Pagi di kota besar selalu sibuk. Suara kendaraan, klakson, dan langkah kaki penduduk kota terdengar bersahut - sahutan, tetapi di dalam kamar yang cukup luas itu, Daffa duduk di depan laptopnya dengan mata menatap layar yang dipenuhi angka, grafik, dan artikel teknologi. Matanya berbinar, tangan kanan sesekali menekan tombol mouse, sementara tangan kiri menulis catatan di buku sketsanya yang penuh coretan dan diagram abstrak.
“Bitcoin naik lagi tiga persen,” gumam Daffa pelan sambil mengerutkan kening. Ia menelan ludah, merasa jantungnya sedikit berdetak lebih cepat. Dunia ini terasa begitu luas, kompleks, dan… penuh misteri. Bagaimana mungkin sesuatu yang tak bisa disentuh secara fisik hanya angka di layar bisa memiliki nilai sebesar ini? Daffa memutar kursi, menatap jendela kamar. Di luar, matahari pagi menyinari gedung pencakar langit yang berjejer rapi, lalu lintas kota yang padat, dan pedagang yang mulai menata dagangan mereka. Semua orang bergerak, sibuk, tetapi Daffa merasa berada di dunianya sendiri. Dunia yang tersembunyi di balik layar laptop, dunia yang hanya bisa ia jelajahi melalui internet. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari bawah. Ibunya membuka pintu kamar dengan senyum lembut. “Daffa, sarapan sudah siap. Jangan lupa sekolah,” kata ibu sambil menaruh nampan berisi roti bakar, telur, dan jus jeruk di meja samping tempat tidurnya. Daffa tersenyum, sedikit tersipu. “Iya, Bu. Aku sebentar lagi turun.” Ia menutup laptop perlahan, hati - hati agar tidak meninggalkan tab artikel teknologi yang masih terbuka. Di meja makan, suasana hangat. Ayahnya sedang membaca koran sambil menyeruput kopi, sesekali mengangkat alis melihat grafik ekonomi yang terpampang di halaman bisnis. “Daffa, tadi malam kamu lagi main laptop sampai jam berapa?” tanya ayah, nada suaranya bercampur penasaran dan sedikit kekhawatiran. “Cuma baca berita teknologi, Pak. Aku sedang belajar tentang cryptocurrency,” jawab Daffa cepat, mencoba terdengar tenang. Ayah mengerutkan kening. “Crypto? Itu bukan hal main - main. Bisa cepat untung, tapi juga bisa bikin rugi. Hati - hati.” Daffa mengangguk, menelan sarapan dengan cepat. Di balik kepatuhannya, ada rasa ingin tahu yang semakin membara. Ia ingin memahami dunia ini lebih jauh, ingin tahu bagaimana angka - angka digital itu bisa mengubah hidup seseorang. Setelah sarapan, Daffa bersiap ke sekolah. Tasnya penuh dengan buku pelajaran, laptop, dan catatan - catatan teknologi. Saat menuruni tangga, ia menyapa tetangga yang sedang keluar rumah. Di jalan menuju halte bus, ia menyapa teman - teman sebaya, beberapa dari mereka mengoceh tentang nilai ulangan terakhir, sementara Daffa hanya setengah mendengarkan, pikirannya masih terpaku pada artikel yang dibacanya pagi tadi. Di sekolah, Daffa bertemu dengan guru favoritnya, Pak Hendra, guru matematika yang selalu menantang murid-muridnya untuk berpikir kritis. “Daffa, bagaimana kemarin tugas analisis data yang kuberikan?” tanya Pak Hendra sambil menatapnya dari balik kaca mata. “Sudah saya selesaikan, Pak. Aku juga mencoba mengaplikasikan sedikit konsep statistik ke data pasar crypto yang aku baca,” jawab Daffa dengan semangat. Pak Hendra tersenyum, puas. “Bagus, Daffa. Jangan berhenti mengeksplorasi. Dunia luar sana luas, tapi dengan pengetahuan, kamu bisa menguasainya.” Saat jam sekolah berlalu, Daffa menemukan dirinya sering melamun, membayangkan grafik harga cryptocurrency, mining, blockchain, dan segala hal misterius yang belum ia pahami. Ia merasa dunia digital ini seperti hutan lebat yang penuh rahasia, dan ia adalah penjelajah muda yang siap menelusurinya. Saat bel pulang berbunyi, Daffa berjalan pulang sambil membuka laptopnya, membaca artikel lain tentang Bitcoin dan blockchain. Ia menelan ludah, tersenyum sendiri. “Kalau aku bisa mengerti ini, mungkin aku bisa membuat sesuatu yang besar. Sesuatu yang