Share

Bab 3

Author: Richy
Dengan mata terdelik, aku mengibaskan tangan.

"Kamu keluar saja, panggil peserta berikutnya."

Kiana memasang muka cemberut, tampak kesal saat keluar.

Peserta wawancara terakhir berpostur langsing dan gerakannya tampak gemulai. Rambutnya terikat tinggi bagai ekor kuda, wajahnya oval dan manis menggoda. Meski tubuhnya proporsional, penampilannya bagai gadis dengan pikiran polos dan tidak tercemar.

Sama sekali tidak menggoda.

Aku tak bisa menahan rasa kecewa, sepertinya tahun ini wawancara lagi-lagi akan gagal total. Kalau begini terus, bagaimana maskapai ini bisa bertahan?

Ketika dia duduk di kursi dengan senyum tersungging lembut di wajahnya, diriku sudah hampir kehilangan semangat.

Namun gadis itu menatapku dengan perhatian dan bertanya, "Ada apa? Sepertinya Bapak sedang nggak senang, ya?"

Gadis ini ternyata cukup peka. Hatiku sedikit hangat, lalu aku berkata, "Nggak apa-apa, mari kita mulai wawancaranya."

Dia menjawab dengan antusias, "Namaku Yunita, umurku 21 tahun, lulusan dari ...."

Prosedur seperti ini sudah muak aku dengar, aku tak sabar langsung menekan tombol mesin itu.

Tubuh Yunita bergetar, wajah yang berbentuk oval seketika memerah, dan dia menatapku dengan kaget.

Suasana hatiku langsung tenggelam, reaksinya sebesar itu, sepertinya gagal lagi.

Namun Yunita segera berkata, "Apa sih yang menyodok aku dari bawah kursi ini? Rasanya malah enak juga."

Mendengar itu, mataku langsung berbinar.

Meskipun Yunita terlihat polos di permukaan, tubuhnya ternyata bereaksi juga!

Yang pertama terlalu kaku, yang kedua terlalu menggoda, tetapi yang seperti ini, polos tapi juga penuh pesona, justru kandidat terbaik!

Aku berkata dengan semangat, "Ini tes untuk lihat kemampuanmu menghadapi tekanan, lanjutkan saja."

Wajah Yunita memerah, tetapi dia tetap melanjutkan wawancara.

Dia merespons tanpa rasa takut, juga tanpa menampilkan sikap genit atau menggoda.

Yang tampak justru semangat dan sikap penasaran.

Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Pernahkah kamu merasa gini sebelumnya?"

Yunita menunduk, wajahnya makin merah. "Be ... belum ... tapi rasanya aneh, entah kenapa begitu nyaman."

Aku hampir tak percaya, terlalu bersemangat hingga tanganku bergetar, gadis ini begitu murni, benar-benar langka.

Di zaman sekarang, mana ada lagi mahasiswi cantik yang tak pernah berhubungan?

Aku mempercepat alat seks, memperhatikan setiap gerak dan ekspresinya.

Tubuhnya gemetar hebat, seakan seluruhnya tersentak. Dirinya merapatkan kedua kakinya.

Namun tubuhnya tanpa sadar menempel erat pada kursi, merasakan getaran yang menyelimuti sekujur tubuhnya.

Dia sepenuhnya tenggelam dalam perasaan itu, ekspresinya perlahan berubah dari tegang menjadi puas.

Aku bertanya pelan, "Sekarang bagaimana perasaanmu?"

Suaranya merdu dan manis. "Rasanya bengkak dan gatal."

Melihat ekspresinya yang polos dan penuh hasrat, gelora hasratku hampir tak tertahan.

Bagaimanapun, aku belum pernah mencoba mahasiswi semuda ini, bahkan polos lagi!

Aku sungguh ingin melihat reaksinya saat berada di bawah tubuhku.

Yunita tiba-tiba menatapku, pandangannya perlahan turun, menatap antara pahaku.

Melihat tonjolan kecil itu, dia berkata dengan nada penuh hasrat, "Aku merasa nggak enak ... Bisakah kamu membantuku?"

Inilah perasaan yang kucari!

Kepolosan yang berpadu dengan gairah, gairah yang masih menyimpan kepolosan.

Aku berdiri dan berjalan mendekatinya, berdiri tepat di depannya. Bagian bawahku tepat ada di depan wajahnya.

