"Ekheeem!"
Suara dehaman yang cukup keras itu sontak membawa aku dan Erick ke dunia nyata.
"Maaf mengganggu, Mbak, tapi saya mau bayar nih, bukan mau nonton drakor," cakap seorang wanita dengan senyuman menggoda. Di tangannya ada keranjang dengan cukup banyak barang belanjaan di dalamnya.
"Eh, maaf, Bu," ucapku sambil menunduk.
Dengan perasaan malu, aku melepaskan diri dari pelukan Erick. Duh, untung ada ibu itu yang mau beli, kalau nggak pasti sudah ada adegan drakor beneran antara aku dan Erick. Tahu 'kan maksud saya?
"Sekali lagi maaf, ya, Bu." Aku merasa tidak enak kepada pembeli itu, sampai aku jadi salah tingkah dan kebingungan sendiri sewaktu kami telah berhadapan di depan meja kasir.
"Tenang saja, Mbak, pacarnya masih di situ tuh," ujar si ibu menunjuk ke arah rak-rak yang berisi makanan. Aku melihat Erick yang sempat mengintip sambil senyum-senyum kepadaku.
"Eh, iya, Bu," sahutku cepat.
Duh, gawat! 'Konsentrasi, Velove, konsentrasi!' batinku memarahiku.
"Semuanya lima puluh enam ribu lima ratus rupiah, Bu," ujarku sewaktu barang belanjaan sang pembeli selesai kuhitung.
"Nggak dikasih diskon, Mbak?" tanya wanita itu seraya menyerahkan uangnya.
"Kan tadi udah dikasih nonton drakor gratis, Bu. Hehe," jawabku sambil tertawa.
"Ah, si mbak ini, tadi juga belum selesai drakornya."
"Nanti nonton sendiri di rumah ya, Bu. Terima kasih sudah berbelanja." Aku menyerahkan tas plastik belanjaan kepadanya.
"Sama-sama, Mbak. Semoga kisah cintanya sukses, semanis drakor, ya." Lagi-lagi wanita itu tersenyum menggodaku.
"Hehehe, Ibu bisa saja. Hati-hati, Bu. Besok belanja lagi, ya."
Aku menghembuskan napas lega ketika akhirnya wanita itu meninggalkan toko.
Erick akhirnya muncul juga, setelah sekian lama menggantung hubungan kami. Aku pikir dia sudah mati, ternyata dia hidup lagi, dan semakin tampan saja.
Kupikir dia akan sengsara saat jauh dariku selama beberapa bulan ini, ternyata lelaki plin-plan itu masih sehat bugar dan tampak begitu bahagia. Rupanya hanya aku yang merana. Oh, kaum hawa, mengapa kalian menggunakan lebih banyak perasaan ketimbang pikiran?
Erick berjalan menuju kasir sambil membawa keranjang berisi barang belanjaannya.
Tanpa bicara ia menyerahkan barang yang ia beli satu per satu. Ada senyuman misterius di wajahnya.
Saat aku hendak melakukan scan pada barcode di bungkus makanan itu, aku menemukan hal yang aneh. Ada secarik kertas tempel (post-it) di barcode itu.
Aku melirik Erick dengan alis terangkat, tapi aku hanya melihat senyumannya semakin melebar. Tambah mencurigakan saja!
"Will ...."
Secara spontan aku membaca tulisan di kertas itu.
Saat aku meraih barang kedua, kembali aku menemukan kertas tempel yang menutupi barcode.
'You'
Oh, tidak! Apa-apan Erick ini? Apakah ini akan seperti yang aku pikirkan? Terpengaruh kegugupan, tanganku sedikit gemetar. Aku menggigit bibir dengan sejuta antisipasi dalam benakku.
'Marry'
'Me?'
Nah, ternyata apa yang aku pikirkan benar. Yang kayak gini nih masuk kategori romantis nggak, sih? Yang jelas jantungku deg-degan tidak beraturan. Aku dilamar oleh pria yang selama ini aku rindukan.
"Love," panggil Erick. Ia merogoh saku celananya lalu mengeluarkan kotak kecil berisi sebuah cincin.
"Maukah kau menikah denganku?"
***
Erick!
Pria ini sedari awal sudah melumpuhkan akal sehatku.
Entah dia yang perayu ulung, atau aku yang bodoh dan tergila-gila padanya, sampai aku mau menerima lamarannya tanpa banyak pertimbangan.
Ia menumbuhkan kembali perasaan yang hampir memudar, bahkan perasaan itu semakin kuat. Kata-katanya begitu meyakinkan.