orang lain tidak pernah bayangkan,” pikirnya. Di kamarnya kembali, Daffa menulis daftar pertanyaan: Apa itu blockchain? Bagaimana transaksi crypto terjadi? Bisakah aku mencobanya sendiri? Setiap pertanyaan menambah semangatnya. Dunia digital tidak lagi terasa jauh. Ia ingin masuk, menyelami, dan memahami setiap rahasia yang tersimpan di dalamnya. Bagian pertama ini berakhir dengan Daffa menatap layar laptopnya, mata berbinar, jari siap menekan tombol untuk memulai petualangan barunya. Di sinilah awal dari perjalanan seorang remaja yang akan menemukan dunia mata uang digital, tantangan, dan pelajaran hidup yang tak ternilai. Setelah pulang dari sekolah, Daffa tiba di rumah dengan langkah yang sedikit terburu - buru. Matahari sore menyinari halaman rumah, menimbulkan bayangan panjang dari pepohonan yang rindang. Suasana rumah terasa hangat: suara televisi dari ruang keluarga bercampur dengan aroma masakan yang sedang dimasak ibu. “Daffa, kamu pulang lebih cepat hari ini?” tanya ibu sambil meletakkan panci berisi sayur di atas meja. “Ya, Bu. Aku ingin cepat sampai supaya bisa membaca beberapa artikel tentang blockchain,” jawab Daffa sambil meletakkan tasnya di sudut kamar. Ia menyadari ekspresi sedikit khawatir di wajah ibunya. Ibu tersenyum lembut. “Kamu tahu, Bu, dunia digital itu menarik, tapi juga banyak risiko. Jangan sampai terjebak hal - hal yang belum kamu pahami,” kata Daffa sambil menatap mata ibunya. Ia ingin membuat ibu tenang, tapi juga merasa semangatnya untuk belajar semakin membara. Di ruang tamu, ayahnya duduk dengan tablet di tangan, memeriksa berita ekonomi terbaru. Sesekali ia mengerutkan alis, menandakan ada hal yang membuatnya cemas. “Daffa, crypto itu bukan mainan, kamu tahu. Banyak orang kehilangan uang karena tergiur cepat kaya. Aku tidak ingin kamu ikut - ikutan,” suara ayah terdengar tegas tapi penuh kekhawatiran. Daffa mengangguk pelan. “Aku tahu, Pak. Aku hanya ingin memahami dulu, Pak. Bukan untuk cepat kaya, tapi untuk belajar.” Ayah menatapnya lama, kemudian mengangguk pelan. “Baiklah, tapi ingat, pengetahuan tanpa kontrol bisa berbahaya. Belajarlah dengan sabar.” Percakapan itu membuat Daffa tersenyum dalam hati. Ia merasa dihargai, meski orang tuanya belum sepenuhnya memahami dunia yang tengah ia jelajahi. Ia menyadari, untuk membuktikan kemampuannya, ia harus belajar keras, disiplin, dan bijak. Sore itu, Daffa duduk di meja makan sambil menulis catatan. Setiap pertanyaan yang muncul di kepalanya ia tuliskan. Apa itu blockchain? Bagaimana transaksi digital bekerja? Apa risiko yang harus diantisipasi? Ia menyadari bahwa belajar tentang dunia digital bukan sekadar membaca artikel, tetapi juga memahami logika, keamanan, dan etika di baliknya. Setelah makan malam, kakaknya, Raka, masuk ke ruang tamu sambil menenteng ponsel. “Daffa, kamu masih asik sama crypto ya? Aku cuma lihat grafik harga saja sudah pusing,” katanya sambil tertawa. Daffa tersenyum, “Bukan cuma grafik, Kak. Aku ingin tahu cara kerjanya, bagaimana orang bisa transaksi aman tanpa bank, dan bagaimana teknologi ini bisa digunakan untuk edukasi.” Raka mengangguk, sedikit kagum. “Kalau kamu berhasil, aku janji akan dukung. Tapi jangan lupa, jangan sampai terlalu tenggelam sampai lupa dunia nyata.” Daffa mengangguk sambil tersenyum. Ia menyadari kata-kata Raka sebagai pengingat penting: teknologi memang menarik, tetapi kehidupan nyata tetap harus dijaga. Di kamar, Daffa membuka laptopnya lagi. Ia mulai menonton video tutorial tentang blockchain dan cryptocurrency. Setiap istilah baru membuatnya penasaran: wallet, mining, ledger, smart contract. Ia mencatat semuanya dengan rapi di buku catatan, sambil membuat diagram sendiri untuk memvisualisasikan alur transaksi digital. Di tengah malam, Daffa menatap layar laptop sambil merenung. Ia membayangkan masa depan: mungkin suatu hari ia bisa membuat proyek digitalnya sendiri, membantu orang memahami teknologi, atau bahkan menciptakan inovasi yang bermanfaat. Namun, ia juga sadar bahwa jalan menuju itu tidak mudah. Ia harus belajar, menghadapi tantangan, dan menjaga integritas. Sebelum tidur, Daffa menulis beberapa tujuan harian: 1. Membaca satu artikel tentang blockchain. 