Share

3 - Perjodohan

“Astaga!” jerit Olivia dari dalam hati. Wajahnya memerah padam dan terbaring di ranjangnya.

Apa yang sedang ia bayangkan?

Rupanya malam itu, pria yang mengendarai Lamborghini sedang memaksanya ikut menaiki mobil. Hingga Olivia pun meninggalkan teman-temannya di kafe.

***

Kala itu, degup jantung Olivia berdebar kencang. Bukan karena akhirnya berdampingan dengan pria yang sempat ia lirik tadi. Melainkan karena pria itu menyetir mobil seperti sedang menaiki jet tempur.

“Hoi! Pelan-pelan dong bawa mobilnya! Kamu mau tanggung jawab kalau aku ada apa-apa?! Nggak, kan? Kita aja nggak kenal!”

Pria tadi masih berdiam diri dan fokus menyetir. Sampai pada mereka berhenti di sebuah mall dengan parkir VIP.

Anehnya, meski Olivia merasa takut dengan pria asing ini, ia masih mengikutinya. Pria yang dari tadi belum mengucap sepatah katapun.

Ponsel pria itu berdering kencang.

Olivia akhirnya bertanya padanya untuk mengangkat telepon tersebut. Ponsel itu sudah berbunyi sejak tadi di dalam mobil.

“Ya, Ma. Ivan bentar lagi sampai,” ucapnya dan langsung mematikan ponsel itu.

Oh, namanya Ivan.

“Hisss! Mau ngapain kita? Aku pergi! Bisa pulang sendiri!”

Saat Olivia hendak menuju pintu keluar mall, Ivan pun menarik kembali Olivia.

“Tunggu,” ucapnya datar.

Seolah melawan, Olivia melepaskan tangan pria yang disebutnya keren tadi.

“Ikut aku,” pinta Ivan. Sembari menaiki lift bersama Olivia.

Tap tap tap

Segera keluarlah mereka dari dalam lift dan menuju ke sebuah restoran korea. Restoran yang terkenal mahal di mall ini.

“Maaf menunggu lama,” kata Ivan pada seseorang yang telah duduk di sebuah kursi makan.

Raut wajah seseorang itu tampak heran dan kikuk ketika melihat Ivan datang.

“Teman kamu?” tanya Olivia heran.

Ivan dan Olivia pun duduk berdampingan. Kalau dipikir memang sangat aneh ketika dua orang tak saling kenal namun mau diajak pergi. Namun bagaimana lagi? Olivia juga sudah sedikit suka ketika pria yang sempat ia pandangi di kedai tadi tiba-tiba terpampang di hadapannya. Tetap saja masih ada rasa takut. Bagaimana kalau pria itu psikopat?

“Kenalin! Aku Olivia,” ujarnya seiring mengulurkan tangan pada seseorang tadi. “Aku … ah! Aku bukan teman Ivan, kok! Aku pulang duluan, ya!

Olivia mengambil momen ini untuk kabur meninggalkan dua orang tak dikenalnya ini.

“Aku bilang tunggu! Tetap di sini!”

Tentu saja Olivia tersentak. Dia sudah beranjak dari kursi namun tangannya tertahan oleh Ivan. Dengan genggaman yang sedikit mencengkeram perih.

Selama beberapa menit berjalan, orang tersebut akhirnya bertanya. Sesuatu yang sudah ia tahan sejak tadi.

“Kalian sudah berteman sejak lama?”

Olivia menoleh ke Ivan. Menunggu apa yang akan keluar dari mulutnya yang sangat minim komunikasi itu.

“Kami bukan teman. Dia calon istriku,” jawab Ivan dengan abainya pada perempuan cantik dengan bibir merah dan rambut yang panjang nan rapi tersebut.

Jelas Olivia membusungkan dadanya. Mengambil napas panjang. Kaget dengan jawaban asal tersebut.

Tak ingin berlama-lama, Ivan kembali menggandeng Olivia dan pergi dari tempat makan itu.

“Ih! Aku bisa jalan sendiri,” rengek Olivia melepaskan tangan Ivan.

Kemudian ia segera berlari menjauhi pria tinggi itu. Sesegera mungkin Olivia memesan taksi online dan pulang ke rumah. Acuh terhadap Ivan.

Dia pun yakin bahwa Ivan juga tak akan mencarinya lagi sebab tak ada hubungan di antara mereka berdua.

Entah siapa wanita tadi, Olivia juga tak perlu memikirkannya. Yang terpenting ialah sekarang ia berada di rumah dan selamat.

***

Siang ini Olivia sedang berada di sebuah mall. Ia melihat-lihat koleksi tas yang ada di beberapa toko. Untuk hari ini Olivia sungguh merasa biasa saja dan tak ada yang membebaninya sama sekali.