"Maafkan aku karena baru muncul sekarang, Love. Ada banyak yang harus aku pertimbangkan dan lakukan," kata Erick dengan tatapan bersalah.
"Mengapa kamu tidak menghubungi aku sama sekali?" tanyaku dengan nada kecewa. Itu satu hal yang selalu menjadi pertanyaan dalam hatiku saat Erick menghilang selama berbulan-bulan.
"Papa mengambil ponselku, dan menggantinya dengan ponsel baru, dengan nomor baru pula. Aku sama sekali tidak hafal nomormu. Maafkan aku," sesalnya.
Erick tampak bersungguh-sungguh dan tulus. Pria muda ini menjelaskan untuk sementara ia harus menghentikan konfrontasi dengan papanya. Bagaimanapun ia masih bergantung pada papanya. Ia pun menggunakan rencananya untuk kuliah sebagai cara mengalihkan perhatian papanya dari keinginannya untuk menentang hubungan kami.
Seraya mengurus kuliahnya, Erick mulai memikirkan rencana untuk kembali padaku. Ia mulai menjual barang-barangnya yang cukup berharga, dan menabung untuk membiayai pernikahan dan rumahtangga kami nanti.
Pada akhirnya, setelah ia yakin Erick menemui papanya.
"Pa, tolong restui, aku ingin menikahi Velove." Ia bahkan sudah mengucapkan hal itu kepada papanya sebelum bertemu denganku.
"Apa kamu bilang? Papa sudah berkali-kali mengatakan bahwa Papa tidak sudi memberikan restu jika kamu menikah dengan anak panti itu. Kalau kamu masih nekat, pergi saja dari rumah, dan jangan lagi jadi anak Papa," kecam sang ayah.
Mungkin Om Johan mengatakan itu hanya sebagai ancaman, namun Erick sudah membulatkan tekadnya untuk memperjuangkan hubungan kami. Ia benar-benar pergi dari rumah.
"Aku sudah menyewa sebuah rumah kontrakan kecil untuk kita tinggal nanti, Love. Aku sudah kerja sebagai sopir ojol, sambil tetap kuliah. Apakah kamu keberatan jika kita hanya hidup sederhana?" Erick menggenggam tanganku dengan tatapan penuh harap.
Dengan mata berkaca-kaca aku menggelengkan kepala.
"Jangankan hidup sederhana, hidup susah pun akan aku jalani bersama kamu, Erick. Asalkan kamu selalu di sisiku."
Erick tersenyum bahagia. "Terima kasih, Love. Aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi," ucapnya sembari membawaku ke dalam pelukannya.
Dalam waktu singkat Erick bersama paman dari pihak almarhum mamanya datang melamarku, dan dua minggu kemudian kami menikah secara sederhana.
Tidak ada acara pernikahan mewah, resepsipun tidak ada. Kami hanya makan bersama ibu-ibu pengurus dan adik-adikku di panti sebagai ucapan syukur.
Setelah menikah aku ikut pindah ke rumah kontrakan Erick. Walau tidak berkantong tebal, Erick selalu berupaya memanjakan aku, dengan makanan ataupun barang-barang yang selama ini sulit aku miliki.
Masa awal pernikahan kami begitu membahagiakan. Dan malam-malam ketika kami memadu kasih, membuatku semakin jatuh cinta dan mengikatkan hatiku kepada Erick.
Aku masih tetap bekerja di minimarket untuk menambah pemasukan, tapi aku meminta pada Bu Iin untuk mengurangi jam kerjaku sehingga aku bisa punya lebih banyak waktu mengurus rumah. Untungnya bosku mengizinkan.
Dua bulan setelah kami menikah, aku hamil. Ada perasaan bahagia sekaligus khawatir karena usiaku belum genap dua puluh tahun. Bisakah aku mengurus anakku nanti?
"Tidak apa-apa, Love. Nanti waktu bayi kita lahir, kamu kan sudah dua puluh tahun. Jangan khawatir! Feeling seorang ibu pasti akan muncul dalam dirimu ketika anak kita sudah lahir nanti, dan ibu-ibu panti pasti akan selalu bersedia membantu," kata Erick menenangkan kegundahanku.
Erick memeluk tubuhku yang ada di pangkuannya sambil mengecupi seluruh wajahku.
"Iya, suamiku. Udah, ah, geli." Aku menahan wajah Erick dengan tanganku. Ia malah ganti menciumi tanganku.
"Aku bahagia, Love. Mari kita pikirkan saja bahwa sebentar lagi kamu akan jadi seorang ibu, dan aku jadi ayah," ucap Erick membuat perasaan bahagia memenuhi relung hatiku.
