Muncul rasa tidak enak dalam diriku, pria itu tampak sangat santai saat resepsionis berhasil memanggil petugas keamanan ke lobby. Aku khawatir aku salah paham dengannya, mungkin saja kami memang bertemu secara kebetulan. Tidak, bisa jadi dia berlagak polos supaya orang lain tidak curiga kalau dia itu penguntit.
"Nona, di mana orangnya?" tanya salah seorang petugas keamanan padaku.
Dengan mantap aku menunjuk ke arah pria aneh itu yang masih berdiri di tempatnya. Petugas berbalik untuk melihat siapa orang yang kutunjuk. Petugas keamanan kaget dan kebingungan. Dua petugas itu malah membungkuk singkat sebagai sapaan hormat terhadap pria itu. Apa sebelum menangkap penjahat mereka selalu memberi hormat terlebih dahulu? Aneh. Orang-orang di Del Express banyak yang aneh.
Yang lebih aneh, pria itu malah menyerahkan kedua tangannya kepada petugas untuk diborgol. Apa dia sangat ingin ditangkap? Ya Tuhan, dia sungguh manusia aneh.
Karena sudah begitu, kedua petugas memborgol si pria dan berkata padaku, "Nona, kami akan membawanya ke kantor keamanan dan dimintai keterangan. Apa anda butuh bantuan lain?"
"Tidak. Saya hanya ingin anda mengamankan orang itu. Terima kasih atas bantuannya."
"Baiklah, permisi."
Mereka membawa pria itu pergi ke kantor keamanan. Aku bisa bernafas lega dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada resepsionis. Tapi ada yang ganjal, kenapa petugas keamanan tidak memintaku ikut ke kantor keamanan? Bukankah keterangan dariku juga dibutuhkan? Astaga, pikiranku semakin kacau.
"Lebih baik aku kembali ke kamar."
-o0o-
Tiba di kamar, aku mengunci pintunya dan mencari ponsel. Setelah menemukan benda tipis itu, aku mengecek apakah ada yang menghubungiku. Dan ternyata sesuai firasatku, banyak panggilan tak terjawab dari Ayah dan Ibu. Segera aku melakukan panggilan balik ke Ayah, mungkin saja ada hal penting yang perlu Ayah bicarakan denganku.
Tuuutttt... tuuutttt...
Panggilan sedang tersambung. Aku menunggu Ayah menjawab panggilanku. Lama tak menjawab, aku melakukan panggilan ulang. Sampai akhirnya Ayah menjawab panggilanku.
"Halo, Ayah?"
"Ada apa, Maria?" tanya Ayah di seberang.
"Apa Ayah ingin bicara denganku?"
"Oh iya, tadi ayah meneleponmu. Ke mana saja sampai tidak menjawab panggilanku?"
"Maaf, tadi ada sedikit masalah. Tapi semuanya sudah teratasi."
"Apa masalahnya cukup serius?"
"Tidak. Sama sekali bukan masalah yang serius."
"Syukurlah. Omong-omong... apa kau sudah bertemu dengan Lucas Chen?"
"Belum. Aku tidak sempat menemuinya."
"Benarkah? Tapi tadi dia berkata sudah sempat bertemu denganmu."
"Dia berbohong, kami sama sekali belum bertemu. Ayah, sudahlah... biarkan aku yang mengatur sendiri urusan itu. Ayah sudah membuat janji dengannya untukku, sisanya biar aku yang atur. Bisakah Ayah berhenti bertanya padanya? Ayah terkesan murahan. Dia tidak menginginkan pertemuan itu karena dia sampai berbohong seperti itu pada Ayah. Jadi jangan berharap apapun lagi padanya."
"Ck, kau ini. Aku hanya khawatir padamu. Tapi kau benar-benar tidak bertemu dengannya?"
"Tidak. Aku bahkan belum berbincang dengan rekan-rekan bisnis."
"Maria... peraturanku masih berlaku. Jika kau tidak menemui Lucas Chen, aku sungguh akan menikahkanmu dengan anak temanku. Sebelumnya kami sudah membicarakan tentang hal itu."
"Apa? Ayah tidak bisa melakukan hal seperti itu! Lagipula Lucas Chen sudah berbohong mengatakan kalau kami sudah bertemu, untuk apa aku menemuinya?"
"Kalau begitu menikah saja dengan anak temanku! Kau tidak perlu lagi pergi kencan buta sana-sini."
"Tidak! Aku tidak mau menikah. Biarkan aku memilih sendiri siapa yang akan kunikahi!"
"Kalau begitu temui Lucas Chen!"
"Persetan dengan Lucas Chen, aku akan mencari sendiri pria yang mau kunikahi!"
"MARIA!"
"JANGAN MENELEPONKU SAMPAI AKU PULANG!"
Aku mengakhiri sambungan telepon. Aku sungguh muak dengan ancaman ayahku. Selalu seperti itu. Usiaku masih muda untuk menikah, wanita-wanita pada umumnya menikah di usia awal tiga puluhan, bahkan ada di antara mereka yang menikah di usia empat puluhan. Sedangkan usiaku masih di pertengahan dua puluh. Yah... meskipun ada juga yang menikah di usia dua puluhan, tapi itu karena mereka sudah saling mencintai dan sama-sama ingin menikah.