Yunita menatap bagian itu dengan pandangan terpaku, menelan ludah beberapa kali.

Sementara itu, alat seks di bawah kursi masih terus bergerak tanpa henti, membuatnya hampir kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Rok pendek yang dia kenakan kini sudah tersingkap hingga ke pinggang.

Celana dalamnya mulai mencuat ke dalam karena alat itu, bahkan tampak basah.

Aku mengangkat dagunya perlahan, menatap matanya yang mulai berkaca-kaca. "Kamu merasa nggak nyaman? Gatal? Perlu aku bantu?"

Dia mengangguk cepat, wajahnya merah padam.

Dengan gembira, aku langsung menurunkan celanaku, memperlihatkan bagian bawahku yang besar dan ereksi tepat di hadapannya.

Panas dan keras.

Dia menatap, terpesona. Ini pertama kalinya Yunita melihat alat kelamin pria.

Aku menekan kedua tanganku ke belakang kepalanya, menegakkan punggung, dan membidik mulutnya.

"Mau coba?"

"Ya!" Dia lalu membuka bibirnya yang semerah ceri...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ciuman di Balik Seragam   Bab 7

    Entah berapa lama kemudian, Yunita tergeletak di lantai dengan lemas.Bagian bawahnya masih memuntahkan cairan putih.Bagian itu memerah dan bengkak.Yunita memang masih ketat, ditiduri para pria itu, sekarang dirinya jadi lebar dan longgar, tidak bisa kembali ketat lagi.Dia mencoba bangkit, tetapi kakinya terasa lemah.Dia ingin berdiri, tapi kedua kakinya melemah, hanya bisa merangkak menuju kokpit.Melihat Yunita kesulitan merangkak di lantai, beberapa penumpang segera membantunya berdiri."Kamu mau ke kokpit? Bilang sama kami saja, kami bisa bantu," kata mereka sambil melemparkannya ke dalam kokpit."Pak Gosfar, gadis ini ingin bertemu denganmu."Aku melihat Yunita yang hancur, hatiku ikut merasa sedih.Akan tetapi, setiap pramugari yang bekerja di maskapai kami, siapa pun pasti pernah mengalami ini.Tanpa mengalami kesulitan, bagaimana mereka bisa mendapatkan gaji tinggi?Memikirkan itu, aku menguatkan hati.Aku bilang padanya, "Cepat bangun, lanjutkan pekerjaanmu melayani penump

  • Ciuman di Balik Seragam   Bab 6

    Namun Yunita berbeda, dia justru ketakutan dan menghindar.Hal itu malah memicu naluri liar orang-orang itu, membangkitkan dorongan alami untuk "memburu".Mereka serempak menatap Yunita dengan sorot mata penuh gairah.Yunita ketakutan, lalu berlari ke ruang kapten, menggenggam tanganku dengan panik."Pak Gosfar, para penumpang itu ... mereka, mereka ...."Yunita tergagap, tak sanggup melanjutkan kata-katanya.Namun aku sudah bisa menebak sedikit banyak, pasti ada hubungan dengan payudaranya yang seksi itu.Maka aku hanya tersenyum dan berkata padanya, "Jangan khawatir, semua ini hal yang biasa. Kamu harus siap secara mental."Yunita mendengarnya, dan ingin mengatakan sesuatu lagi."Tapi ... tatapan mereka padaku menakutkan sekali.""Nggak apa-apa, kamu lanjut saja bekerja. Kalau ada masalah, datang padaku."Yunita pun terpaksa kembali ke dalam kabin dengan patuh.Gadis ini memang masih terlalu polos. Bagaimanapun juga, ini hari pertamanya bekerja, butuh waktu untuk menyesuaikan diri.B

  • Ciuman di Balik Seragam   Bab 5

    Aku kembali ke perusahaan. Dua peserta wawancara sebelumnya datang dengan marah, menuntut penjelasan kenapa aku tidak menerima mereka.Yang satu terlalu kaku, yang satunya lagi terlalu genit, tentu saja aku tak bisa mengatakan alasan itu.Aku hanya bisa menjelaskan seadanya, "Begini, perusahaan kami punya standar penilaian sendiri. Kalau kalian nggak memenuhi standar, otomatis nggak terpilih."Mereka masih ingin ribut, bahkan mengancam akan membocorkan rahasia alat seks di ruang wawancara.Untung saja satpam datang tepat waktu dan mengusir mereka pergi.Kalau tidak, masalahnya pasti akan jadi besar.Pihak penjahit juga sudah menyelesaikan seragamnya. Aku menelepon Yunita agar datang mengambil.Tempat tinggalnya dekat dari kantor, belum sepuluh menit dia sudah tiba dengan membawa tas di punggung.Penampilannya tampak begitu muda dan penuh semangat.Dia berjalan dengan langkah ringan ke arahku, matanya membentuk bulan sabit ketika tersenyum."Pagi, Pak Manajer! Aku datang untuk mulai ker

