Share

Bab 6. Karena Dirimu!

Vintari menghela napas panjang setelah menutup pintu kamarnya. Dia masih berdiri, bersandar pada pintu, sambil mendekap tasnya di dada. Ucapan Zeus tadi membuat hati dan pikirannya menjadi terusik. Sialnya, kata-kata Zeus sangat melekat padanya—seolah bagaikan magnet yang menempel.

'Seks tidak harus saling mencintai. Di luar sana, banyak sekali pernikahan bisnis tanpa didasari cinta. Kita hidup di dunia nyata, Vintari, bukan di negeri dongeng seperti pemikiranmu.'

Semakin dipikir, logikanya semakin menampik kalimat itu. Demi apa pun, dia tidak akan pernah bisa berhubungan seks tanpa cinta. Baginya, semua hal intim harus didasari oleh cinta. Pemikiran yang sangat kuno. Namun, itulah Vintari.

“Pria itu memang sudah gila karena menganggap menikah dan seks adalah sebuah pekerjaan. Kenapa bisa pria gila itu menjadi seorang dokter?” gumamnya, sambil melempar tas ke atas sofa yang terletak di ujung tempat tidurnya. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Kedua tangannya terentang lebar, dengan sorot matanya yang lekat mengarah pada langit-langit kamar.

“Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Itu berarti, aku harus bersama dengan suamiku seumur hidup. Tapi, bagaimana aku bisa hidup selamanya dengan Zeus yang tanpa cinta? Aku harus bagaimana?” rengeknya, dengan menahan air mata yang hampir menetes.  

Dalam hati, Vintari terus memutar pertanyaan yang tak mungkin dia ungkapkan. Haruskah dia menerima perjodohan ini? Haruskah dia mengorbankan kehidupan percintaannya, tak bisakah dia memilih jalan hidupnya sendiri? Vintari bagaikan terbelenggu di dalam sebuah penjara.

Helaan napas kasar kembali terdengar. Memikirkan hal itu, membuat dadanya semakin sesak. Meskipun enggan, dia memaksa berdiri dan berjalan malas menuju kamar mandi. Berendam adalah pilihan yang terbaik demi menyegarkan pikirannya.

***

Sorot matahari pagi yang menerobos jendela kamar membuat Vintari mengerjap pelan. Sebelah tangannya mengulur ke atas nakas untuk meraih ponselnya. Setelah melihat jam di layar ponsel—dia kembali bergelung di bawah selimut sambil mengerang. Badannya sakit semua, ditambah dengan perutnya yang mendadak terasa nyeri.

“Ugh! Maagku sepertinya kambuh karena semalam lupa makan,” erangnya, mencoba untuk menahan rasa nyeri ketika duduk. “Zeus, sialan! Ini semua gara-gara dia yang tidak peduli dengan nasib perutku!” umpatnya.

Sebenarnya, Vintari tidak ingin mempermasalahkan sikap Zeus semalam. Akan tetapi, setiap kali dipikirkan lagi, semua hal yang pria itu lakukan selalu membuatnya kesal. Jika dia adalah lelaki yang bertanggung jawab, dia pasti telah mengajaknya untuk mampir ke restoran sebelum pulang. Apalagi, Vintari sudah menunggu Zeus lama di ruangan yang bahkan tak ada sebotol pun air minum.

Vintari terdiam sebentar di depan pintu sambil mencengkeram gagangnya sebelum keluar. Badannya benar-benar tak bisa dikompromi. Bahkan setelah dia mandi, badannya justru semakin sakit. Sialnya, mau tidak mau dia harus tetap berangkat ke kampus karena mata kuliah hari ini milik dosen killer yang tak ada kata ampun.

Di ruang makan, Jenny melihat putrinya yang berjalan lunglai. “Kau kenapa, Sweetheart? Mukamu pucat sekali. Hari ini di rumah saja, jangan keluar rumah,” ucap Jenny sambil menyodorkan segelas susu pada Vintari.

Vintari ingin sekali mengatakan ini ulah Zeus karena semalam tidak bertanggung jawab pada kesejahteraan perutnya. Namun, mana mungkin dia mengatakannya. Ibunya justru pasti akan menyalahkan dirinya.

I'm okay, Mom. Hanya kelelahan saja. Hari ini aku tidak boleh bolos. Aku tidak ingin mengulang kelas dosen killer itu di semester selanjutnya,” jawab Vintari, mencoba untuk menyembunyikan rasa nyeri perutnya yang semakin intens.

“Kau yakin, Honey? Pakai sopir saja, ya?” tawar Jenny khawatir.

Vintari menggelengkan kepalanya. “No, Mom. I'm good. Aku bisa sendiri.”

Jenny masih memandang putrinya dengan cemas. Namun, pada akhirnya, dia memilih untuk tidak mendebat lagi. “Baiklah, tapi habiskan dulu sarapanmu dan segera hubungi Mommy jika ada apa-apa.”

Vintari mengangguk, sambil menyuap sandwich isi sayur dan telur mayo dalam gigitan besar. “Siap, Mom. Jangan mengkhawatirkanku.”

***

Zeus melangkah keluar dari ruang rektor Manhattan of University. Langkah gagahnya berhasil mencuri banyak tatapan dari para mahasiswi yang sedang duduk bergerombol di taman kampus. Para mahasiwi berbisik, mereka mengagumi sosok Zeus, tapi tentu saja pria itu tak peduli sama sekali.

Sorot matanya yang tajam terarah lurus ke parkiran yang tidak jauh dari tempatnya sekarang. Dalam hati, dia merasa puas karena pembicaraannya tentang rencana investasi pada pada fakultas kedokteran di kampus ini berjalan dengan lancar.