Kehamilanku tidak menyulitkan. Tidak ada morning sick, atau rasa pusing yang berlebihan. Anakku pasti anak yang baik karena tidak menyusahkan ibunya.
Suamiku terus mencurahkan perhatian kepadaku. Lalu beberapa bulan kemudian ia mulai berpikir tentang bekerja lebih giat agar bisa menabung untuk anak kami.
"Maaf ya, Love, aku jadi harus lebih sering meninggalkanmu sendirian, tapi aku pasti memikirkan dan merindukanmu," ucap Erick.
"Tidak apa-apa, Sayang." Aku meyakinkannya dengan senyuman lebar di wajahku.
Erick pergi kerja lebih pagi, dan pulang lebih malam, ditambah dia masih tetap kuliah, membuat frekuensi kebersamaan kami berkurang.
"Maaf, Love, kita tidur saja sekarang ya. Aku lelah sekali," kata Erick sewaktu aku mulai memeluknya di ranjang. Walaupun hamil aku tetaplah wanita yang memiliki keinginan untuk bermesraan dengan suamiku.
"Iya, Erick. Maaf ya, kamu jadi kelelahan karena bekerja keras. Tidurlah, suamiku."
"Makasih, istriku."
Dengan menahan rasa kecewa aku menyaksikan Erick balik badan memunggungiku dan tertidur. Bahkan tidak ada kecupan selamat tidur.
'Mungkin Erick benar-benar capek,' batinku. Dengan segenap kesabaran aku memakluminya.
Namun, sikap Erick semakin berubah. Walaupun tidak pernah berkata kasar, atau main tangan, ia tidak lagi seperhatian dulu. Bahkan sejak terakhir aku mengajak dia bermesraan, belum sekalipun ia menyentuhku.
Aku bertahan, bersabar. Mungkin inilah tantangan masa awal pernikahan, tidak seindah masa pacaran. Aku berharap keadaan akan membaik saat anak kami lahir nanti.
Sayangnya, sekali lagi harapan yang aku punya untuk Erick kembali kandas.
Siang itu Bu Iin menutup toko lebih cepat. Ada kerabatnya di luar kota yang meninggal dan ia harus pergi selama beberapa hari.
"Kamu libur dulu beberapa hari ya, Velove. Nanti kalau saya sudah pulang, saya kabari lagi. Tenang saja gajimu tidak akan saya potong. Oh, iya... ini sekalian gajimu bulan ini ya, daripada nanti saya telat kasihnya, kan kasihan."
"Terima kasih banyak, Bu Iin." Aku menerima amplop itu dengan perasaan senang. Bosku memang sangat baik.
Senyuman lebar mengiringi perjalananku pulang. Saat sampai di kontrakan aku bahkan melihat sepeda motor suamiku di luar.
"Wah, kok bisa tepat waktu begini ya? Dia pulang dan aku pulang. Aku bisa memberi dia kejutan nih," gumamku senang.
Kejutan itu benar-benar terjadi, di saat aku melihat ada sepasang sepatu wanita di depan pintu rumah bersama sepatu Erick juga. Siapakah yang bertamu?
Dalam senyap aku memasuki rumahku dengan perasaan tidak nyaman. Lantas aku mulai mendengar suara suamiku dan seorang wanita... dari dalam kamar tidur.
Suara mereka semakin keras ketika aku telah berada di depan pintu. Dengan tangan gemetaran aku membuka gagang pintu yang tidak terkunci itu.
Aku terkesiap, rasanya sulit percaya. Aku melihat Erick tengah bercumbu mesra dengan... Stella, mantan pacarnya.
"Erick...," lirihku memanggil namanya. Erick menoleh, dan tampak kaget saat melihatku.
Dengan perasaan sesak di dada aku berlari meninggalkan rumah; meninggalkan suamiku yang telah berkhianat.
