“Pagi yang buruk, I’m coming!” teriak Aera seraya meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sakit karena dia salah tidur tadi malam. Jelas saja bagaimana dia bisa tidur dengan nyaman dengan suasana hatinya yang begitu buruk.
“Huft, apa yang akan aku lakukan hari ini? Hemm?” Aera bergumam sendiri.
Tangannya bergerak pelan meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal tidurnya. Di lihatnya dengan seksama ja yang ada di layar ponselnya. Sudah menunjukkan pukul enam pagi.
Nafas gusar terlepas dari mulutnya.
“Ini masih terlalu pagi untuk hari liburku.”
“Tapi gak apa Ra. Ayo kita buat hari ini semakin buruk dan tidak berwarna dengan berbaring seharian di tempat tidur tanpa melihat siapapun, terlebih laki-laki kurang belai dan membosankan itu. Ayolah kau pasti bisa!” Aera menarik kembali selimut dan menyembunyikan seluruh tubuhnya di bawah sana.
Baru saja ia hendak memejakan matanya, gemuruh kuat yang sangat ia kenal beriring dengan getaran hebat di perutnya membua Aera kembali mendengus sebal.
“Akh, aku lupa. Aku belum mengisi perut sejak tadi malam.”
“Pantas saja kau memberontak seperti itu cacing manis.” Aera mengusap pelan perutnya dan mendekatkan mulutnya ke arah perutnya.
Anggap saja dia gila. Dia juga tidak akan keberatan sama sekali.
“Kalau sudah begini bagaimana aku bisa diam, benar bukan?”
Setelah siap berbasa-basi dengan dirinya sendiri Aera langsung beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan cepat menuju kamar mandi yang berada di samping ruang ganti kecil di sudut ruangan.
“Mmmm, setelah mandi aku akan segera turun mencari makanan yang bisa ku makan.”
“Tapi kenapa rasanya rumah ini sangat sepi? Apa dia tidak memiliki pembantu satu orangpun? Atau-“ Aera dengan syok menutup mulutnya.
“Kenapa aku baru sadar? Pasti dia membawaku ke sini karena ingin menjadikanku pembantu,” pikiran yang aneh-aneh mengenai Reagan mulai berkumpul di otaknya.
“Tidak! Jika itu benar terjadi, aku akan segera kabur dari rumah ini. Lihat saja!”
Tak mau berlama-lama lagi Aera masuk ke dalam kamar mandi dan menyelesaikan kehendaknya.
Sepuluh menit beralu. Aera keluar hanya dengan memakai handuk yang melilit menutupi bagian dadanya sampai batas atas lututnya.
“Baju apa yang harus aku pakai saat ini?” tanyanya gelisah sambil mengeluarkan seluruh bajunya yang masih ada di dalam kopernya. Tadi malam dia tidak sempat, lebih tepatnya memang tidak berniat sama sekali menyusun baju-bajunya.
Aera mengambil asal baju kaos berlengan pendek berwarna putih dan celana berbahan yang sama. Memakainya secepat yang ia bisa. Setelah itu beralih menyisir rambutnya lalu menguncirnya tinggi.
Aera mengedarkan pandangannya saat tiba di ruang tamu, ia perhatikan lagi seksama ruangan yang masih dalam ke adaan remang-remang karena pencahayaannya yang minim.
Tungkainya bergerak pelan mengarah pada ruangan yang berada di sebelah kirinya. Setelah berjalan singkat melewati lorong pendek ia di hadapkan oleh dua ruangan lainnya, di sebelah kanannya ada dapur sedangkan di sebelah kirinya. Aera tidak tahu itu ruangan apa. Tidak butuh waktu yang lama tentu saja Aera berbelok ke sebelah kanan, dia sudah sangat lapar.
“Apa ada sesuatu yang bisa aku makan di sini?” Aera membuka lemari pendingin di depannya dan mendapati banyak sekali sayur mayur dan beberapa daging segar tersusun rapih di sana.
“Aku bisa saja memasak daging itu atau sayur itu atau, tapi perutku sudah sangat lapar,” akhirnya setelah menimbang-nimbang lagi, Aera memutuskan untuk merebus sayur dan menggoreng ikan serta beberapa sosis untuk tambahan.
