Share

Bab 1

Tanpa disadari, terkadang waktu berlalu dengan cepat. Seperti baru saja kemarin Daisy diantar Mama untuk mendaftar pertama kali di salah satu universitas pilihannya. Dan hari ini, ia justru sudah menunggu pengumuman nilai dan kelulusan.

Dengan hati berdebar, kaki Daisy melangkah mendekati papan pengumuman yang dipadati oleh mahasiswa dan mahasiswi kampusnya, mereka semua berkerumun untuk melihat hasil nilai kelulusan.

Dari beberapa raut wajah yang Daisy temui, ada beberapa mahasiswa yang memasang wajah penuh bahagia—seperti baru saja memenangkan sebuah lotre. Beberapa lagi ada yang menekuk wajahnya, dan bahkan menangis.

Jelas saja, Daisy berdebar bercampur takut. Was-was sekali dengan nilainya sendiri, karena jujur, semester terakhir ini ia tidak terlalu banyak belajar, ia sibuk mempelajari bisnis yang dikelola Papa.

Papa bilang, ia harus bisa sedikit bisnis, karena sebentar lagi Daisy akan menggantikan Papa memimpin perusahaan.

“Daisy! Aku lulus!”

Seseorang memeluk Daisy begitu erat, sampai rasanya leher Daisy seperti tercekik. “Eve, aku tidak bisa bernapas!” pekik Daisy.

Eve—sahabat Daisy, melepas pelukannya. Ia meminta maaf sambil tertawa kecil, saking senangnya Eve tidak menyadari pelukannya terlalu kuat. “Kau sudah melihat nilaimu?”

“Ini, aku sedang berusaha membelah kerumunan,” jawab Daisy. Sesekali bibir mungilnya mengucapkan permisi pada beberapa mahasiswa yang menghalangi jalan. Dan Eve mengekor di belakang, menemani Daisy sampai berhasil berdiri di depan papan pengumuman.

***

“Ma, Daisy lulus.”

Terdengar helaan napas lega dan pujian dari seberang telepon. Daisy tersenyum kecil, menatap kedua kakinya yang terendam air kolam renang. Pantulan cahaya dari rembulan malam menambah kesan tenang untuk seorang Daisy. Ia begitu senang menyampaikan kabar baik mengenai kelulusan studinya pada Mama yang sedang berada di luar kota.

“Putri cantik Mama sudah lulus kuliah, ya. Sekarang, kau mau hadiah apa dari Mama dan Papa, Sayang?”

Sekilas, Daisy menggerakkan kakinya hingga menimbulkan guncangan pada air yang tenang. “Seminggu lagi, Daisy wisuda. Mama dan Papa bisa pulang, kan?”

“Tentu saja Mama dan Papa akan pulang. Kita akan merayakan kelulusanmu dengan pesta kecil.”

“Pesta kecil?”

Di seberang sana, Mama mengangguk. Meski Daisy tidak dapat melihatnya. “Iya, sebuah pesta sederhana untuk putri Mama.”

“Mama tidak bohong, kan?”

“Untuk apa Mama bohong, Sayang. Mulai sekarang, kau harus mempersiapkan gaun terbaik untuk menyambut kami.”

Daisy tersenyum lebar. “Oke, Ma. Aku akan memakai gaun terbaik untuk menyambut kalian.”

“Gaun warna hitam, ya, Sayang.”

“Hitam?” Daisy mengernyit. Tidak mengerti dengan permintaan Mama, kenapa harus hitam?

“Iya hitam, Mama dan Papa sudah menyiapkan tema khusus untuk perayaan kelulusanmu. Tidak perlu khawatir, kau pasti akan terkejut dengan kejutan yang akan kami diberikan.”

Semula Daisy ragu. Tapi, pada akhirnya ia menyetujui permintaan Mama untuk mengenakan gaun warna hitam. Tidak peduli bagaimana tema yang disiapkan Mama, Daisy hanya ingin berkumpul dengan kedua orang tuanya yang selalu sibuk bekerja.

***

Seminggu kemudian...

Eve mengarahkan ponselnya pada wajah Daisy yang terlihat murung. “Lihat Austin, sahabatku sejak tadi tidak bersuara sama sekali. Lemas seperti belum sarapan saja.”

Daisy menatap layar ponsel Eve yang menampilkan wajah bangun tidur Austin—kekasih sahabatnya. Lelaki dengan balutan kaus oblong hitam itu menunjukkan deretan giginya yang rapi. “Selamat atas kelulusanmu Daisy, kau cantik sekali memakai topi wisuda itu.”

Senyum kecil Daisy muncul, meski terlihat jelas terlalu dipaksakan. Bagaimana tidak, kedua orang tuanya belum juga sampai. Padahal mereka sudah berjanji akan datang sebelum wisuda dilaksanakan, tapi sampai wisuda selesai, mereka belum juga datang.

