Home / Romansa / Criana / Tentang Dia

Share

Tentang Dia

Author: Fitriyawati
last update Last Updated: 2021-04-04 07:41:10

Sejak dia menghubungiku melalui chat Wa malam itu, aku mulai berani untuk menghubunginya lebih dulu. Kadang aku menelponnya,dan kadang aku hanya berkirim pesan melalui Wa. Akan tetapi aku harus pintar-pintar memilih waktu, aku takut istrinya tahu.

Satu hal yang membuatku sangat bahagia, dia selalu menyambut baik apabila aku menghubunginya terlebih dulu. Dia tidak pernah menolak teleponku, dia selalu membalas pesanku.

Faisal Pranata, sejak pertemuan itu aku gencar mencari tahu tentangnya. Kemampuan analisisku yang di atas rata-rata, membuatku tidak kesulitan untuk mencari rekam jejaknya.

Dia lelaki berdarah biru, dengan karier yang sangat cemerlang. Saat ini dia menjabat sebagai seorang CEO di sebuah perusahahan besar, yang bergerak di bidang ekspor impor. Kantornya ternyata tidak begitu jauh dari kantor di mana aku sedang bekerja saat ini. 

Aku ingin sering mengajaknya keluar, walau hanya untuk sekedar minum kopi bersama. Aku selalu beralasan, ingin meneraktirnya sebagia tanda terimakasih karena dia sudah menolongku waktu itu. Akan tetapi dia selalu menolak ajakanku.

Aku paham, sangat riskan baginya berjalan dengan seorang wanita. Mengingat dia sudah beristri dan colleganya di mana-mana.  Satu kali saja dia ketahuan selingkuh, maka aku pastikan kariernya akan hancur.

Hingga sutu ketika, kerinduannku padanya sudah tidak terbendung. Terpaksa aku menyusup ke Kantornya. Aku masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia begitu kebingungan melihatku dengan mudah menemuinya. Aku pastikan padanya, bahwa ini aman.  Aku berpura-pura menjadi salah satu Client yang sedang ingin menemuinya.

Aku membawanya pergi makan siang ke tempat yang cukup jauh. Akhirnya aku bisa berduaan dengannya. Hari itu aku begitu bahagia, dan sekaligus aku begitu hancur.Di hari itu aku baru tahu bahwa dia ternyata lelaki setia. Dia begitu mencintai istrinya.

Namun, cintaku yang terlanjur menggebu tak patah arang. Kesetiaanya adalah sebuah tantangan bagiku. Aku akan terus berusaha untuk mendapatkannya. Bagaimnapun caranya.

“Hei … ngelamun terus! Kita sedang dikejar dealine nih!” Suara Nadia mengagetkannku, lamunanku buyar seketika.

“Akhir-akhir ini kamu sering ngelamun. Kalau atasan tahu kamu bisa dipecat lho …,” lanjut Nadia menakut-nakutiku.

Kali ini mataku terbelalak. Benar juga ucapan Nadia, duh aku harus bisa kontrentasi bekerja. Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku.

“Cri … memikirkan suami orang, itu tidak ada gunanya," ujar Nadia.

“kamu tidak paham Nad,” sanggahku.

“Aku paham Cri, kamu sedang kasmaran. Aku sarankan, akhiri segera. Atau kamu akan hancur nantinya.” Nadia menatapku tajam.

“Apa yang mau diakhiri, diantara kami bahkan belum ada yang dimulai. Kami tidak punya hubungan apa-apa.” Aku sedikit terpancing emosi.

“Oh ya?” Nadia mengangkat kedua bahunya.

“Come on Nadia. Beleave me!” Aku berusaha meyakinkannya.

Nadia menggeleng-gelengkan kepalanya ambil mensedekapkan tangannya di  dada. Sedang aku duduk dengan tertunduk.

“Aku saja yang tak bisa berhenti memikirkannya. Dia baik banget Nad, tampan, mapan pula," ungkapku.

“Kalau dia tampan, kalau dia mapan itu sih rezki istrinya Cri ….” Nadia menyentilku.

“Dan aku harap itu akan menjadi rezkiku di suatu hari nanti Nad.” Aku menengadahkan wajah.

“Gila kamu Cri ….” Nadia meninggalkannku dengan wajah kesal.

Nadia tidak pernah bosan menasehatiku, aku saja yang bebal. Aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri untuk tidak memikirkan tentang mas Faisal.

***

Seharian bekerja di depan laptop membuat mataku lelah. Aku melirik jam yang berada tepat di hadapanku, jam pulang kantor ternyata masih kurang 30 menit lagi. Aku menarik nafas panjang, kemudian melakukan straching ringan dengan menarik kedua tangan ke atas.

Aku mulai mematikan laptop dan mengemasi barang-barangku. Aku lihat Nadia juga melakukan hal yang sama denganku. Aku berjalan menghampirinya.

“Kita pulang bareng yuk,” pintaku.

“Maaf Cri, aku harus jemput mama,” jawabnya.

“Oh it’s ok,” ucapku sambil mengangkat kedua tangan.