Keluarga Ducan yang terkenal dengan dedikasinya di dunia kesehatan, selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi para calon dokter untuk bisa menempuh kuliahnya dengan baik. Investasi peremajaan alat penunjang pengajaran adalah salah satunya.

Di sisi lain, Vintari yang juga seorang mahasiswi management di kampus itu terlihat berjalan lunglai menuju parkiran. Perutnya yang dari tadi sudah terasa nyeri, saat ini semakin menyiksanya sampai dia harus sedikit membungkuk saat berjalan.

Jaraknya dengan mobil yang terparkir tinggal beberapa langkah lagi. Satu tangannya memegang perut, dan sebelahnya lagi menekan dahinya karena pandangannya mulai kabur.

Shit!” umpat Vintari sambil berusaha untuk melangkah lebih cepat lagi.

Kepalanya semakin berputar. Keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya, dan kedua tangannya telah kesemutan ringan. Tepat ketika dia menarik pintu mobil, pandangannya telah menggelap sepenuhnya. Dia terjatuh tak sadarkan diri—dan beruntung gadis itu jatuh pada pelukan seseorang pria.

***

Aroma obat yang menyengat mulai menyeruak pada indra penciuman Vintari saat kesadarannya perlahan kembali. Manik ambernya mengerjap pelan, berusaha untuk mencerna keadaan saat dia tiba-tiba terbangun di ruangan serba putih.

Tubuhnya masih terasa lemas. Dia hanya bisa mengedarkan pandangannya, dan akhirnya menemukan sosok yang membuatnya menjadi seperti ini. Zeus, sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya, sambil memeriksa lembaran rekam medis milik Vintari. Dari sisi Vintari saat ini, siluet wajah Zeus terlihat sempurna. Apalagi ketika dia fokus, tenggelam pada informasi medis yang dia baca.

“Z-Zeus ...,” panggil Vintari, lirih.

Zeus menoleh, berjalan menghampiri Vintari. “Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau rasakan sekarang?” tanyanya, dengan nada datar dan dingin.

“A-aku di mana?” tanya Vintari lemah.

“Kau lupa tadi kau pingsan?” balas Zeus dengan nada yang masih sama.

Vintari terdiam sejenak mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Dalam hitungan detik, dia mengingat dirinya yang pingsan di kampus. Namun tunggu! Kenapa bisa ada Zeus di sini?

“A-aku pingsan di kampus,” ucap Vintari mengingat. “T-tapi kenapa kau bisa ada di sini?” tanyanya bingung, dan tak mengerti.

“Kau tidak ingat siapa yang membawamu ke rumah sakit?”

Lagi. Vintari terdiam mendengar pertanyaan Zeus. Seketika gadis itu teringat bahwa ada seseorang pria yang menangkap tubuhnya di kala pingsan!

“K-kau yang membawaku ke rumah sakit?”

“Menurutmu?”

Vintari menjadi bingung. “Aku yakin pasti kau yang membawaku ke rumah sakit. Tapi kenapa kau bisa ada di kampusku?”

“Ada urusan,” jawab Zeus dingin. “Bagaimana keadaanmu?”

Vintari ingin bertanya urusan apa yang dimaksud oleh Zeus, tapi dia mengurungkan niatnya. Terlalu lancang jika dirinya ingin tahu lebih dalam lagi. Padahal ditolong saja, itu sudah harus membuatnya bersyukur.

“Jauh lebih baik, hanya masih sedikit pusing,” jawab Vintari pelan.

Zeus menatap Vintari, mengecek aliran cairan infus dan kembali memandang gadis itu sambil berkata, “Kukira, kau hanya seorang gadis yang ceroboh. Tapi ternyata, kau juga tidak pandai mengurus dirimu sendiri.”

Vintari mendelik tajam mendengar sindiran Zeus. Refleks, dia langsung duduk. Tak peduli dengan kepalanya yang masih sedikit berputar. “Hei! Aku hanya lupa makan semalam! Tak ada kaitannya dengan tidak pandai mengurus diri. Menyebalkan!”

Raut Zeus tetap datar walaupun mendengar bentakan Vintari. Dengan santai, dia membantu Vintari untuk kembali rebahan, membenarkan posisi selimut sampai batas perut. “Istirahatlah.”

“Tidak usah pedulikanku. Lebih baik kau pergi saja. Melihat wajahmu membuatku tambah sakit!” ketus Vintari.

Alih-alih pergi, Zeus justru menyeringai, duduk di sofa yang terletak di sisi kanan ranjang rawat Vintari. Kaki jenjangnya menyilang, punggungnya yang tegap bersandar pada sandaran sofa dengan kedua tangan terlipat di dada.

“Aku akan tetap di sini sampai infusmu habis. Setelah itu, baru aku akan pergi dan kau boleh pulang,” ucap Zeus santai.

Vintari mendengkus kesal. “Kukira seorang Dokter akan sibuk dengan pasiennya. Kenapa kau malah bersantai di sini? Pergilah!”

Zeus masih tetap dalam posisinya, dan menatap Vintari. “Hari ini, pasienku hanya dirimu. Jadi, tenanglah dan bersikap baik. Aku akan tetap di sini.”

Vintari mengerjap tak percaya. Manik ambernya tetap memperhatikan Zeus yang saat ini tengah memainkan ponselnya. Sangat aneh ketika melihat seorang pria yang biasanya selalu bersikap angkuh, kini mendadak menjadi baik.

Pikiran Vintari masih mencari tahu jawaban dari semua pertanyaannya. Apa ada yang salah dengan Zeus? Kenapa dia menjadi sedikit baik? Kenapa pria itu peduli padanya? Apa pria itu mengalami benturan di kepala? Jutaan pertanyaan yang tak terucap muncul di dalam benak Vintari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status