"Love! Tunggu!" "Erick, jangan pergi!" Bagaikan mimpi buruk, suara-suara itu kembali memutar memori pedih, ketika aku datang ke rumah Erick dan papanya merendahkan aku. Ada Erick, dan ada mantan kekasihnya. Erick ingin mengejarku, namun wanita penggoda itu menahannya. Dan Erick tidak akan menyusulku. Bedanya kali ini tidak ada Om Johan. Hanya Awan mendung dan tiupan angin menjelang hujan yang menggantikannya. Tanpa memedulikan gerimis yang mulai turun, aku terus melangkahkan kaki. Aku tak tahu arah tujuanku, kakiku hanya tidak bisa berhenti. Kembali ke toko? Bu Iin pasti sudah pergi. Datang ke panti? Aku malu. Entah apa yang akan Bu Wiwin katakan jika mengetahui masalah ini. Pulang ke kontrakan? Oh, aku sungguh tidak sanggup bertemu muka dengan Erick, apalagi Stella mungkin masih ada di sana. Aku tak punya tempat untuk berlindung, itulah sebabnya aku hanya bisa pergi. Hujan yang semakin lebat sama sekali tak membuatku ingin menepi dan berteduh. Aku terus berjalan. Walaupun pa
Wanita dengan payung hijau itu adalah sosok pertama yang aku lihat ketika aku tersadar. "Kamu sudah bangun, Nak? Saya Bu Berta yang membawa kamu ke rumah sakit. Namamu Velove?" tanya wanita berbadan tinggi besar itu. Ia tampak lega melihatku akhirnya siuman. Mungkin Bu Berta telah melihat kartu identitasku sehingga ia tahu namaku. Aku tersenyum dan mencoba bangun, namun rasanya kepalaku masih berat. Aku melihat jarum dan selang infus terpasang di lenganku. Sepertinya kemarin aku sekarat. "Tiduran saja dulu. Kamu tidak sadarkan diri selama tiga hari. Badanmu demam tinggi. Syukurlah sekarang kamu sudah sadar dan tidak demam lagi," ucap Bu Berta dengan lembut. Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari? Dan selama itu hanya mimpi buruk yang aku temui. Erick mengejarku. "Love, jangan pergi," ucapnya seraya membawaku ke dalam pelukannya. Ia mendekapku erat, seolah tak ingin aku pergi lagi. "Erick...." Aku sangat bahagia. Aku membalas pelukannya erat, tak ingin aku lepaskan. Dekapan Eri
"Silakan Ibu tanda tangan di sini." Seorang pria berpakaian formal menyodorkan satu map berisi dokumen kepadaku.Tanganku menggenggam erat dokumen itu dengan tubuh gemetaran. Ingin rasanya aku merobeknya, agar niat jahat mereka tak terwujud.Tapi ... ada tanda tangan suamiku di situ? Mendadak kepalaku terasa pening, mataku berkunang-kunang, seolah dunia ini akan runtuh."Velo!" seru Bu Berta yang menahan tubuhku supaya tidak jatuh. Ia membawaku ke kamar dan menyuruhku berbaring. Aku memejamkan mata. 'Sabar ya, Nak,' ucapku dalam hati seolah menguatkan bayi di dalam kandunganku. Aku merasakan tendangan yang cukup kuat di perutku, seakan-akan ia juga ingin menyemangati ibunya. "Bapak ini gimana sih? Kalau mau ngasih surat gugatan cerai lihat situasi dong! Kak Velo kondisinya lagi lemah gitu, habis sembuh dari sakit, sedang hamil pula. Tega bener sih? Nggak punya perasaan! Mikir dong, Pak!" teriak Selvi lantang. Ia memarahi orang-orang itu dengan garang. "Maaf, Dik. Kami cuma melaksan
[Kembali ke masa kini] Bu Berta mendengarkan ceritaku sambil berurai air mata. Ini kali pertama aku melihat dia menangis. Ibu kuat itu bersedih untukku. "Sini, Nak. Bu Ber mau berikan pelukan beruang untukmu," ucapnya dengan suara sendu. Aku mendengar keprihatinannya. Dengan penuh haru aku menghamburkan diri ke pelukan Bu Berta, wanita yang selama tiga tahun ini menjadi penolongku, seseorang yang telah ku anggap ibuku sendiri. Saat aku tak punya tempat berteduh, ia menjadi payung untukku. "Velo, bagaimana bisa kamu menyimpan semuanya sendirian selama ini, Nak?" sesalnya sembari terus mengusap kepalaku. "Maaf ya, Bu. Saya baru bisa cerita sekarang. Saya tidak ingin menjadi beban, dan sejujurnya saya malu dengan kisah hidup saya," sahutku penuh penyesalan. Bu Berta melepaskan pelukannya. Kedua tangannya memegang lenganku. "Kenapa malu, Sayang? Kamu tidak melakukan kejahatan yang melanggar hukum." "Bukan itu, Bu. Selama ini saya hanyalah seorang perempuan naif yang dibutakan oleh c
