Share

Bab 5. Pria yang Tak Bisa Diprediksi

“Vintari, antarkan dokumen ini pada Zeus. Dokumen ini milik Paman David, tapi kau berikan saja pada Zeus.” Jenny memberikan dokumen yang ada di tangannya, pada Vintari. Tampak raut wajah gadis itu berubah jengkel. Baru saja gadis itu pulang kuliah, tapi malah sudah disuruh hal yang menyebalkan.

“Mom, kau bisa meminta sopir untuk mengantarkan pada Zeus.” Vintari memberi saran, sekaligus tersirat menolak. Gadis itu enggan untuk bertemu dengan pria menyebalkan.

Jenny melipat tangan di depan dada. “Mommy ingin kau yang mengantar ini pada Zeus. Ini dokumen penting. Kau tidak usah menyetir. Kau bersama sopir saja. Nanti pulangnya, biar Zeus yang mengantarmu pulang.”

Vintari berdecak pelan. “Mom—”

“Vintari, Mommy dengar dari sopir kalau mobilmu masuk bengkel, karena menabrak. Apa itu benar?” Jenny langsung memotong ucapan Vintari, dan sontak membaut raut wajah Vintari memucat panik.

“Ah, itu. A-aku menabrak mobil teman kampusku, tapi aku sudah menyelesaikannya. Kau tidak usah khawatir, Mom,” ucap Vintari cepat berdusta. Tak mungkin dirinya menceritakan pertemuan menyebalkannya dengan Zeus. Bisa-bisa, ibunya akan menyangka kalau dirinya memang benar berjodoh dengan Zeus.

Jenny mengangguk-anggukan kepalanya. “Kalau begitu anggap saja ini hukuman dari Mommy.”

What?” Kening Vintari mengerut, menatap bingung ibunya.

Jenny mendekat. “Ya, hukumannya adalah kau harus mengantarkan dokumen ini untuk Zeus. Tidak ada penolakan, karena ini hukuman untukmu.”

Mata Vintari melebar. “Oh, Mom. Please.”

“Vintari, hukumanmu bisa jauh lebih berat kalau kau melawan. Sekarang cepat antar dokumen ini pada Zeus,” ucap Jenny yang tak ingin dibantah.

Vintari mencebikkan bibirnya kesal pada sang ibu. “Ke mana aku harus mengantar dokumen ini?” tanyanya menahan kesal. Terpaksa, dia harus mengikuti apa yang diinginkan oleh ibunya.  

“Ke rumah sakit. Jam seperti ini pasti Zeus masih ada di rumah sakit.” Jenny membelai pipi Vintari, dan memberikan kecupan di sana.

Vintari mengangguk dengan wajah yang masih kesal. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan ibunya tanpa mengatakan apa pun. Terlihat senyuman di wajah Jenny terlukis melihat Vintari patuh padanya.

***

Vintari turun dari mobil di kala sopirnya sudah mengantarkan ke lobi rumah sakit. Gadis itu langsung masuk ke dalam lobi, hendak menuju ruang kerja Zeus. Namun, tiba-tiba tatapan Vintari menatap terkejut Zeus bersama dengan perawat tengah mendorong brankar. Raut wajah Vintari nampak memucat melihat di atas brankar terbaring pasien yang berlumuran darah.

“Siapkan ruang operasi,” seru Zeus seraya berlari mendorong brankar.

“Baik, Dok,” jawab sang perawat.

“Zeus—” Vintari mengejar Zeus, lalu pria itu pun sempat melirik Vintari sekilas, tapi sayangnya Zeus tak mengatakan apa pun. Zeus yang begitu terburu-buru segera masuk ke dalam ruang operasi bersama dengan pasien dan para perawat.

Vintari mendesah panjang menatap ruang operasi yang sudah tertutup. Dia duduk di kursi yang ada di sana sambil menatap dokumen yang ada di tangannya. Entah apa isi dokumen ini. Harusnya jika dokumen ini untuk ayah Zeus, maka dirinya mengantar pada ayah Zeus, bukan pada Zeus. Sungguh, dia tak mengerti dengan cara pikir ibunya.

“Nona Vintari Rivers?” seorang pria melangkah menghampiri Vintari.

Vintari mengalihkan pandangannya, menatap bingung pria itu. “Ya? Kau siapa?”

“Nona, perkenalkan saya Evan, asisten Tuan Zeus Ducan. Beliau berpesan pada saya, meminta Anda untuk menunggu beliau di ruang kerjanya,” jawab pria bernama Evan memberi tahu.

Vintari mengangguk. “Thanks, aku akan ke ruang kerjanya.”

“Silakan, Nona.” Evan tersenyum sopan.

Vintari membalas senyuman Evan, lalu bangkit berdiri, dan melangkah menuju ke ruang kerja Zeus. Setibanya di ruang kerja Zeus, dia duduk di sofa dan meletakan dokumen di tangannya di sampingnya. Gadis itu menguap beberapa kali di kala rasa ngantuk menyerang. Pulang dari kampus langsung menuju ke rumah sakit. Wajar saja jika sekarang Vintari mengantuk.

Perlahan, Vintari membaringkan tubuhnya di sofa. Sayup-sayup, mata Vintari mulai terpejam ketika dia tak sanggup lagi menahan kantuknya. Gadis itu benar-benar tertidur pulas, sampai lupa di mana dirinya berada.

