rusun. Kafe Edelweis namanya. Kafe yang cukup besar, dan sudah berdiri selama belasan tahun. Mbak Ugi yang aku sebutkan tadi adalah tetanggaku di rusun, tapi ia tinggal di lantai tiga. Wanita itu bekerja di kafe ini sebagai juru masak. Seperti aku, dia juga seorang janda, namun an
Jantungku, mengapa kamu harus berdebar-debar seperti ini? Walaupun ucapan pria itu melambungkan angan, tawa renyah dari bibirnya menunjukkan bahwa ia hanya bercanda. Aku tidak boleh kegeeran. "Mas Vincent kok bisa sampai sini?" tanyaku untuk menutupi kegugupan. "Bisa dong, kan punya kaki," candanya lagi. "Baru dua hari ditinggal, tetanggaku yang cantik ini tahu-tahu sudah jadi artis saja." "Artis apaan sih, Mas, orang cuma ngamen," sahutku sambil cengengesan. Memang dua hari ini Mas 203 tidak ada di rusun, entah ke mana. Katanya ada urusan yang harus dikerjakan, tapi aku juga tidak berani bertanya. Nanti dikiranya aku kepo. Yang jelas bisa melihatnya tiba-tiba muncul di sini membuatku merasa senang. "Kamu pulang naik apa, Ve?" tanyanya. Pria satu ini memang peduli kepadaku. "Hmm..., kata Bu Berta, Selvi mau pesankan ojol gitu ...," jawabku sedikit ragu. "Ojol? Bagaimana cara Selvi memesankan ojol untukmu kalau dia tidak tahu kapan tepatnya kamu pulang?" tanyanya dengan dahi ber