Apa maksud orang ini? Melamar jadi ayah Ricky? Terus aku yang ibunya Ricky ini akan dia anggap sebagai apanya? Istrinya? Nah, lho! Aku malah jadi mikir sampai ke situ, gawat nih! Mas-mas satu ini memang hobinya bikin baper. Sadar, Velove! Ingat siapa dirimu! Jangan sampai peristiwa dahulu terulang kembali! "Oh, kalau itu silakan hubungi bagian HRD ya, Pak. Saya hanya bagian cleaning service," kata Bu Berta yang melirikku dengan genit sebelum berjalan menuju rusunnya. "Bagaimana, Bu HRD? Apakah boleh? Ini anaknya mau lho sama saya." Pria itu bertanya dengan begitu percaya diri. "Heleh!" cemoohku meremehkan ucapannya. Mukaku saja yang mungkin terlihat santai, padahal jantungku dag dig dug der saja. "Masa Ibu nggak percaya sih? Nih, saya buktikan ya." Penghuni rusun 203 itu menyodorkan pipinya pada Ricky, dan tanpa ragu anakku menciumnya. "Tuh, kan! Ibu HRD sudah lihat sendiri kan?" tambah pria itu lagi sedikit pongah. Anakku memang sedekat itu dengan Mas Vincent Memang ya, pria s
Pernah dengar istilah 'muka Rambo hati Romeo'? Kata-kata ini kayaknya cocok menggambarkan tetanggaku satu ini. Kesan pertamaku saat mengamati penampilan dia, aku mikir, 'orang ini macam gelandangan saja.' Akan tetapi setelah melihat keramahan dan senyumannya, aku merasa dia orang yang baik. Kata orang kepribadian kita bisa dilihat dari sorot mata, dan dari matanya aku melihat kebaikan hati serta ketulusan. Senyumannya seolah berkata, 'Aku orang baik, jangan takut pada penampilanku. Aku tidak akan menyakitimu, apalagi membuat kamu menangis.' Seperti saat ini, dia tersenyum ramah kepadaku. Tentu saja aku membalasnya dengan ramah pula. Tapi kok lama-lama ada yang aneh ya? Dia tampak seperti menahan tawa, aku jadi bingung. Apa mukaku seperti badut, kok diketawain? "Oke, aku pamit dulu ya, masih mau ke tetangga yang lain. Sampai ketemu lagi, Ve," pamitnya sembari tetap tersenyum lebar. Dia berlalu bersama sekeranjang besar jeruk yang akan ia bagikan ke sesama penghuni rusun ini. "Mak
Sejak hari itu lorong di depan rumahku menjadi lebih ramai. Ada saja perempuan yang iseng lewat sembari memanggil-manggil tetanggaku itu. Mas Vincent yang mirip gelandangan itu, sekarang nampak ganteng dengan penampilan yang rapi dan bersih. Rambutnya dipangkas rapi dan kumis serta bulu halus lain di rahang dan pipinya juga dicukur bersih. Aku saja sampai melongo waktu pertama melihatnya. "Kenapa, Ve? Baru nyadar ya kalau saya ganteng?" ucapnya penuh percaya diri. "Mas Vincent memang ganteng kok. Hehe," jawabku jujur. Dia memang sudah tampan sebelum make over ini. Kadang aku diam-diam memperhatikan saat ia bersama Ricky, Mas Vincent tuh berwajah ganteng. Tapi setelah bercukur dengan benar dan merapikan rambut, ia jadi tampak bersih dan lebih muda. Nggak heran sih kalau para gadis di rusun ini tiba-tiba jadi tertarik padanya, dan berupaya mendekatinya. Mulai dari yang pura-pura lewat lalu memanggil, "Mas Vincent...." Membawakan makanan, "Mas, tadi saya masak rendang jengkol keba
"Luar biasa!" Suara tepuk tangan dari tiga orang itu memenuhi ruangan kafe ini. Aku tersenyum lebar dengan hidung kembang kempis. Walaupun sejenak, rasanya seolah aku kembali ke masa sebelum aku mengalami banyak kepedihan hati, saat jiwaku masih muda dan bebas. "Apakah kamu bisa mulai menyanyi malam ini, Velove?" tanya Pak Benny, sang manajer kafe. "Tapi saya belum persiapan apa-apa, Pak," dalihku seraya menutupi rasa malu. Aku sedikit menunduk melihat pakaianku yang ala kadarnya, mana pantas untuk tampil di panggung? "Pulang dulu saja, Velove. Sekalian minta tolong Bu Berta jagain Ricky," usul Mbak Ugi yang juga berada di ruangan bersama kami. "Eh, betul juga, Mbak." Kafe ini memang tidak jauh dari rusun. Kafe Edelweis namanya. Kafe yang cukup besar, dan sudah berdiri selama belasan tahun. Mbak Ugi yang aku sebutkan tadi adalah tetanggaku di rusun, tapi ia tinggal di lantai tiga. Wanita itu bekerja di kafe ini sebagai juru masak. Seperti aku, dia juga seorang janda, namun an