2. Menonton video edukasi cryptocurrency. 3. Membuat catatan tentang konsep yang belum dimengerti. 4. Berdiskusi dengan teman atau mentor tentang pertanyaan yang muncul. Tulisan itu membuatnya merasa lebih terarah. Dunia digital memang penuh misteri, tetapi Daffa yakin, dengan ketekunan, rasa ingin tahu, dan dukungan keluarga, ia bisa menjelajahi dunia itu. Malam itu, dengan cahaya lampu meja yang hangat, Daffa menutup laptopnya, menarik selimut, dan tersenyum. Petualangan pertamanya baru saja dimulai, dan ia siap menghadapi hari esok dengan semangat baru.Malam sudah larut. Jam dinding di kamar kos menunjukkan pukul 23.47. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air di kaca jendela. Suara tetesan masih terdengar, berpadu dengan dengung kipas angin tua yang berputar malas. Daffa duduk sendirian di kursi kayu kecil dekat jendela. Di hadapannya, laptop menyala dengan dashboard EduCoin yang menampilkan grafik transaksi token dan jumlah pengguna yang terus bertambah. Ada rasa bangga, tapi juga ada sesuatu yang mengganjal di hatinya: perasaan campur aduk antara puas, takut, dan bingung. Daffa menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. “Aku bahkan nggak percaya aku bisa sejauh ini.” Ia menutup mata, membiarkan pikirannya berputar ke masa lalu. Ia melihat dirinya dan Bima di perpustakaan kampus. Buku-buku menumpuk di meja, laptop terbuka dengan tab penuh artikel tentang blockchain. Daffa ingat rasa frustrasi saat itu. “Bim, ini maksudnya apa sih? Ledger, mining, peer-to-peer… kayak bahasa alien.” Bima tertawa kecil. “Tenang, Daf.
Pagi itu Daffa merasa hari berjalan seperti biasa. Ia bangun, berangkat ke kampus, mampir ke kantin. Tapi satu hal kecil mengubah segalanya: sebuah notifikasi berita di ponselnya.Di layar tertera judul besar:“Inovasi Anak Muda: EduCoin, Token Belajar untuk Pelajar Indonesia.”Tangannya refleks gemetar. Ia baca cepat artikel itu, menelusuri setiap kalimat: tentang ide awal mereka, tujuan edukasi, bahkan kutipan dari postingan mereka di forum crypto lokal.“Guys, kita masuk berita!” seru Daffa, bangkit dari kursi kantin.Karin hampir menjatuhkan sendok nasi gorengnya. “Apa?! Serius?”Bima langsung meraih ponselnya. Sinta dan Rizal mendekat, mereka berebut membaca. Saat benar-benar melihat artikel itu nyata, wajah mereka berbinar-binar.“Ini gila. Kita cuma bikin proyek kecil-kecilan, eh diliput media,” kata Fahri dengan nada tak percaya.Artikel itu sederhana, tapi efeknya luar biasa.Tak butuh waktu lama, tautan artikel dibagikan di Twitter, Instagram, hingga TikTok.Komentar publik
Setelah melewati masa penuh tekanan, tim EduCoin memutuskan untuk mengadakan rapat besar di ruang komunitas kampus yang biasanya sepi di akhir pekan. Daffa berdiri di depan papan tulis, tangannya memegang spidol, wajahnya penuh tekad.“Kemarin kita dihantam masalah bertubi-tubi. Server down, bug, regulasi. Tapi aku percaya, ini bukan akhir ini justru jalan menuju solusi.”Semua anggota tim menatapnya dengan harapan. Karin duduk sambil memegang laptop, Bima siap dengan catatan, Fahri tampak masih lelah tapi fokus, Rizal menyalakan recorder agar rapat terdokumentasi, sementara Sinta menyiapkan slide presentasi sederhana.Daffa menuliskan tiga kata besar di papan tulis: Stabilitas – Strategi – Inovasi.“Ini tiga pilar kita sekarang,” ujarnya. “Tanpa stabilitas, pengguna nggak percaya. Tanpa strategi, kita kehilangan arah. Tanpa inovasi, kita akan ditinggalkan.”Fahri mendapat giliran bicara. Ia maju dengan membawa laptop.“Pertama soal server. Aku sudah riset beberapa opsi cloud service.
