Share

Awal Pertemuan

Hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan bagiku. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari pertama aku mulai bekerja di sebuah Perusahaan terbesar di kota ini. Perusahaan yang sudah dari dulu aku incar. Menjadi Karyawan disana adalah suatu kebanggaan tersendiri bagiku.

Saking semangatnya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah Sholat subuh aku langsung sarapan dengan menu seadanya. Lalu aku langsung berangkat menuju halte Bus.

Udara masih begitu dingin, matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Aku berdiri di tepi jalan raya untuk menunggu Bus.

“Awas!” Tiba-tiba orang-orang berteriak histeris, aku menoleh sesaat karena kaget Lalu, ‘brug ….’ Tubuhku tersungkur, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrakku.

Mataku berkunang-kunang, tubuhku bersimbah darah. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah kamar rumah sakit.

“Kamu sudah sadar?”tanya seseorang padaku.

Seorang laki-laki duduk di tepi ranjangku. Dia begitu tampan, matanya yang tajam begitu memikat. Apakah dia seorang dokter?

“Anda dokter?” tanyaku.

Aku berusaha untuk duduk, namun tidak bisa. Tubuhku terasa sakit semua dan kepalaku pusing.

“Bukan, aku bukan dokter. Jangan banyak bergerak dulu.” Dia membantu membetulkan posisi bantalku.

“Kalau bukan dokter, lalu anda siapa? Oh atau jangan-jangan anda yang menabrak saya tadi.” Aku mulai mencurigainya.

“Bukan, aku juga tidak tahu siapa yang menabrakmu. Tadi orang-orang menghentikan mobilku. Mereka memintaku untuk membawamu ke rumah sakit," ungkap lelaki itu.

Mendengar jawabannya aku menunduk. Aku malu sudah menuduhnya sembarangan.

“Terimakasih ya, sudah mau menolongku,” ucapku.

“Sama-sama,” jawabnya. Dia tersenyum kepadaku, aku pun membalas senyumya.

“Oia, ada keluarga yang bisa aku hubungi?” tanyanya.

“Aku tidak punya siapa-siapa di sini. Orang tuaku sudah lama meninggal. Karib kerabatku tinggal di Kalimantan, dan mereka tidak perduli padaku.” Tanpa terasa air mataku meleleh, mengingat kesendirianku di kota besar ini.

“Maafkan aku,” ucapnya penuh penyesalan.

“Tidak apa-apa,” jawabku  sambil menyeka air mata.

“Oia, aku Faisal Pranata. Panggil saja aku Fai. Nama kamu siapa?”

“Namaku Criana,” jawabku.

“Nama yang unique,” puji lelaki yang ternyata bernama Faisal itu.

Aku tersenyum simpul mendengar pujiannya. Sekilas, aku perhatikan wajahnya. Dia sepertinya sangat cocok menjadi seorang Model atau  bahkan seorang aktor. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya putih bersih. Hidung mancungnya berpadu serasi dengan bibirnya yang merah.

“Aku mau keluar sebentar, mau mengurus administrasi. Kamu mau makan apa? Nanti aku bawakan,” ucap Faisal begitu manis.

“Tidak usah mas, Aku makan ransuman saja nanti,” jawabku.

Aku memilih menyebutnya dengan sapaan Mas. Dia pastinya lebih tua beberapa tahun dariku, dan lagi pula aku ingin menghormatinya.

“Baiklah kalau begitu, aku keluar dulu,” pamit mas Faisal sekali lagi. Setelah itu dia keluar meninggalkanku sendiri.

Entah apa yang menjalari hatiku. Perasaanku berbunga-bunga. Ah apakah aku menyukainya? Apa ini tidak terlalu cepat?

Dia begitu tampan, sikapnya manis. Aku yakin wanita manapun pasti sangat mudah jatuh cinta kepadanya, tidak terkecuali diriku sendiri.

Aku tersenyum-senyum sendiri. Membayangkan setelah ini kami berpacaran, lalu menikah, punya anak dan bahagia selamanya. Ah khayalanku terlalu jauh. Aku tidak tahu dia menyukaiku juga atau tidak. Tetapi dari sikap manisnya tadi, seprtinya dia juga menyukaiku.

Sesaat kemudian, dia datang dengan membawa sebuah keresek. Dia tersenyum dan mengeluarkan dua bungkus nasi dari kresek itu.

“Aku membelikanmu nasi rames, dari tadi pagi kamu belum makan.” Dia menyerahkan satu bungkus nasi kepadaku. Aku terpana, kami baru bertemu tetapi perhatiannya sudah sangat luar biasa.