  • Ciuman di Balik Seragam   Bab 4

    Dalam sekejap, aku merasakan sensasi luar biasa, sangat enak.Sangat basah, aku kehilangan kendali sesaat.Hal yang paling membuatku puas adalah... aku akhirnya menemukan kandidat terbaik untuk maskapai kami.Aku yakin, para pelanggan akan sangat puas dengannya.Saat itu, tubuh Yunita masih bergetar hebat.Kepadaku dirinya bersandar, ke tubuhku getaran itu menjalar. Jiwaku terlena, kesemutan menyelimuti diriku, aku hampir meleleh.Yunita merasakan gatal tak tertahankan, dia melepaskan alat kelaminku dari mulutnya, ludahnya masih menempel hingga membentuk jaring tipis.Dirinya menengadah, menatapku."Pak Pewawancara, aku merasa sangat tak nyaman ... tolonglah puaskan aku," katanya.Sambil berkata begitu, dia berbalik dan membungkuk di atas kursi, pantatnya yang putih menghadapku.Melihat aku belum juga memasukinya, dia telungkup, menonjolkan bokongnya yang menggemaskan."Cepatlah, Pak..."Aku menepuknya dengan lembut, sambil membantunya menyesuaikan posisi.'Karena kau pengen, aku tidak

  • Ciuman di Balik Seragam   Bab 3

    Dengan mata terdelik, aku mengibaskan tangan."Kamu keluar saja, panggil peserta berikutnya."Kiana memasang muka cemberut, tampak kesal saat keluar.Peserta wawancara terakhir berpostur langsing dan gerakannya tampak gemulai. Rambutnya terikat tinggi bagai ekor kuda, wajahnya oval dan manis menggoda. Meski tubuhnya proporsional, penampilannya bagai gadis dengan pikiran polos dan tidak tercemar.Sama sekali tidak menggoda.Aku tak bisa menahan rasa kecewa, sepertinya tahun ini wawancara lagi-lagi akan gagal total. Kalau begini terus, bagaimana maskapai ini bisa bertahan?Ketika dia duduk di kursi dengan senyum tersungging lembut di wajahnya, diriku sudah hampir kehilangan semangat.Namun gadis itu menatapku dengan perhatian dan bertanya, "Ada apa? Sepertinya Bapak sedang nggak senang, ya?"Gadis ini ternyata cukup peka. Hatiku sedikit hangat, lalu aku berkata, "Nggak apa-apa, mari kita mulai wawancaranya."Dia menjawab dengan antusias, "Namaku Yunita, umurku 21 tahun, lulusan dari ....

  • Ciuman di Balik Seragam   Bab 2

    Tak lama kemudian, peserta wawancara kedua datang. Rambutnya bergelombang dengan indah.Riasannya tebal. Kandidat ini tidak mengenakan seragam pramugari, melainkan kemeja dengan kerah rendah yang mencolok, payudaranya yang seputih salju pun terekspos setengah.Dengan pinggang ramping dan bentuk tubuh yang menonjol, sosoknya begitu memikat, melihatnya saja sudah membuatku bergairah.Entah bagaimana rasanya bagian bawah wanita ini?Wawancara pun dimulai, masih dengan proses yang sama seperti sebelumnya.Sebenarnya, semua prosedur teknis itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah bagaimana dia menghadapi getaran godaan saat wawancara.Dia memperkenalkan diri, "Namaku Kiana, 22 tahun, berasal dari ...."Sambil berbicara dia memainkan rambutnya. Sesekali dia menegakkan tubuh seolah ingin menunjukkan rasa percaya diri.Di depanku, dia berpose menggoda, mau merayuku.Aku tersenyum kecil. Kiana memang tampak seksi, sepertinya cukup cocok, tetapi aku ingin tahu seberapa jauh dia bisa bertah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status