“Terima kasih, Austin,” jawab Daisy sekenanya.

Ponsel kembali diarahkan Eve ke wajah gadis itu. Sementara Daisy hanya bisa menarik napas dalam, mendengar bagaimana Eve tengah bercerita mengenai wisudanya pada Austin. Sungguh beruntung sekali menjadi Eve, dikelilingi orang-orang yang selalu ada dan menyayanginya. Berbeda dengan Daisy. Kedua orang tuanya ingkar janji, dan kekasihnya pun masih sibuk mengurus bisnis di luar kota.

Beberapa menit kemudian, ponsel yang ia genggam bergetar. Daisy tersenyum senang ketika nama Mama tertera di layarnya. “Halo, Mama? Sudah sampai di depan gerbang, ya? Aku susul sekarang.”

“Dengan keluarga Xavier?”

Daisy terpaku di tempatnya berdiri, ini bukan suara Mama. “Siapa?”

“Kami dari pihak rumah sakit, ingin memberitahukan bahwa Nyonya Xavier dan Tuan Xavier mengalami kecelakaan beruntun di jalan tol.”

Daisy meremas kuat ponselnya, jantungnya berdegup begitu kencang—terlalu kencang sampai ia berpikir akan terlepas. “Jangan bercanda!” ucap Daisy dengan bibir bergetar.

“Daisy, ada apa?” tanya Eve.

Eve tidak mendengar jawaban, gadis itu justru dikejutkan dengan ponsel Daisy yang terlepas dari genggaman dan sahabatnya yang terduduk lemas dengan air mata yang mulai mengalir deras.

Terlihat jelas, panggilan masih tersambung dengan Mama Daisy. Eve memberanikan diri untuk bicara di telepon. Tapi dia juga berakhir lemas di samping Daisy, memeluk tubuh sahabatnya yang tidak bergerak, dengan air mata yang juga mulai meluruh. Eve merasakan kehancuran, seperti apa yang sedang dirasakan Daisy.

***

Sejak kecil, Daisy benci rumah sakit.

Di tempat ini, Daisy pernah melihat Kakek tercintanya meregang nyawa sebelum ditangani Dokter. Ia juga pernah melihat, bagaimana seorang anak kecil meninggal karena sesak napas.

Daisy tidak ingin pergi ke rumah sakit, menurutnya, di tempat ini terlalu kental dengan suasana kepedihan.

Tapi, malam ini ia terpaksa datang ke rumah sakit bersama Eve dan Layton—kekasihnya, untuk menemui Mama dan Papa yang sedang ditangani di IGD. Tubuh lemas Daisy ditopang oleh Layton, ketika mereka sampai di depan pintu IGD yang tertutup rapat.

“Jangan menangis, Daisy,” bisik Layton, mengusap lengan Daisy lembut. Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh sang kekasih.

“Ba—bagaimana jika terjadi sesuatu pada Mama dan Papaku?” Daisy meremas kaus Layton.

“Mereka akan baik-baik saja Daisy, percaya padaku.”

Eve meremas ujung gaunnya, ia begitu iba dengan keadaan sahabatnya saat ini. Bahkan air matanya sejak tadi tidak mau berhenti mengalir. Tanpa sepengetahuan sahabatnya, kemarin Mama Daisy menelepon Eve dan memintanya untuk menjaga gadis itu. Eve menangis karena teringat percakapannya dengan Mama Daisy kemarin malam.

Tak berapa lama, pintu IGD terbuka. Seorang Dokter bersama kedua suster keluar dari ruangan itu. Daisy berdiri dibantu oleh Layton, ia berjalan setengah berlari untuk menemui sang Dokter.

“Dok, bagaimana keadaan Mama dan Papa saya?”

Dokter itu menepuk bahu Daisy perlahan, “Kami sudah berusaha sebaik mungkin, namun Tuhan berkehendak lain. Nyonya Xavier meninggal terlebih dahulu, dan Tuan Xavier menyusulnya.”

Bagai dihantam godam besar, Daisy merasa oksigen di sekitarnya lenyap, tergantikan dengan sesak dan sakit yang teramat pada dadanya. Ia berharap ini hanya mimpi, tapi ketika Daisy menampar dirinya sendiri, ia merasakan sakit pada pipinya.

Daisy menyaksikannya sendiri, ketika dua orang perawat mendorong dua brankar dari ruang IGD. Di sana, tubuh kedua orang tuanya terbaring tak bernyawa, tertutup kain putih yang sebagian sisinya terdapat bercak darah dari luka-luka kedua orang tuanya.

Hancur sudah, kehidupan Daisy berantakan.

Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba pandangannya begitu mengabur saat kedua tangannya mencoba menggapai brankar itu. Lalu ia tidak ingat lagi apa yang terjadi. Daisy kehilangan kesadarannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status