Setelah kampanye promosi pertama EduCoin sukses, antusiasme pengguna meningkat pesat. Dalam waktu singkat, jumlah akun pelajar yang mendaftar melonjak lebih dari dua kali lipat.Daffa menatap dashboard server dengan mata berbinar. “Lihat, traffic kita naik gila-gilaan! Dalam sehari ada 500 user baru.”Bima ikut mencondongkan badan. “Ini luar biasa, Daf. Kita bener-bener bikin sesuatu yang disukai.”Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Malam harinya, notifikasi merah memenuhi layar Daffa. Server down.“Tidak… jangan sekarang!” Daffa menepuk jidat.Besok paginya, grup chat tim penuh pesan panik.Sinta: “Daf! Aku nggak bisa login. Anak-anak yang pakai juga pada ngeluh.”Rizal: “Twitter kita udah rame. Banyak yang nanya kenapa aplikasi error.”Fahri: “Aku cek log. Sepertinya server nggak kuat menahan lonjakan traffic.”Daffa langsung ke rumah Fahri untuk memperbaiki sistem. Dengan wajah lelah, mereka berdua begadang semalaman, mencoba menstabilkan server.“Masalahnya bukan di k
Beberapa hari setelah uji coba pertama EduCoin selesai, Daffa masih tenggelam dalam evaluasi. Ia duduk di kafe kecil dekat kampus, menatap layar laptop penuh catatan bug dan feedback dari siswa.“Desain aplikasimu keren sih, Daf,” kata Bima yang duduk di seberangnya. “Tapi jujur aja, tampilannya agak… kaku. Anak-anak suka fungsinya, tapi kalau tampilannya lebih menarik, pasti makin nempel.”Daffa menghela napas. Ia tahu itu kelemahannya: urusan desain dan tampilan. Ia bisa membangun sistem yang aman, algoritma yang efisien, tapi kalau soal estetika? Nol besar.Tiba-tiba, seseorang dari meja sebelah menoleh. Seorang gadis berambut sebahu, mengenakan hoodie biru tua, sedang menggambar di tablet grafis. Ia tersenyum tipis.“Maaf, aku nggak sengaja dengar obrolan kalian,” katanya. “Aku setuju sama temanmu. Sistem yang bagus perlu wajah yang ramah. Kalau nggak, orang males pakai.”Daffa dan Bima saling pandang. “Eh, iya… kamu siapa?” tanya Bima agak kikuk.Gadis itu memperkenalkan diri. “A
Hari itu terasa berbeda bagi Daffa. Ia bangun lebih pagi, sarapan seadanya, lalu duduk di depan laptop dengan tangan agak gemetar. Hari ini adalah hari yang sudah mereka tunggu-tunggu: uji coba pertama EduCoin.Selama berminggu-minggu mereka bekerja siang malam. Daffa dengan coding, Bima dengan riset, Sinta dengan konten edukasi, Fahri dengan server, dan Rizal dengan komunikasi ke sekolah. Akhirnya, sebuah sekolah menengah di pinggiran kota bersedia menjadi tempat uji coba terbatas.Sekolah itu bukan sekolah elite, melainkan sekolah negeri dengan fasilitas sederhana. Justru di situlah Daffa merasa ide mereka lebih relevan. EduCoin bukan sekadar teknologi, tapi alat untuk memberi semangat baru bagi pelajar biasa.Di ruang guru, mereka diterima oleh Bu Rini, seorang guru yang dikenal progresif.“Jadi, kalian mau bikin eksperimen kecil di sekolah ini?” tanya Bu Rini dengan nada penasaran.Rizal menjawab dengan antusias, “Iya, Bu. Sederhana saja. Kami ingin mencoba memberi reward berupa t