“Aku juga tahu perbuatan yang coba kau sembunyikan dariku, Anna. Aku tahu di bagian tubuhmu yang mana yang telah dia lihat dan sentuh,” sambungnya dengan tersenyum samar—tipis dan nyaris seperti bayangan—atau barangkali indra penglihatanku memang membuat kesalahan lain.
“Be-benarkah?”
“Itu benar. Bukankah sudah pernah kukatakan padamu? Kau tidak akan sanggup menutupi sesuatu dariku, dari kaum werewolf. Aku mencium bau Aldrich di seluruh tubuhmu.”
Sial, pikirku. Semua karena Aldrich. Tidak. Bukan, sama sekali bukan. Aku tak boleh menyalahkan pria malang itu sebab kami melakukannya dengan kesediaan diri kami masing-masing.
<
“Kau milikku, Anna. Milikku. Tidak peduli apa yang terjadi, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengubah status itu dariku.”Xaferius seketika menarik tubuhku dan menjatuhkannya dalam dekapan. Kami saling memagut dengan berjuta perasaan yang berkecamuk di benakku. Sulit mengingkari bahwa aku merindukan sekaligus mendambakan sentuhan yang lebih jauh daripada ini.“Aku akan menghilangkan bau sialan ini dari tubuhmu,” geram Xaferius yang mengangkat kepalaku ke atas—mendongakkannya ke arah wajahnya sendiri—dan menciumku dengan lumatan yang luar biasa.Bibir Xaferius mengecupku berulang-ulang kali. Dia merebut napasku dariku—membuatku limbung—nyaris memohon untuk dilemparkan ke dunia yang sering kali membutakanku. Aku terengah-eng
Xaferius seketika menarik gigitannya dengan bibir yang masih dipenuhi darah, lantas mengarahkan tatapannya padaku, “Sakit? Bagus, kau memang layak mendapatkannya.”“Sakit sekali,” rengekku sambil menahan tangis.“Apa kau masih berpikir bahwa aku pasangan yang sempurna sekarang setelah hukuman yang kau dapatkan?”Air mataku pun serta-merta tumpah di hadapan Xaferius dan bergumam, “Maafkan aku.”“Aku memang akan selalu memaafkanmu, tetapi kau harus membayar pengkhianatan yang telah kau lakukan secara sadar di belakangku dengan cara yang berbeda.”“Apa maksudmu?”
Kami duduk di atas sofa sekarang—berpelukan dan menikmati dua cangkir minuman cokelat panas—seperti pasangan normal. Aku membuka percakapan yang rasanya sudah lama hilang di antara kami. Xaferius merangkul pundakku dengan lembut sambil sesekali mengangguk atau menggeleng sebagai tanggapan.“Jadi, bagaimana kondisi portal? Apa semuanya baik-baik saja?”“Kau tidak perlu mencemaskan hal itu, Anna. Mereka telah mengurusnya.”“Aku hanya penasaran.”“Gadisku memang selalu ingin tahu,” seloroh Xaferius yang tersenyum samar padaku.“Kau belum menceritakan tentang lukamu. Bagaimana kau mendapatkannya?
Hari-hari yang kulalui bersama Xaferius selalu menyenangkan—penuh afeksi—di setiap detiknya. Bulan-bulan bergeser dengan cepat. Kami pun tiba di penghujung tahun dan musim dingin datang jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Suhu turun drastis di titik minus, sementara salju terus berjatuhan sejak tadi malam. Rasanya seolah-olah embusan napasku sanggup membeku kapan saja.Kehidupan kami terasa monoton, tetapi tenang selepas Pavla menghilang dari insiden mengerikan yang telah terjadi di kawasan portal waktu itu. Dia tak lagi muncul atau bahkan terdengar kabarnya oleh para kawanan, begitu juga dengan Aldrich. Aku sudah lama sekali tak bertemu dengan pria itu. Ikatan yang pernah terjalin di antara kami berdua pun serta-merta berakhir setelah dia menjauh.“Apa kau sudah siap, Anna?” tanya Xaferius yang masih sabar
Kami tiba di New Orleans—kota metropolitan yang terbelah oleh Sungai Mississippi itu—pada waktu setempat. Langit senja turun menyambut kami setelah berhasil mendarat dengan aman di Bandara Internasional Louis Armstrong. Aku menyambut uluran tangan Xaferius yang ingin berjalan berdampingan denganku. Kami saling berpegangan—mengaitkan jemari satu sama lain—seperti kekasih umumnya.“Apa kau lelah?” tanya Xaferius yang kembali membuka obrolan di antara kami sebelum memasuki ruangan berikutnya untuk mengambil bagasi.“Ya. Aku ingin melepas leherku saja jika itu memang bisa kulakukan.”“Apa kau perlu bantuanku?”“Itu hanya kiasan, Xaferius. Apa kau be
“Berhentilah khawatir secara berlebihan sebab kita sudah sampai sekarang,” ucapnya dengan sorot mata yang dijejali oleh ledakan euforia.Kami kemudian bergegas turun dari taksi setelah membayar tarif perjalanannya. Xaferius kembali menggandengku seperti sebelumnya. Senyum di sudut bibirnya terus melebar seiring dengan langkah panjangnya yang bergerak menuntunku masuk ke halaman rumah besar tipe minimalis modern—yang mengusung konsep kaca—yang elegan.Nyaman.Itu merupakan kesan pertama yang kudapat dari tempat tinggal orang tua Xaferius. Mereka sangat memahami cara menyelaraskan desain dan tema yang harus ditonjolkan pada sebuah bangunan sekaligus menciptakan nilai tambah yang apik. Aku bertanya-tanya apa profesi mereka selepas ‘pensiun’ d
“Apa kau suka memasak?” tanya Lucia yang mencoba menerka lagi. “Ya, tetapi aku sudah jarang melakukannya sekarang.” Kini kami berdua sedang duduk di atas kursi berkaki panjang yang terbuat dari bahan aluminium—dipoles sampai mengilat—seperti yang biasanya ada di area bar. Lucia kemudian menyerahkan segelas jus lemon dan memintaku untuk menghabiskannya tanpa sisa. “Terima kasih, Lucia. Kau membuatnya dengan sempurna. Rasanya sangat enak,” ucapku setelah berhasil menenggaknya separuh. “Benarkah? Tidak ada yang pernah memuji kemampuanku sebelumnya,” komentarnya dengan nada takjub. Tawaku seketika mengudara selepas mendengar pengakuan Lucia, “Apa itu
“Mengapa kalian harus kembali secepat itu?” keluh Lucia yang masih merangkulku dengan sikap tak rela.Aku mengumbar senyumku pada Xaferius kemudian kembali mengarahkannya pada Lucia yang masih gigih membujuk putranya agar tinggal lebih lama—tiga atau empat hari—lagi. Sudah dua minggu kami berada di New Orleans dan Xaferius ingin segera pulang ke Glasglow. Ada setumpuk pekerjaan yang sedang menantinya di sana.Shaunn juga beberapa kali meneleponku dan merengek tentang jadwal kepulangan kami. Kesepian menjadi salah satu alasan yang paling vokal dia ungkapkan, sementara suara Simon selalu meneriakinya dengan beragam kalimat sorakan yang menjadi latar belakang percakapan di antara kami. Pria itu mengolok-oloknya lewat julukan ‘Si Bocah Tantrum’.