Niat awal sih dia ingin memasak nasi goreng atau mie instant saja, tapi dia ingat kalau tidak bisa makan nasi goreng pagi-pagi seperti ini, itu akan membuat perutnya sakit. Dan lagi dia tidak menemukan satu bungkuspun mie instant di sana.
“Untung saja ibu sering menyuruhku memasak di rumah, jadi ada gunanya juga aku melakukan itu dulu. Ya meski saja ibu merepetiku karena sayurnya yang terasa hambar, di bilang tidak enak. Hey, kalau mau enak kenapa tidak dia saja yang memasaknya, kalau sudah ku tanya begitu pasti dia akan semakin marah dan semua tetangga bisa mendengar suara teriakannya,” oceh Aera tidak henti-hentinya, tentu saja dia melaukan hal itu karena suasana rumah yang sunyi membuatnya sedikit bosan dan takut.
Aera menoleh ke belakang sejenak. “Kayaknya tadi aku denger suara langkah kaki orang deh?” tapi dia tida melihat siapa-siapa di sana kecuali dirinya.
"Sepertinya aku berhalusinasi,” lirihnya sabil memotong-motong sosis menjadi beberapa bagian kecil.
Akhirnya Aera bisa bernafas lega saat mengangkat ikan yang ia goreng tadi dengan penuh perjuangan.
Di tatapnya tangannya yang sedikit memerah karena terkena percikan minyak panas. "Oh, ini tidak sakit. Bahkan sebenarnya aku tidak merasa sakit sama sekali!"
Suasana hati Aera berangsur lebih membaik saat melihat sarapan paginya sudah siap.
"Setelah makan aku akan mengurung diri di kamar seharian. Lagipula tidak ada gunanya aku berkeliaran di sini. Nanti dia pasti akan mengomeliku dengan tatapan menjengkelkannya itu." Aera terus bersunggut-sunggut.
"Makanan sudah siap!" Aera memutar tubuhnya dan segera meletakkannya di atas meja makan yang ada di sana.
Syok.
Hampir saja pegangannya pada mangkuk berisi sayur bayam dan piring berisi nasi itu jatuh ke lantai.
Matanya mengerjap cepat, di sebrang meja sana, sosok orang yang ia bicarakan barusan sudah duduk dengan sangat rapih sambil bersedekap dada."Apa yang kamu lihat?" tegur Reagan tiba-tiba menyadarkan keterkejutan Aera.
Aera menggeleng cepat. "Tidak! Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit merasa terkejut karena kedatanganmu yang tiba-tiba ini. Lagi pula kenapa tidak bilang coba?"
"Untung saja makananku tidak tumpah tadi." Aera terus berceloteh dan berhenti berbicara saat ia sudah duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Jelas dia mengambil jarak yang sangat jauh dengan Reagan.
"Cih!" Reagan berdecih pelan.
"Ini rumahku! Kenapa aku harus mengatakan hal seperti itu padamu?" lirihnya sambil mengalihkan pandangan dari Reagan.
Aera mengangguk pelan sebagai tanggapannya atas perkataan Reagan. "Tanpa kamu jelaskan aku juga sudah tau. Aku hanya menumpang di rumah ini. Ssss, sungguh aku juga akan mengatakan hal seperti itu bila seandainya ke adaan kita berbalik."
Tanpa menunggu lama lagi, Aera segera malahap sarapan pagi miliknya tanpa menghiraukan Reagan yang masih ada di sana. Entah apa yang di lakukan Reagan, Aera tidak ingin ambil perduli. Yang penting perutnya kenyang. Itu saja hal terpenting baginya saat ini.
"Kamu bahkan memakan milikku tanpa meminta izin terlebih dahulu!"
Aera terperangah mendengar hal tersebut. "Jadi, maksudmu. Aku harus selalu meminta izin atas apa yang aku lakukan di rumahmu ini. Begitu?""Menurutmu?" Reagan malah bertanya balik.
Aera beralih melihat mangkuk, ikan goreng dan sosis goreng di depannya. Otaknya berputar cepat.