Ia pun membeli sebuah tas seharga dua juta. Segeralah ia mengabari sopirnya, Pak Herman.

“Pak, ini saya turun ke parkiran,” ucap Olivia melalui pesan teks.

Herman sedang bersantai sambil merokok di ruang tunggu sembari menunggu Olivia. Ia sudah setia menemani Olivia sejak kecil hingga tumbuh dewasa. Selalu mengantar Olivia ke mana pun dan kapan pun.

Setelah sepersekian menit menunggu sambil menyalakan mobil, Herman bertanya-tanya.

“Kok Non lama sekali, ya? Sudah tiga puluh menit tidak turun-turun,” batinnya.

Hal yang ganjil terjadi. Tak biasanya Olivia tak tepat waktu. Kalau Olivia sudah mengatakan akan pulang pasti biasanya akan langsung pulang.

“Nomor yang anda tuju tidak aktif ….”

Begitu jawaban ketika Herman menelepon Olivia.

Panik? Panik lah! Masa nggak!

Sejumlah lantai sudah ia telusuri. Kendatipun begitu, ia tetap saja tidak bisa menemukan Olivia. Herman bergegas mengambil mobil dan menuju ke rumah orang tua Olivia.

“Bu … Non Olivia ti-tidak bisa di-dihubungi. Saya juga sudah mencari Non ke semua lantai di mall tadi,” jelas Herman sambil menundukkan kepala.

Aulia yang sedang duduk di sofa sembari memperhatikan Herman berbicara akhirnya tersentak kaget.

“Hah? Tu-tunggu! Bicara pelan-pelan! Jangan sampai ketahuan suamiku, Pak! Kita cari dulu sebisa mungkin,” bisik Aulia seiring mengerutkan pelipisnya.

***

“Kamu sudah berapa kali mengecewakan mama?!”

“Maaf, Ma.” Jawaban yang singkat dan tak terlihat tulus.

Li Hua sedang mengunyah buah pir kesukaannya sore ini. Namun suasana santai ini dirusak oleh anaknya sendiri.

“Mama sudah berusaha ngenalin kamu anak teman mama tapi nggak ada yang cocok sama kamu. Terakhir Bella! Mama sudah setuju mau jodohin kamu sama anak sahabat mama tapi kamu kecewain lagi! Mau kamu apa, Ivan?!”

Ivan tetap bersikukuh terhadap pendiriannya. “Mau aku? Mauku ya aku nggak mau dijodohin! Biar Ivan cari istri sendiri!”

Li Hua masih naik pitam. Meski merasa bersalah ketika seperti ini. Memarahi anaknya sendiri. Ia tetap merasa harus mengungkapkan emosinya yang meledak-ledak ini.

“Lihat! Pacar kamu mana ada yang benar? Semuanya cuma mau uang kamu, kan!? Akhirnya kamu sendiri yang sakit hati.”

“Iya, Ma. Ivan tau. Makanya Ivan belum mau cari yang baru lagi,” belanya.

Ivan sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini nanti. Ia pun menarik napas panjang agar siap lebih dalam terkena omelan ibunya.

“Kemarin! Kamu ketemu Bella dengan siapa? Mama sudah merencanakan malam itu hanya untuk kalian berdua makan bersama! Astaga, urat malu mama sudah putus sekarang!” omel Li Hua pada anaknya ini. Sembari saling memandang dengan mata sipit mereka.

Ivan menanyakan kenapa Li Hua sampai berkata seperti itu.

Li Hua semakin kesal namun menahan gelak tawanya juga. Jangan sampai Ivan mengerti bahwa ia akan terkekeh.

“Ya kamu itu! Malu-maluin mama! Janjinya berdua kok malah ajak wanita lain! Mama malu sama Bella, lah!”

Keduanya saling menenangkan diri. Sedangkan Ivan masih menggaruk kulit kepalanya seiring mengamati Li Hua yang seolah kalang kabut tak ada harapan.

“Ayo ikut Mama!”

Hentakan yang mengagetkan Ivan. Li Hua menggandeng tangan anaknya tersebut dengan sedikit paksaan.

“Mah! Mau ke mana?”

“Ketemu Bella! Jelasin semuanya ke Bella!” ungkap Li Hua.

Ivan tak ingin dianggap sebagai anak mama. Itulah mengapa Ivan tak ingin mengiyakan perjodohan ini. Ia pun merasa tak ada koneksi antara dia dan Bella – wanita yang dijodohkan denganya.

Sebisa mungkin, ia harus mencoba kabur dari perjodohan tak jelas dan tak berujung ini. Berkali-kali dia lolos. Kali ini akan lolos lagi, pikir Ivan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status