Masa bodoh dengan pernikahan usia muda, aku belum memikirkan tentang pernikahan karena aku sedang menikmati pekerjaanku. Teman-temanku juga banyak yang belum menikah, untuk apa aku tergesa-gesa? Tapi... kalau dipikir-pikir... teman-temanku banyak yang sudah punya kekasih dan di antara mereka ada yang berhasil dalam kencan buta. Sedangkan aku? Belasan kali kencan buta tapi tak satu pun yang berhasil. Sepertinya aku menikah paling akhir di antara teman-temanku. Tak apa, aku akan baik-baik saja selama aku masih kaya.
Omong-omong tentang Lucas Chen, dia sungguh pria yang tak dapat dipercaya. Kalau dia tak berniat menemuiku, dia tinggal bilang pada ayahku kalau dia tidak ingin — bukan malah mengaku sudah bertemu denganku. Sungguh pria menyebalkan, untung aku tidak menemuinya. Aku segera mengirim pesan singkat pada sopirku, aku memintanya kembali ke hotel untuk menjemput — kemudian aku berpikir apa yang harus kulakukan sekarang.
Di tengah lamunan, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar oleh telingaku. Aku bergegas membuka pintu dan ternyata seorang petugas hotel yang datang.
"Selamat siang," sapanya yang selalu ramah pada tamu hotel.
"Ya siang," balasku dengan berbagai pertanyaan di kepala karena aku tak merasa memanggil petugas hotel kemari.
"Benarkah anda Nona Maria Tan?"
"Iya, benar. Ada apa?"
"Nona, seseorang menitipkan pesan ini pada anda."
Petugas menyodorkan sepucuk surat berwarna kuning tanpa amplop padaku. Aku mengambil alih benda berwarna kuning itu dan melihat bagian luarnya sekilas, tak ada yang menarik.
"Siapa pengirimnya?" tanyaku.
"Saya tidak tahu, Nona. Dia hanya meminta saya memberikan itu pada anda."
"Kau tahu ciri-ciri fisiknya? Atau ada ciri-ciri khusus di tubuhnya?"
"Dia seorang laki-laki yang cukup muda dan tampan. Tubuhnya tinggi dan gagah seperti tentara."
"Lalu?"
"Tidak ada ciri-ciri khusus, Nona. Dia seperti pria pada umumnya."
"Apa kau sungguh tidak tahu namanya?"
"Saat kutanya dia tidak menjawab, dia langsung pergi."
Aku mengangguk paham, sepertinya percuma bertanya pada petugas hotel ini karena si pengirim tak mau memberitahu identitasnya. "Baiklah, terima kasih. Kau boleh pergi."
Petugas mengangguk singkat kemudian undur diri. Aku menutup pintu kembali dan segera membuka surat yang sudah berada di genggamanku ini.
Pertama-tama, kucari nama pengirimnya — tapi tidak tertulis di sana. Sudah kuduga tidak ada nama pengirimnya. Aku jadi teringat surat yang dikirim kepada sopirku, surat itu bahkan mengatasnamakan diriku. Aku langsung saja membaca isi suratnya.
[Jika kau ingin bekerja sama dengan RenZ, pergilah ke pesta malam ini. Kesempatanmu hanya malam ini. Aku tidak akan memberimu kesempatan kedua. HANYA. MALAM. INI. DI. PESTA]
Di akhir kalimat terkesan penuh penekanan. Dia ingin aku menemuinya malam ini di pesta, bukan di lain waktu maupun di lain tempat. Memangnya seberapa sibuk dia?
"RenZ? RenZ Entertaiment?" gumamku mengingat-ingat.
Setahun yang lalu aku pernah mengajukan proposal kerja sama dengan RenZ. RenZ merupakan perusahaan di bidang hiburan. Karena aku merasa ada peluang bisnis di sana jadi aku tertarik untuk bergabung dengan RenZ. Tapi RenZ tak meresponku dan baru sekarang respon itu muncul berupa sepucuk surat. Kupikir RenZ menolak proposalku, tak kusangka dia menghubungiku setelah sekian lama.
"Kenapa harus bertemu di pesta ini? Apa tidak ada waktu lain untuk bertemu?" gumamku kebingungan.
Jika aku hadir, tidak menutup kemungkinan aku akan bertemu dengan Evin. Tapi jika aku tak hadir, kesempatan bekerja sama dengan RenZ akan hangus karena hanya malam ini kesempatanku bertemu dengan pemimpin RenZ yang sangat misterius itu.
