Dear Pembaca,
Semoga Anda (saya sebut Kakak saja ya) dalam keadaaan sehat dan berbahagia.
Terima kasih untuk Kakak yang sudah membaca dan terus mengikuti kelanjutan novel "Cinta dengan Restu" (CDR) ini. Bagi yang sekadar menengok pun tetap saya hargai.
Saya ingin sedikit bercerita tentang awal saya menulis di GN.
Saya orang yang suka membaca, dan suka bercerita/ngobrol dengan teman atau sahabat, namun tidak pernah terlintas dalam benak saya untuk menjadi seorang penulis novel. Di GN lah debut saya sebagai penulis.
Kala itu sekitar bulan April 2021, seorang sahabat yang menjadi Editor Akuisisi (EA) di GN bercerita tentang menulis di GN, mencari penulis, juga lomba menulis novel di GN. Dari situ saya berpikir untuk mencoba menulis juga.
Setelah mencari ide cerita, saya mulai menulis sekitar akhir Mei 2021. Setelah mendapat banyak bimbingan dari EA, saya mengajukan kontrak di bulan Juli, dan akhirnya Novel pertama saya "Sketsa Cinta Arina" berhasil ttd di tanggal 22 Juli 2021. Awalnya novel ini berjudul "Dream (Boy) Comes True", saya baru mengubahnya minggu lalu.
Bisa dikatakan SCA ini idealisme saya, cerita yang saya sukai semacam ini, romcom ringan dengan konflik yang tidak memusingkan, namun membawa kisah yang manis dan lucu.
Mungkin karena saya masih penulis baru, dan cerita saya tidak sesuai selera publik pada umumnya yang menyukai cerita ++, SCA belum punya terlalu banyak pembaca. Namun bagi saya pribadi, bisa mencapai 5,3k viewers dalam waktu setengah tahun, adalah suatu prestasi tersendiri. Ditambah lagi teman-teman yang mengatakan mereka menyukai SCA bahkan sudah membaca sampai tamat. Setidaknya saya tahu tulisan saya layak untuk dibaca.
Saya menyelesaikan SCA sekitar bulan Oktober 2021 dalam hampir 125k kata. Berkaca dari situ, lahirlah novel CDR ini. Saya coba mengikuti selera pembaca dengan menyajikan cerita yang lebih banyak konflik dan emosional, namun sebisa mungkin tetap memasukkan idealisme saya tentang cerita yang ringan, konsisten, dengan unsur lucu, manis, (tanpa unsur ++ tadi) dan pastinya happy ending.
CDR ini saya harapkan bisa lebih disukai dan mendapat lebih banyak pembaca. Semoga Kakak adalah salah satu di antara mereka.
Nah, berhubung saya masih penulis amatir, untuk saat ini menulis novel belum bisa memberi saya hasil secara langsung. Saya masih butuh mencari sesuap nasi di lahan lain, juga ada kegiatan lain yang saya lakukan. Jadi mohon dimaklumi jika saya tidak bisa update bab CDR setiap hari. Namun saya bisa jamin novel ini akan saya tulis sampai selesai, setidaknya di bulan April sudah akan mencapai 100k kata, karena CDR saya ikutkan lomba "Jatuh Bangun Kejar Restu".
Oleh sebab itu sembari menunggu cerita ini update, saya mengundang Kakak untuk membaca novel pertama saya "Sketsa Cinta Arina", bisa Kakak temukan langsung di profil saya.
Memang cerita SCA belum sebagus CDR, mohon dimaklumi itu kali pertama saya menulis, namun menurut saya sendiri SCA lebih lucu dari CDR dan tetap bikin pembaca senyum-senyum sendiri. SCA cocok untuk dibaca jika Kakak mencari cerita yang ringan dan nggak butuh mikir berat apalagi jadi emosi. Hehe. Jika belakangan SCA kurang cocok dengan selera Kakak, tidak usah segan untuk tidak melanjutkannya.
Jangan ragu untuk kasih masukan tentang tulisan saya, akan saya pertimbangkan baik-baik agar ke depan saya bisa membuat karya yang lebih bagus lagi.
Terima kasih banyak sudah berkenan membaca cuap-cuap kurang penting dari penulis ini. Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan. Salam jumpa di kelanjutan cerita Velove.
Salam dari Penulis,
Teha
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses