Keheningan mulai menyelimuti semua orang—rekan bisnis, yang diundang Rivo. Maklum, baru saja mendengar yang sebenarnya terjadi pada Rafan. Nyatanya hampir tidak tertolong, tetapi keberuntungan kembali didapatkannya. Berhasil, terbangun dan seperti biasa lagi. Suasana kembali cair, saat Azdi kembali berbicara sesuatu.
"Aku tidak menyangka anak sulungmu yang menolong putriku." Azdi masih tidak percaya, di satu sisi lega karena Asya selamat dari kejadian malam itu.
Rivo mengangguk, kemudian berdeham sejenak. "Sebenarnya, aku juga tidak percaya dengan anak sulungku. Ternyata, keluar diam-diam. Padahal baru saja pulih.”
Lambat laun, helaan napas pasrah pun terdengar, Rivo heran dengan Rafan—baru pulih dan selesai menjalani terapi. Mendadak pusing, pastinya Rafan akan semakin berkeliaran lagi. Apa lagi, bila sudah pulih benar. Pasti semakin sulit untuk diam!
"Anakmu liar jadi wajar, baru saja pulih sudah mulai berkeliaran lagi," celetuk Raskal
Rafan terus melangkah lambat, melewati setiap koridor sekolah. Raut wajahnya mendadak masam, benar-benar dilanda badmood. Pertama, efek dari orang yang menguntitnya—tidak lain Aksa. Yang kedua, terusik karena ditatap oleh saudara si penguntit tadi—tidak lain adalah Asya.Sampai di kelas, Rafan terdiam sejenak di ambang pintu. Alasannya? Bertemu dengan si penguntit tadi—Aksa. Teringat, kalau dirinya satu kelas. Jadi, akan bertemu terus! Lain halnya dengan Aksa, kembali melirik datar Rafan. Mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas.Hah, menyebalkan sekali!Rafan duduk diam, lambat laun menelungkupkan kepalanya di atas meja. Berharap sekolah cepat usai, tetapi hanya bisa pasrah. Sembari menunggu bel pelajaran terakhir berbunyi. Lagi-lagi ketenangannya terusik. Pasalnya, Aksa sejak tadi masih belum berhenti menatap ke arahnya.Mau apa sih?Rafan kesal, tetapi malas meladeni Aksa. Sempat terbesit ide,
Rafan dengan sorot mata malas tetapi terkesan dingin, melirik perempuan yang pernah ditolongnya pada kejadian malam itu. Sedangkan perempuan tidak lain Asya, masih sibuk dengan novelnya. Sepertinya, memang tidak sadar kalau ada Rafan di sebelahnya.Rafan kembali terpejam, membiarkan Asya duduk di sebelahnya. Lagi pula dia tidak mengusikku.Kembali ke prinsip yang Rafan tanam pada dirinya sendiri, hanya menyerang bila diusik saja. Sedangkan perempuan di sebelahnya—Asya, memang tidak menyadari keberadaannya.Rafan terpejam, tetapi pikirannya terus berjalan. Tepatnya, kembali menerka sesuatu hal—tidak lain pembicaraan bersama polisi tadi.****Di kediaman Azkara, Refan terlihat duduk di teras rumah bersama Vio yang asik bersandar di punggungnya. Bahkan, fokus memainkan game online meski ada Refan. Namun, sesekali melirik dan heran karena yang diliriknya terus cemberut.
Kediaman Alexander seperti biasa ramai, Rivo seringkali mengadakan rapat kecil ataupun besar di rumahnya, dan sekarang sedang istirahat sejenak sesekali berbincang sesuatu. Namun, terusik kala jengkel melihat anak bungsunya sedari tadi duduk terdiam di sebelahnya."Kenapa?" tanya Rivo.Refan menoleh sebentar, kemudian diam lagi. "Nggak!" Sepertinya sedang badmood.Rivo menghela napas pasrah, melihat tingkah Refan membuatnya teringat kalau anak sulungnya kabur lagi. "Nanti juga pulang.""Nanti kapan? Kabur dari tengah malam hingga siang belum balik juga!" desis Refan.Rivo membenarkan ucapan anak bungsunya, tetapi memilih mengabaikan Refan yang terus saja menggerutu kesal di sebelahnya. Lagi pula, agak bimbang ingin memberi saran apa. Pada akhirnya, anak sulungnya tidak diketahui akan pulang kapan."Siapa yang kabur?" celetuk Azdi, mendadak penasaran."Biasa anak sulungku," balas Rivo."Hm, gitu."Refan semakin d
Asya mendadak kikuk, lambat laun paham kalau kemunculannya ini amat mengganggu. Sebenarnya tidak berniat menemui Rafan, tetapi karena rasa penasaran. Membuatnya, terpaksa mengganggu ketenangan Rafan.Kini tengah berusaha bersikap biasa, kala tanpa sengaja melakukan kontak mata langsung dengan manik hitam legam yang terus menyorot amat datar. Bahkan, mulai terkesan dingin sekali. Nyatanya, Rafan benar-benar terusik!Tanpa pikir panjang, langsung duduk di sebelah Rafan. Memberi senyuman lebar sebentar, mengira bisa mencairkan suasana yang mendadak jadi tegang—seolah mau dirinya yang akan diinterogasi. Padahal sebaliknya!"Boleh?" tanya Asya lagi.Rafan masih enggan menjawab. "Tentangku?" Pada akhirnya, menjawab dan mencoba tenang lagi. Meski, terganggu dengan Asya."Eh-h iya, tidak apa-apa ‘kan?" Asya sengaja mengulang pertanyaannya lagi."Apa?" Rafan melirik malas Asya."Kau selalu dibilang liar ‘kan?""Terus?"