"Anda lapar? Mau makan?" tanya Aera kemudian dengan sok akrabnya.
"Mau kubuatkan nasi untukmu juga?" kini senyuman manis terukir di bibirnya.
"Aku tidak akan tau masakanmu enak atau tidak. Jadi ya-"
"Bilang saja kalau kamu mau! Kenapa berbicara sangat rumit seperti itu sih?" Aera memotong ucapan Reagan.
Tanpa berbasa-basi lagi Aera langsung bangkit dari kursinya dan mengambil piring yang lain untuk Reagan.
"Aku hanya sempat memasak ini. Aku sudah sangat lapar. Jadi kalau rasanya tidak sesuai dengan lidahmu, kau boleh membuangnya saja!" Aera menyodorkan sepiring nasi dengan isi yang sama dengan miliknya pada Reagan.
"Sepertinya aku menaruh banyak sekali garam pada ikan ini. Rasanya jadi sedikit lebih asin. Maaf jika kau tidak suka!" suara Aera mulai melambat. Dia tidak pernah merasa segugup ini saat orang lain mencoba masakan yang ia buat.
Aera mencuri-curi pandang melihat reaksi Reagan saat mulai melahap suapan pertamanya.
"Tidak ada masalah dengan ikan milikku!" setelah penantian beberapa saat akhirnya Reagan buka suara juga.
"Bagus lah kalau begitu. Setidaknya dia tidak akan rewel lagi hanya karena hal itu," ucap Aera dengan di penuhi perasaan lega di dalam hati.
"Kau sudah pulang?" tanya Aera basa-basi saat mendati Reagan masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun, melewatinya yang kini tengah duduk santai di depan TV.Tak mendapat jawaban dari Reagan, Aera inisiatif untuk mengikutinya. Belakangan ini tugasnya sudah bertambah, yaitu menyiapkan air hangat untuk Reagan setiap pria itu pulang dari kerjanya."Kau mau kubuatkan sesuatu untuk makan malam?" tanya Aera lagi saat sudah berhadapan langsung dengan Reagan.Reagan menghela nafas kasar, sepertinya dia punya banyak masalah hari ini, lihatlah wajahnya yang tertekuk masam dan juga tampak sangat letih.Dan ya Aera! Sebaiknya kau jangan banyak bicara dan bertanya padanya. Atau kalau tidak pasti kau akan berakhir oleh repetannya yang sangat memekakkan telinga."Kau ingin menonton?"Aera sontak memutar tubuhnya yang hampir mencapai pintu kamar mandi. Matanya membola dengan sempurna, apakah ini ajakan kencan?Wah, Reagan
"Sepertinya konsentrasimu sedang terganggu ya?" tanya Aile, karena sedari tadi ia memanggil pria di sampingnya ini namun tak kunjung mendapatkan sahutan darinya. "Ya?" seperti tersadar, Dalva mmebawa buku miliknya lagi ke dala ruang matanya, berpura-pura membacanya tanpa suara. "Aku sedang bicara padamu, kenapa kau malah melihat ke situ, dasar tidak sopan sekali!" rutuk Aile seraya menarik buku bacaan milik Dalva. Karena mereka punya banyak waktu libur, jadi keduanya memutuskan untuk menghabiskan masa libur mereka dengan membaca buku. Ya hitung-hitung untuk menambah ilmu sebelum mereka masuk kuliah bulan depan. "Ck, menganggu saja!" keluh Dalva, tampaknya tak suka dengan perlakuan Aile. Gadis itu mendengus pelan, dia tentunya tahu pria di sampingnya inu jelas-jelas tengah memikirkan sesuatu yang berat. Setidaknya jika Dalva mau, dirinya bersedia mendengar ceritanya. Dari dulu juga begitu bukan? Jika ada masalah antara Aera dan juga Dalva,