Nadia meraih tasnya, lalu memelukku, “aku duluan ya,” ucapnya.

Nadia izin pulang lebih awal karena mau menjemput mamanya yang baru pulang dar luar kota. Kami memang sering bersi tegang, namun setelah lima menit kemudian semuanya selesai, dan hubungan kami kembali membaik.

Setelah jam pulang kantor tiba, aku segera bergegas untuk pulang. Aku lelah sekali, aku ingin segera sampai di rumah dan istirahat.

Di lift, tanpa kuduga aku bertemu dengan sosok yang sama sekali tidak asing bagiku. Randi, dia sahabat kecilku. Dari kecil kami tinggal dalam satu panti asuhan yang sama.

“Cri . . .,” sapanya sambil tertegun melihatku yang tiba-tiba berada di sampingnya.

“Randi …,” ujarku pura-pura antusias.

Sebenarnya aku sangat malas bertemu dengannya. Aku keluar dari panti gara-gara Ibu panti yang ingin sekali menjodohkan kami.

“Kamu kerja di sini?” tanyanya.

“Iya, baru sekitar dua bulan. Kamu sendiri kenapa ada di sini?” jawabku sambil menanyakan kepentingannya berada di kantor ini.

“Aku melamar kerja di sini, doakan ya semoga diterima. Jadi kita bisa barengan lagi nanti,” ucapnya sambil tersenyum.

“Amin,” responku  dengan penuh kepura-puraan.

Duh, jujur aku tidak suka jika harus bekerja satu kantor dengannya. Kami dibesarkan di panti asuhan yang sama. Sejak Tk, SD hingga kuliah kita selalu di tempat yang sama. Dan sekarang harus bekerja di kantor yang sama pula. Aku sudah sangat bosan selalu satu tempat dengannya. Aku harap dia tidak diterima bekerja disini.

Setelah sampai di lantai satu, aku keluar dari lift lebih dulu, “Cri, tunggu …,” ujarnya sambil mengejar langkahku.

Aku terpaksa menghentikan langkah, “Ran aku buru-buru nih,” kilahku.

“Cri … Bu Fatimah selalu mengkhawatirkanmu lho. Datanglah kepanti sesekali, jenguk beliau," pintanya.

Mendengar nama Bu Fatimah, tidak terasa air mataku menetes. Kerinduanku padanya tiba-tiba menyeruak. Aku teringat jasa-jasanya, aku teringat kasih sayangnya yang tumpah ruah terhadapku. Setelah orang tuaku meninggal, hanya dia yang aku punya di kota ini. Tidak terasa sudah dua bulan aku tidak mengunjunginya.

“Iya Ran, mungkin weekend ini aku akan ke Panti,” ucapku sambil menyeka air mata.

“Baguslah, Bu Fatimah pasti akan senang dengan kedatanganmu nanti,”ungkap Randi sambil tersenyum, aku pun tersenyum.

Randi sangat berbeda denganku, dia begitu berbakti kepada Bu Fatimah. Sampai saat ini dia masih tinggal di Panti, membantu Bu Fatimah mengajar dan mengurus anak-anak.

Sedang diriku, terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Aku sibuk mengejar mimpi.

Sejak lulus kuliah aku sudah pamit untuk keluar dari panti. Namun Bu Fatimah mencegahku, Beliau ingin aku tetap tinggal disana agar bisa membantunya.

Hingga masalah yang tak pernah kuduga datang. Bu Fatimah menjodohkanku dengan Randi, namun kutolak mentah-mentah. Kami sempat bersitegang, dan akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari panti tanpa meminta izin pada beliau terlebih dulu.

Aku tahu aku salah, aku telah membuat Bu Fatimah murka. Mungkin niat beliau menjodohkanku dengan Randi itu baik. Namun aku tidak punya rasa sedikit pun pada Randi.

“Ran, taxiku sudah datang. Aku duluan ya,” pamitku.

“Iya, silahkan,” responnya.

“Salam untuk Ibu Fatimah ya,” ucapku sambil tersenyum. Dia hanya meresponku dengan sebuah anggukan kecil.

Aku memilih naik taxi kali ini. Aku ingin segera menghindar dari Randi. Di dalam taxi kupejamkan mata, aku ingin terlelap sesaat untuk menghilangkan penat.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Criana   Bimbang

    “Aku ingin hidup bebas Cri, sama seperti orang kebanyakan.” Mas Faisal masih saja bicara dengan emosi yang meletup. Aku pun tetap terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya itu.Kali ini dia terdiam, wajahnya tertunduk. Aku menatapnya tanpa dia tahu. Ada rasa iba yang tiba-tiba saja menyeruak di dadaku.“Mas, mas tahu? Di luar sana banyak orang yang ingin menempati posisi Mas.” Aku memberanikan diri untuk angkat bicara, aku harus menghiburnya.“Mas itu sangat sempurna, semua apa yang orang impikan ada pada diri mas,” tambahku.“Haha … haha!” Dia terbahak, namun tampak jelas dia sangat depresi.“Mereka tidak tahu bebanku, mereka hanya tahu aku dari luar Cri,” ucapnya lirih, mendengarnya hatiku seakan teriris.Ternyata selama ini aku juga hanya mengenalnya dari lua