Kami makan bersama, aku meliriknya. Dia makan sangat lahap, seperti sedang kelaparan saja.

“Cri … setelah ini aku mau ke kantor. Maaf aku tidak bisa menemanimu. Kalau butuh apa-apa hubungi aku. Nomer Wa-ku sudah aku simpan di Ponselmu tadi. Maaf aku lancang membuka Ponselmu, aku bingung tadi. Jadi aku mencari kontak keluargamu yang bisa aku hubungi, tapi tidak aku temukan," jelas mas Faisal padaku.

“Terimakasih Mas,” ucapku lirih.

Dia mendekat membetulkan selimutku. Lalu berkata, “Dokter bilang kamu baru boleh pulang besok lusa. Luka di kepalamu masih butuh perawatan. Semua administrasi sudah aku bereskan.”

Dia datang seperti malaikat. Aku terharu dengan kebaikannya. Andai dia menjadi jodohku kelak, pasti aku akan sangat bahagia.

“Aku pamit dulu ya.” Dia menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku tertegun,  mataku fokus pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Apakah dia sudah beristri?

Aku seolah terbang  terlalu tinggi lalu  jatuh terhempas, sakit sekali rasanya. Oh Tuhan, seketika harapanku tentangnya hancur. Aku menerima jabatan tangannya dengan gemetar. Aku ucapkan terimakasih sekali lagi, dia membalasnya dengan senyuman manis.

Setelah dia pergi aku mengutuk diriku sendiri. Bodohnya aku, kenapa aku tidak memperhatikan cincin itu dari tadi. Dia sudah beristri, aku tidak punya harapan lagi.

***

Sepulang dari rumah sakit, aku masih menjalani recovery  di rumah. Aku belum bisa masuk kerja. Aku sudah menghubungi pihak kantor prihal kecelakaan yang menimpaku ini. Mereka memberiku cuti selama satu minggu.

Faisal Pranata, kini lelaki itu selalu membayangi hari-hariku. Aku ingin sekali menghubunginya, sekedar menanyakan kabar. Akan tetapi aku takut chatku diketahui oleh istrinya. Jadi yang bisa aku lakukan hanya melihat foto profilenya, mengecek dia sedang online atau tidak.  Aku juga sering mengintip status Wa-nya. Itu semua sudah cukup bagiku untuk mengobati rasa rindu.

Hingga di suatu sore, dia yamg menghubungiku lebih dulu lewat chat Wa. Hatiku begitu berbunga-bunga. Aku tidak perduli lagi dia suami orang atau bukan.

‘Sore Cri, bagaimna kabarnya? Sudah pulang dari rumah sakit kan? Maaf ya aku tidak bisa jenguk lagi, aku sibuk banget ini.’ tulis mas Faisal.

Aku membacanya sambil tersenyum-senyum sendiri. Aku mengetik jawaban untuknya, namun aku hapus. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Setiap kali jawaban aku tulis, aku selalu menghapusnya lagi. hingga dia mengirimku sebuah Chat lagi.

‘Kenapa tidak dibalas?’ Mas Faisal mengirimku sebuah chat lagi.

Duh hatiku berdebar, dia sedang menunggu jawaban dariku. Tentunya dia tahu aku sedang onlien dan sudah membaca chatnya. Aku pun memutuskan untuk membalas chatnya dengan kalimat yang sederhana.

'Aku baik mas. Aku sudah pulang dari rumah sakit dari dua hari yang lalu,' jawabku.

Dia sedang mengetik balasan lagi, hatiku berdebar.

‘Syukurlah kalau begitu, lain kali lebih hati-hati ya,' tulisnya lagi.

‘Iya mas, terimakasih,' balasku.

Aku menyertakan emoticon ucapan terimakasih. Aku  menunggu jawaban darinya, aku pikir dia akan membalas lagi. Aku pikir chat kami akan panjang, nyatanya aku salah. Setelah aku menunggu lama balasan darinya, ternyata dia sudah offline.

Aku terlalu berharap banyak. Aku lupa diri, dia suami orang dan aku tidak pantas memimpikannya. Namun jiwaku meronta, ketulusan serta sikap manisnya kemaren telah menyihirku. Senyum dan tatapan tajamnya memabukkanku. Juju aku mencintainya, sejak kala itu. Dan aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.

Mungkin ini adalah sebuah dosa, tetapi aku tidak mampu menghindar. Dia seperti candu, dan aku mabuk kepayang karenanya.

***

  

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ladyfii
semangat terus, Kak pakai pov. 1 yah ... keren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status