-Sepertinya moodmu sedang baik hari ini?-"Tau dari mana dia moodku sedang baik hari ini, dasar sok tau. Aera bercelutuk pelan, mendapati pesan dari Aiden. Sesaat setelahnya senyum kecil muncul dibibirnya.-Sok tau banget-Balasnya kemudian. Ia tunggu beberapa menitpun tak kunjung mendapat balasan dari Aiden, akhirnya Aera memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Reagan sudah pergi beberapa jam yang lalu, hubungan merekapun jadi membaik belakangan ini.Ia ayunkan kakinya, upaya menuju balkon kamarnya, angin sejuk langsung menerpa tubuh mungilnya. Aera membawa kedua tangannya ke atas pagar balkon yang menjadi pembatas kamarnya dan juga ruang kosong di depan sana.Tatapannya kini turun kebawah, lagi-lagi Aera tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika jatuh je bawah sana. Pasti sangat sakit, oh atau lebih tepatnya dia akan meregang nyawa saat itu juga."Mmmm tak ada hal bagus yang bisa aku lakukan saat ini," perlaha
Sepasang tungkai itu sampai lada depan pintu apartemen Aera, sedikit memberikan senyuman perpisahan dan juga lambaian tangan yang terpaksa, Aera akhirnya memijakan kakinya masuk ke dalam.Masih sama, terasa sepi, Reagan beluk juga pulang. Jika boleh jujur, Aera sedikit merindukan pria pemilik bahu lebar itu."Kenapa pikiranmu terus terdoktrin padanya sih Ra? Dasar menyebalkan sekali," rutuknya tak terima memukul kepalanya sendiri."Dia itu pria yang menyebalkan kau tahu? Egois dan hanya mementingkan diri sendiri, tidak tahu malu dan sangat kurang ajar!" umpatannya tak berhenti sampai di situ saja.Perhatiannya teralihkan sesaat ketika ponselnya bergetar, ada pesan masuk ke dalam sana. Meski malas melihatnya tapi pada akhirnya ia memeriksa pesan itu, dan benar saja meski itu tanpa keterangan nama di sana dia sudah bisa menebak itu dari siapa. Siapa lagi kalau bukan orang yang mengantarnya barusan.Aera dengan sangat terpaksa
"Bisakah kita berteman?" pertanyaan itu terlontar cepat dari bibir Aiden. Senyuman tipis turut terpatri di wajah mereka. Kini keduanya sudah keluar dari cafe dan berada memilih tempat yang lebih privacy lagi untuk berbincang, seperti di dalam mobil Aiden ini contohnya. Detik itu juga Aera menyesali untuk di antar oleh Aiden kembali ke apartemen. Mengharuskan dirinya kini berakhir menuju hubungan yag semakin dekat dengan Aiden. Susah cukup saja pikirannya menjadi sakit beberapa dan batinnya tertekan semenjak menikah dengan Reagan, tentu ia tak ingin menambah kesialan lagi bukan. "Teman?" gadis berparas cantik itu menoleh pada Aiden yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Tersirat jelas bahwa ia tak ingin berlarut-larut terlibat dengan pria di sampingnya ini. "Ya, kenapa tidak? Kau seharusnya merasa bangga karena aku sang "solois terkenal -Aiden" mau menawarkanmu pertemanan. Jarang-jarang aku bersikap baik seperti ini," j
"Mau kemana kalian pagi-pagi begini?" Aera tahu, pertemuan dirinya dengan kedua orang itu bukanlah kebetulan, pasti mereka sudah membuat janji untuk temuan. "Kami akan pergi untuk mendaftar ulang di kampu," jawab Aile. Aera mendengus kasar, jika mengingat pembicaraan mereka bertiga tadi. Sungguh merasa sangat iri bisa kembali belajar dan bertemu banyak orang, sedangkan dirinya hanya seperti orang bodoh yang tidak tahu harus bagaimana menghabiskan hari yang membosankan ini. Aera memilih satu tempat, si sebuah cafe yang letaknya tak jauh dari taman kota, aneh memang pagi-pagi sudah ke cafe saja. Tapi mau bagaimana, dia juga tidak suka jika harus terkena paparan sinar matahari. Saat pikirannya masih teralihkan pada beberapa orang yang masuk ek dalam cafe, ponsel miliknya bergetar serta mengeluarkan nyanyian yang ia kenali sebagai nada dering ponselnya. Segera ia meraih ponselnya di dalam tas, kedua netranya membelalak tak