  • Criana   Sebuah Pengakuan

    “Kamu kenapa sih?” Mas Faisal terheran-heran dengan sikapku.“Ah tidak apa-apa mas, aku tadi satu lift dengan Rayvan. Dia mengajakku pulang ke Jakarta bersama, aku menolak. Setelah keluar dari lift, aku mendahului langkahnya. Aku takut dia mengutitku, dan mengetahui jika kita jalan bersama,” ungkapku dengan nafas yang masih terengah-engah seperti diburu hantu.Mas Faisal hanya tersenyum mendengar penjelasanku. Dia terlihat santai sekali, aku malah yang over panik. Aku takut Rayvan akan melihat kami, lalu mengadukan hal ini kepada istri mas Faisal.“Mask kok santai banget sih?” gerutuku.“Terus aku harus panik juga kayak kamu?” Dia tersenyum manis, manis sekali.Aku menghela nafas panjang, “ya bukan begitu maksudku. Memangnya mas tidak khawatir kalau Rayvan memergoki kita, lalu mengadukannya ke istri mas?” Aku menat

  • Criana   Hari Terakhir

    Hari ini adalah hari terakhir tugas dinasku di kota Malang. Tiga hari, aku rasa sangat kurang. Aku ingin berlama-lama disini bersama mas Faisal.Kebersamaan kami di kota ini memang tidaklah intens, dan bahkan sangat jauh dari kata intim. Namun bagiku bisa bersama dengannya dalam satu tempat, itu saja sudah cukup.Pagi ini dia kembali menjadi pembicara. Dan aku hanya bisa mengagumi sosoknya dari kejauhan, dari sudut ruangan yang penuh sesak dengan ratusan manusia lain. Suaranya menggema, intonsi suaranya lantang memikat. Semua hadirin diam membisu serasa terhipnotis dengan apa yang ia sampaikan.Aku seperti para peserta yang lain, begitu khidmat mengikuti serangkaian acara di hari terakhir ini. Acara yang begitu melelahkan dan menguras banyak pikiran. Hingga waktu makan siang tiba, dan masing-masing dari kami segera menyerbu ruangan sebelah yang memang dikhusus

  • Criana   Masa Lalu yang Terkuak

    Sesampainya di taman, aku celingukan mencari keberadaan Rayvan. Hingga dia berkode dengan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai di sebuah pojok. Dia terlihat menikmati sekaleng soft drink.“Aku pikir kamu tidak akan datang,” ucap Rayvan dengan nada mengejek.“Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk turun,” jawabku sambil memeluk tubuhku sendiri dengan kedua lengan. Ternyata udara malam di kota ini begitu ekstrim, aku lupa tidak mengenakan sweater.Aku langsung duduk di hadapannya. Benar yang dia katakan, malam ini bulan purnama bulat sempurna, temaramnya begitu syahdu. Andai malam seindah ini bisa aku habiskan dengn seseorang yang aku cinta.“Ray, ini sudah malam. So, to the point saja apa maksud kamu sangat protektif terhadap mas Faisal?” ungkapku.“Haha … haha ….” Dia mal

  • Criana   Tentang Masa Lalunya

    “Hai … aku Rayvan,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiriku di sela-sela coffe break. Dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.“Criana …,” responku dengan menyambut uluran tangannya.“Boleh aku duduk?” tanya Rayvan.“Silahkan,” jawabku sambil menggeser tubuhku. Tanpa canggung dia langsung mengambil tempat tepat di sebelahku. Kini kami duduk bersebelahan. Aku yang merasa kurang nyaman, menggeser kembali tubuhku sedikit lagi.“Aku lihat kamu dekat sekali dengan Faisal?” ucap Rayvan dengan menatapku. Mendengarnya aku langsung mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa, dia orang baru tetapi sudah berani-beraninya mengulik kehidupan pribadiku.“Iya, kami memang dekat. Kami partner kerja,” ucapku mantap dengan menatapnya balik.“Faisal adalah sahabat karibku waktu kuliah dulu. Bahkan istri dia itu mantan ke

  • Criana   Perjalanan Dinas

    Bandara Soekarno HattaRiuh lalu-lalang para penumpang cukup memadati ruang tunggu. Aku merasa gerah dan bosan, karena tak ada satu pun orang yang bisa aku ajak untuk ngobrol. Aku pun memilih untuk memainkan game kesukaanku di ponsel.Beberapa menit kemudia aku merasa ada bunyi langkah sepatu menghampiriku. Semakin dekat, dan dekat. Aku menoleh, aku lihat orang itu dari bawah, dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Dia mengenakan sepatu cat, celana jeans dan jaket kulit berwarna cokelat tua. Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tidak bisa menebak persisnya dia siapa. Hingga dia membuka kaca mata hitamnya, dan aku pun terngaga.“Mas Faisal …,” ucapku sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan, saking terkejutnya. Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Kini kami duduk berdampingan. Aroma parfume k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status