Beberapa jam berlalu …

Zeus melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya, mendapati Vintari yang tertidur pulas di sofa. Pria itu meletakan stetoskop ke atas meja, lalu mendekat pada Vintari yang terlelap. Zeus menggelengkan kepalanya melihat Vintari begitu terlelap.

“Vintari.” Zeus menepuk bahu Vintari, membangunkan gadis itu, tapi sayangnya gadis itu tak kunjung bangun. Malah yang ada gadis itu menjadikan tangan Zeus seperti guling.

Zeus berdecak kesal. “Vintari, bangun!” serunya dengan nada sedikit keras.

Vintari tersentak terkejut. Gadis itu mengendarkan matanya ke sekitar menatap dirinya berada di ruang kerja Zeus. Dalam hitungan detik, ingatan Vintari tergali bahwa dia diminta ibunya untuk mengantarkan dokumen pada Zeus. Namun, sialnya dirinya malah tertidur di ruang kerja pria itu. Benar-benar memalukan!

Vintari menatap sedikit malu Zeus. “Maaf, aku tertidur di kantormu.”

“Kenapa kau ke sini?” tanya Zeus tanpa mengindahkan ucapan maaf Vintari.

Vintari memberikan dokumen di tangannya pada Zeus. “Ibuku memintaku mengantarkan dokumen ini untukmu. Ibuku bilang dokumen ini untuk ayahmu.”

Zeus mengambil dokumen itu, dan membaca sekilas. “Aku akan memberikan pada ayahku. Dia sekarang sedang pergi ke Chicago.”

Vintari menganggukan kepalanya. “Oke, hm, kau bisa antar aku pulang atau tidak? Aku tidak menyetir mobil. Aku diantar sopir. Ibuku bilang, aku harus meminta antar kau untuk pulang, tapi kalau kau sibuk, aku akan naik taksi saja.”

Zeus mengembuskan napas panjang, lalu bangkit berdiri. “Tunggu lima menit. Aku harus mengganti pakaianku. Nanti aku akan mengantarmu pulang.”

Vintari kembali menganggukan kepalanya. Kemudian, Zeus masuk ke dalam ruang ganti.

Tak selang lama, ketika Zeus sudah selesai mengganti pakaiannya, dia mengajak Vintari pergi meninggalkan ruang kerjanya, menuju mobilnya. Terlihat Vintari menurut dan memilih untuk tak mengatakan apa pun.

Sepanjang perjalanan, Vintari melirik Zeus yang begitu serius tengah mengemudikan mobil. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu hal yang ingin Vintari katakan, tapi dirinya masih belum berani berbicara.

“Bagaimana operasi tadi? Apa berjalan lancar?” tanya Vintari ingin tahu.

“Ya, semua berjalan lancar,” jawab Zeus datar.

Zeus terdiam sebentar. “Zeus, aku ingin membahas tentang perjodohan kita. Menurutku—”

“Siapa pria yang kau sukai?”  Zeus melirik Vintari sekilas, memotong ucapan gadis itu.

“Hm?” Mata Vintari sedikit melebar, menatap bingung Zeus.

“Kau bilang padaku kemarin, ada pria yang kau sukai,” ucap Zeus dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.

Vintari mendesah pelan. “Dia adalah seniorku di kampusku. Aku sangat mencintai dia, Zeus.”

“Kau dan dia sepasang kekasih?”

“Tidak, kami belum menjalin hubungan.”

“Jadi maksudmu, kau diam-diam menyukai dia?”

“Iya, dia tidak tahu perasaanku. Aku selama ini diam-diam mengamatinya dari kejauhan.”

Zeus melirik sekilas tak peduli pada Vintari. “Kalau begitu, kau bisa dengan mudah melupakannya, dan jalani perjodohan ini sesuai yang diinginkan orang tuamu dan orang tuaku.”

Vintari mendecakkan lidahnya. “Zeus, kau tidak bisa menyamakan pernikahan layaknya pekerjaan.”  

Zeus tersenyum tipis. “Menikah, dan memiliki anak. Semua orang di dunia ini menginginkan pola kehidupan seperti itu, kan? Jadi cukup anggap ini pekerjaan.”

Vintari mendengkus tak suka. “Zeus, menikah itu tetap harus saling mencintai. Bagaimana bisa punya anak kalau tidak saling mencintai.”

Zeus menepikan mobilnya, dia mendekatkan wajahnya pada wajah Vintari. Sontak, tindakan pria itu membuat Vintari menjadi salah tingkah. Jarak yang begitu dekat dan intim membuat saraf di dalam tubuh Vintari tak berfungsi dengan baik. Aroma parfume maskulin pria itu menyeruak ke indra penciuman Vintari.

“Z-Zeus—” Vintari menjadi gugup dan salah tingkah.

Zeus menarik dagu Vintari, menatap tajam gadis itu, dan berdesis, “Seks tidak harus saling mencintai. Di luar sana, banyak sekali pernikahan bisnis tanpa didasari cinta. Kita hidup di dunia nyata, Vintari, bukan di negeri dongeng seperti pemikiranmu.” 

Vintari meneguk saliva-nya susah payah mendengar ucapan Zeus yang menusuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status