Share

Bab 2

Dipeluknya gundukan tanah itu dengan air mata yang tetap mengalir deras. Tidak peduli awan hitam yang menggantung di langit, Daisy terus menangis meronta di samping makam kedua orang tuanya, meminta mereka untuk kembali meski mustahil akan terjadi. Angin yang berembus menerbangkan tiap helai rambut panjang Daisy, seperti pertanda bahwa ia memang harus mengikhlaskan kepergian mereka menuju alam kekal.

Seharusnya, Daisy tidak memaksa mereka untuk pulang dan menghadiri wisudanya, jika ia tahu pada akhirnya akan seperti ini. Lebih baik ia berjauhan dengan kedua orang tuanya, tapi mereka tetap ada. Daripada dekat, namun mereka tak bernyawa. Daisy benar-benar menyesali keputusannya meminta mereka pulang.

“Daisy sudah memakai gaun yang kalian inginkan, gaun warna hitam. Apakah ini kejutan yang kalian berikan padaku? Kalian pulang dengan keadaan seperti ini, Ma, Pa.” Gadis itu meremas gumpalan tanah di bawah lututnya.

"Kenapa ketika aku ingin kalian ada di sisiku, kalian justru tidak dapat kuajak bicara dan tertawa. Aku rindu kebersamaan kita seperti dulu, Ma, Pa. Selama ini kalian hanya sibuk bekerja."

"Aku sangat kesepian, aku ingin kalian, aku membutuhkan kalian," isak Daisy.

“Sudah, Daisy.” Layton dengan sabar menunggu sang kekasih. Sesekali juga memberikan sentuhan pada bahu gadis itu.

“Kenapa kalian tega meninggalkan aku sendirian?” tanya Daisy pada gundukan tanah yang masih basah itu.

Layton hanya dapat menghela napas. “Daisy, ayo pulang! Sebentar lagi akan turun hujan.”

Dengan kasar Daisy menepis tangan hangat Layton yang ada di bahunya. “Kau pulang saja dulu, aku masih ingin menemani Mama dan Papaku, di sini.”

Layton berjongkok, menarik tubuh Daisy ke dalam pelukannya. Tidak peduli dengan rintik hujan yang jatuh ke bumi, dan menjadi lebat dalam sekejap. Ia tetap menunggu Daisy sampai gadis itu benar-benar mau menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya sudah tiada.

“Layton, aku tidak percaya mereka pergi secepat ini,” lirih Daisy. Di bawah guyuran hujan lebat itu, tubuhnya mulai menggigil kedinginan.

Layton mengecup singkat puncak kepala Daisy. “Kau tidak boleh sakit, orang tuamu tidak akan suka melihatmu seperti ini. Ayo kita pulang, Daisy.”

Keduanya sama-sama berdiri, dengan Layton yang menyangga tubuh lemas Daisy. Di bawah guyuran hujan itu, Daisy menatap sekali lagi nisan orang tuanya. Ia tersenyum tipis, lalu berkata, “Bahagialah di sana, Ma, Pa. Tunggu aku, dan kita akan kembali berkumpul lagi suatu saat nanti. Aku menyayangi kalian.”

***

“Daisy,” panggil Eve.

Ia menyambut sahabatnya yang berjalan sangat pelan, dan dituntun oleh Layton. Gadis itu memeluk Daisy, tidak peduli jika nanti pakaiannya akan basah. Yang terpenting, dia harus bisa menguatkan Daisy yang sangat terpukul atas kepergian orang tuanya, yang terbilang mendadak. Tadi, setelah pemakaman berakhir, Layton meminta Eve pulang duluan ke rumah Daisy untuk perwakilan jika ada pelayat yang datang.

“Pakaianmu basah.”

Daisy tidak bisa menjawab, tangisnya kembali pecah dalam pelukan Eve. Bersama Eve, Daisy merasa menemukan rumahnya yang nyaman. Seperti ketika ia sedang bersama orang tuanya.

“Ayo, kuantar ke kamar.” Eve menuntun Daisy masuk ke dalam rumah, setelah berpamitan pada Layton.

Dengan cekatan, Eve mengganti pakaian Daisy dan menyuruh gadis itu berbaring ke ranjang. Ia juga menyelimuti tubuh Daisy yang menggigil.

“Kau sudah makan?” tanya Eve.

“Aku tidak lapar.”

“Kau harus makan, Daisy.”

“Aku tidak ingin makan Eve, aku hanya ingin tidur,” kata Daisy lemah, ia membalik tubuhnya membelakangi Eve.