Refan kini dilanda jengkel. Satu karena Rafan belum datang. Dua, sedang malas berbincang dengan siapa pun—alias—badmood. Benar saja, kakinya mulai bergerak menjauh dari mereka berdua. Memutuskan mengitari gedung, selagi menunggu si kakak yang sama sekali belum menampakkan wujudnya!"Kakak mana sih! Katanya menyusul!" gerutu Refan.Mendadak langkah kakinya terhenti, menoleh cepat ke belakang dan sekitarnya. Jujur, di sepanjang pekarangan ataupun lorong perusahaan yang dilintasinya. Seakan banyak sekali pasang mata yang menatap intens ke arahnya, hanya saja tidak menemukan siapa pun di sana."Siapa sih?"Refan berdecak kesal, kembali melangkahkan kakinya untuk mengitari perusahaan lagi. Meskipun, mencoba mengabaikan siapa mereka? Kenapa terus mengamatinya dari jauh? Bahkan, selalu bersembunyi cepat kala menyadari dirinya akan menoleh!Meresahkan!Benar saja, rasa takut dan kepanikan mulai melandanya. Sudah mencoba
Setelah meninggalkan area perusahaan, kini terlihat berada di tikungan curam sebuah jalan raya besar. Duduk sejenak, pada pembatas jalan. Manik hitamnya menyorot hampa, dan wajahnya pun agak tertunduk.Sesekali matanya bergulir ke arah satu tangannya, yang sedikit berlumur darah. Kemudian kembali ke objek fokus utamanya, yaitu jurang curam dan dalam yang berada tepat di bawahnya.Di satu sisi sadar, beberapa polisi menguntit untuk mencari tahu apa yang akan dilakukannya saat ini. Mungkin saja, beberapa dari mereka yang pastinya berpecah menjadi dua kelompok sudah lebih dulu berada di dalam hutan? Seakan tidak ingin ada yang terlewat dari pengawasan mereka terhadapnya?Rafan enggan mempedulikan, terbukti langsung beranjak dan melompat. Benar saja, polisi yang sedari mengawasi. Langsung memberitahu, rekannya yang nyatanya sudah ada di dalam hutan.****Sementara itu, polisi mulai mengamankan jasad anak buah Alano yang menjadi korban
Lima tahun yang lalu ...Keluarga Givano adalah nama sebelum berganti identitas menjadi Adriano. Givano, keluarga sederhana tetapi berteman baik dengan empat pemilik perusahaan besar. Azian mencetuskan sebuah ide untuk mendirikan secara bersama oleh empat sahabat karibnya. Yaitu Leo, Zavin, Arlan, dan Alano. Berhasil didirikan dengan nama Five Corp.Kini Azian sedang berkumpul dengan keluarganya di rumah, yang tidak terlalu besar ataupun kecil. Namun, sangat nyaman bagi mereka."Five Corp, mulai berkembang kah?" tanya Alinda.Azian terdiam sejenak. "Ya, perlahan berkembang." Kemudian menatap kedua anaknya yang sedang battle game online. Yaitu, Alisya dan Alex. Saat itu masih berusia 11 tahun."Kau curang!" Alisya sambil menatap kesal Alex, yang masih santai bermain game online."Kakak saja, tidak berpengalaman bermainnya!" ledek Alex semakin asik melanjutkan game onli
Di halte, terlihat sepasang suami istri, sedang menunggu bus. Tidak lama bus datang, mereka langsung masuk untuk pergi ke tempat tujuannya. Yakni, rumah sakit besar. Terbukti, mereka turun di halte yang berdekatan dengan rumah sakit, dan berjalan cepat menuju ruangan tempat kedua anak mereka dirawat.Terlihat dokter baru saja selesai memeriksa. "Kebetulan saya ingin mengatakan kondisi anak anda.""Bagaimana?""Luka ditubuhnya memang sudah pulih, hanya saja mental anak anda masih agak tertekan.""Tapi sudah diperbolehkan pulang?""Ya, kedua anak anda sudah diperbolehkan pulang." Dokter pergi, untuk memeriksa pasien lain.Mereka langsung masuk ke kamar inap kedua anak mereka, terlihat kedua anak mereka duduk terdiam di masing-masing brankar."Bagaimana? Sudah baik?" tanya sang ibu—Arina.Kedua anak mereka awalnya terdiam, perlahan mendekat dan memeluk erat orang tuanya. Azdi senang anaknya sudah pulih, tetapi tetap sedih ka