-o0o-
Aku menoleh ke belakang ketika seorang pria memanggil namaku. Jamie Lim.Astaga, aku lupa kalau orang itu selalu hadir di acara-acara seperti ini.Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk sebagai balasan. Saat hendak pergi menghindarinya, pria itu malah menarikku bergabung bersama teman-temannya.Aku berusaha memberinya kode supaya melepaskan tanganku, tapi sepertinya dia tidak mengerti. Orang tolol ini, membuatku malu karena orang-orang di sekitar melihat, aku takut mereka akan berpikir bahwa aku memiliki hubungan dekat dengan Jamie Lim.“Bukankah kau Maria Tan yang sekarang jadi wakil presdir di XP?” tanya seorang teman Jamie.“Iya, kau benar. Seminggu yang lalu dia sempat kencan buta denganku,” sahut Jamie dengan girang.“Benarkah?”“Tentu saja. Kalian tahu ayahnya kan? Dia sangat terobsesi memiliki menantu kaya dan aku salah satu targetnya. Tapi… kalian tahu kan seleraku seperti apa? Maria Tan tidak bisa menggapai itu dan aku menolaknya saat kami kencan buta. Aku tidak bisa meneri
"Tidak, Kek. Buka mata Kakek. Berhenti menunggalkan aku sebagai cucu Kakek sedangkan masih ada tiga cucu Kakek yang lain. Kek, berhenti menyakiti Evin, Cicillia dan Meghan, mereka sangat menyayangi Kakek tapi apa yang Kakek lakukan pada mereka?" Hermand terdiam. Benar, sikapnya terhadap Lucas dan ketiga cucunya yang lain sangat kontras. Tidak salah jika Lucas memilih meninggalkan rumah supaya Hermand lebih fokus kepada tiga cucunya yang lain. Supaya Hermand sadar bahwa ada cucu lain selain Lucas yang harus diperhatikan. Yang membutuhkan cinta - kasih yang sama seperti cinta dan kasihnya kepada Lucas. Sakit hati tetaplah sakit hati, karena kesakitan itu membuat Hermand menutup sebelah matanya dan hanya melihat Lucas seorang sebagai cucunya. Cucu kesayangan dan pewaris utama dari Lissel Group. Evin? Hermand tidak pernah menganggap Evin
"Kau yakin? Kau sudah memeriksanya?" "Kami sangat yakin, Tuan." Evin meletakan kedua tangannya di atas meja, mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari telunjuknya.Tuk. tuk. tuk. "Setelah ini apa rencana kalian?" "Kami akan terus mengawasinya dan mengelilingi area kafe, kami berasumsi kalau kakak anda pergi melalui jalan yang tersembunyi." "Baiklah, apa pun itu... kalian harus menemukannya, kalau tidak... aku tidak akan membayar kalian." "Baik, Tuan." -o0o- Seminggu berlalu... Akhirnya Evin berhasil membawa kakak
Evin selalu berusaha menjadi seperti kakaknya, ingin menyamainya, tapi sekeras apa pun dia berusaha, dia dan kakaknya adalah orang yang berbeda dan sampai kapan pun tidak akan bisa sama. Mencari sesuatu yang membuat Kakek menyukai kakaknya, Evin tak menemukan sesuatu yang spesial. Kakaknya sama saja seperti orang pada umumnya, bahkan lebih pembangkang dari pada Evin sampai-sampai berani meninggalkan rumah. "Kenapa aku yang harus menikah duluan? Kakak lebih tua, kenapa bukan kakak saja yang menikah dulu?" balas Evin menahan kecewa. "Kau menginginkan itu? Kalau begitu bawa kakakmu pulang." "Kalau aku membawanya pulang, Kakek tidak perlu lagi menyuruhku untuk menikah, bukan?" "Ya, terserah kau mau melakukan apa. Kau mau menjadi fotog
"Kenapa Mom selalu menyalahkan foto-foto ini dari pada menyalahkan diri Mom sendiri?" balas Evin. "Kenapa Mom menyalahkan diri sendiri? Tentu saja foto-foto itu yang membuatmu mengabaikan perusahaan! Kau berlagak sibuk dengan wanita, padahal kau menutupi foto-foto itu dengan wanita!" "Mom, apa salahnya aku menjadi fotografer?" Evin berdiri dari kursinya. "Fotografer tidak akan menjamin hidupmu!" "Bisa, Mom! Mom saja yang tidak suka aku menjadi fotografer! Mom, tidak bisakah Mom mendukung satu saja yang menjadi impianku?" "Dengar, Evin, Lissel Group jauh lebih membuatmu bahagia dari pada fotografi." "Itu menurut Mom, tapi tidak
"Kau sangat kasar, Tuan." "Aku memang orang yang kasar dan aku tidak menyukai wanita, aku tidak akan menikah dengan siapa pun." "Bagus, itulah yang kucari..." Maria mencondongkan tubuhnya ke tubuh Lucas dan membisikkan kalimat dengan suara menggoda, "Bukankah aku cantik? Menikah saja denganku, meskipun menikah, kau akan tetap merasa tidak menikahi siapa pun. Kau hanya perlu berada di sisiku saat di depan orang tuaku saja. Bagaimana? Bukankah itu sangat menarik?" "..." Tanpa takut, Maria membelai wajah Lucas. Tangannya merasakan kalau jenggot Lucas baru saja dicukur. Kulit yang halus membuat Maria merasa terpukau. 'Kulit seorang pria bagaimana bisa sehalus ini?' Awalnya Lucas men