Kepala Daisy terasa berat dan pusing. Dia hanya ingin tidur untuk melupakan apa yang sudah terjadi hari ini, meski hanya sebentar. Ia tidak ingin larut dalam kesedihan dan membuat Eve akan khawatir berlebih padanya.

“Eve,” panggil Daisy, ia tahu Eve masih setia menunggunya. “Bisakah kau menemaniku di sini untuk semalam?”

“Ya, aku akan menemanimu,” ucap Eve tanpa ragu.

“Terima kasih.”

***

Keesokan harinya.

Daisy kedatangan tamu tak diundang. Jika bukan karena ikatan keluarga, Daisy juga tidak akan sudi berlama-lama duduk di sini, mendengar dengan bosan cerita yang keluar dari mulut Bibi Calyn—adik Papanya. Ia tahu betul, air mata yang keluar dari mata Bibi Calyn adalah palsu. Alih-alih bersedih karena kakak kandungnya telah tiada, Bibi Calyn pasti senang dengan kabar duka ini.

Daisy tidak terlalu bodoh untuk mengerti kenapa dulu Papa sangat menentang keputusan Kakek ketika ingin mengangkat Bibi Calyn sebagai manajer keuangan di perusahaan. Bibi Calyn sangat licik, sejak dulu, ia berusaha untuk melengserkan Papa dari jabatannya dan mencoba mengambil alih semua bisnis yang Papa rintis dari bawah.

“Papamu itu benar-benar keras kepala, padahal aku sudah mengatakan padanya kemarin untuk tidak pulang. Aku yang akan mengurus pesta kelulusanmu di sini.”

Menghela napas panjang, Daisy tanpa ragu menguap. “Sudah takdirnya seperti ini, Bi. Mau bagaimana lagi.”

“Aku turut berduka cita Sayang, kau pasti sangat kesepian di rumah besar ini sendirian.”

Daisy membalas pelukan Bibi Calyn, meski tidak terlalu erat. Terkesan hanya menepuk punggung Bibi Calyn sekilas, sebelum melepaskan pelukan wanita itu karena merasa risi.

“Bibi akan menyuruh Seryl untuk tidur di sini nanti.”

“Tidak perlu Bi, Eve ada di sini menemaniku,” tolak Daisy secara halus.

Terlihat ada raut kekecewaan di wajah Bibi Calyn, sebelum wanita itu dengan cepat mengubah kekecewaannya menjadi senyuman manis yang menipu. “Syukurlah, kau tidak sendirian lagi.”

“Sudah waktunya aku pulang, Sayang. Lain kali Bibi akan ke sini lagi menjengukmu.” Bibi Calyn menepuk puncak kepala Daisy sambil tersenyum.

Daisy terdiam, membiarkan Bibi Calyn pergi dari rumahnya dengan suara ketukan dari sepatu wanita itu yang masih terdengar menggema. Pikirannya terpaku pada kemungkinan terburuk mengenai perusahaan, bisakah Daisy mengelola perusahaan peninggalan Papanya di bawah tekanan Bibi Calyn nantinya.

Apakah ia bisa mempertahankan kekuasaan itu, mengingat bagaimana liciknya Bibi Calyn. Menghela napas, gusar. Daisy memilih untuk naik ke lantai atas menemui Eve, mungkin dengan sedikit curhat atau bermain beberapa permainan di ponsel dengan Eve, bisa membuat pikirannya lebih tenang.

***

“Bagaimana, Ma? Kau sudah bertemu dengan gadis sombong itu?”

Calyn tersenyum penuh arti, sembari melepas kacamata hitamnya, ia menoleh sekilas pada Seryl—putri kesayangannya yang sedang menyetir. “Sebentar lagi, gadis itu tidak akan bisa sombong lagi, Sayang.”

“Huh, Mama mengatakan itu hanya untuk membuatku lebih tenang, bukan?”

Calyn tertawa. “Lihat saja, cepat atau lambat, semua hartanya akan berpindah ke tangan Mama.”

Mama dan anak itu sama-sama menunjukkan seringai mereka, begitu yakin dengan rencana selanjutnya yang akan membuat Daisy jatuh miskin dalam sekejap.

Seryl tampak senang, sebentar lagi ia yang akan berkuasa, bukan Daisy. Gadis sombong itu tidak akan bertahan lama dalam kemegahan rumah besar Xavier.

Calyn merogoh ponselnya di dalam tas, mencoba menghubungi seseorang. “Bisa kita bertemu hari ini?” tanyanya.

“Kau atur saja tempatnya, nanti aku akan ke sana.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status