Share

Bab 3

Koper kecil berisi segepok uang dengan jumlah yang tidak sedikit, mampu membuat Layton terdiam begitu lama di tempatnya duduk. Ia seperti terjatuh dalam imajinasi di kepalanya, tentang apa yang bisa ia lakukan dengan uang sebanyak itu.

“Bagaimana, kau menerima tawaranku atau tidak?” tanya seorang wanita dengan kacamata mahal yang bertengger angkuh di hidung mancungnya.

Layton mengusap dagunya yang dipenuhi bulu-bulu halus. “Tawaran yang cukup menarik.”

“Uang ini sangat cukup untuk membayar utang perusahaanmu yang menggunung, aku jamin kau tidak akan jadi bangkrut.”

Sekilas, Layton terperangah. Bagaimana orang ini bisa tahu tentang perusahaannya yang hampir bangkrut karena utangnya di mana-mana. Padahal Layton tidak pernah menceritakannya pada siapa pun, bahkan keluarganya saja tidak tahu.

“Bagaimana? Kau hanya perlu menyakitinya, itu saja. Jangan terlalu lama berpikir, kau membuang waktuku terlalu banyak!”

Layton menimang keputusannya lagi, di satu sisi ia membutuhkan uang ini untuk perusahaannya, di satu sisi ia juga tidak mungkin tega menyakiti seseorang yang sudah menemaninya kurang lebih satu tahun ini.

“Kau lihat, Layton. Aku jauh lebih menarik dari gadis sombong itu!” wanita di depan Layton bersuara, merasa dia harus menegaskan bahwa dia jauh lebih menarik dari penampilan dan paras. Tubuhnya juga jauh lebih berisi dan seksi.

“Aku menerima tawaranmu.”

“Bagus.” Wanita di depan Layton menyeringai, ia mendekatkan tubuhnya pada Layton dan berbisik penuh sensual. Hingga Layton juga tanpa ragu menunjukkan seringainya.

“Aku menunggu kau menempati janjimu itu, manis.” Layton terkekeh pelan, mengambil koper berisi uang dan mengusap pipi wanita itu dengan lembut.

***

Dua bulan setelah kepergian Mama dan Papa. Daisy berusaha melakukan aktivitasnya seperti biasa, ia hanya menganggap Mama dan Papa masih baik-baik saja dan sedang berada di luar kota untuk mengurus bisnisnya. Ia hanya berusaha mengalihkan pikiran agar tidak berlarut dalam kesedihan.

“Ah, pegal sekali,” keluh Daisy. Ia sedang berkutat pada tumpukan berkas yang perlu dibubuhi tanda tangannya. Berkas dari perusahaan Papa yang tadi dikirim oleh sekretaris perusahaan, tentang pengalihan harta warisan, perusahaan, dan masih banyak lagi.

Eve yang ada di sebelah Daisy menoleh, menutup laptopnya sebentar, sebelum akhirnya berfokus pada sahabatnya yang sedang menyandarkan punggungnya di sofa.

“Apa kau tidak bosan di rumah terus?” tanya Eve.

Daisy menggeleng. “Aku malas keluar.”

“Ayolah, sekali saja mencari kesenangan di luar. Aku lihat tadi ada diskon parfum kesukaanmu.”

“Parfumku masih banyak, Eve,” jawab Daisy, ia sibuk menyusun berkas yang tadi sudah ditanda tangani.

Eve menghela napas, percuma saja mengajak Daisy mencari kesenangan ketika gadis itu tidak menginginkannya. Akhirnya ia menyerah membujuk Daisy keluar. “Aku mau tidur siang kalau begitu,” putus Eve.

“Eve,” panggil Daisy.

Gadis berusia 22 tahun itu menoleh pada Daisy, “Apa?” tanyanya.

“Aku ingin makan pizza. Nanti setelah kau bangun, bagaimana jika kita pergi ke restoran favorit kita?” tawar Daisy.

Eve tersenyum. “Kenapa tidak sejak tadi kau mengatakan itu?”

“Baru ingin.”

“Sekarang saja, ya.”

Daisy menutup berkas terakhir yang sudah ia bubuhi tanda tangan, lalu menoleh pada Eve yang menunggu jawabannya di undakan tangga pertama menuju lantai dua. “Aku ganti baju dulu.”

“Siap bos!”

***

Memandangi penampilannya sekali lagi di cermin, dan Eve siap pergi bersama Daisy. Dengan penuh semangat, ia membuka pintu kamar Daisy setelah berhasil memakai sepatunya. Tetapi, langkahnya terhenti ketika mendengar keributan kecil di lantai bawah. Setahu Eve, ia tadi meninggalkan Daisy di bawah seorang diri.

Ketika melongok ke bawah, Eve melihat Daisy yang baru saja merobek sebuah kertas di depan Bibi Calyn—surat pengalihan kuasa. Entah sejak kapan Bibi Calyn ada di rumah ini. Ia tahu, ini sudah di luar batas, tidak seharusnya Eve mendengar masalah keluarga Daisy sampai sejauh ini.

Tapi, gadis itu sudah sangat tahu bagaimana jahatnya Bibi Calyn. Bagaimana wanita paruh baya itu selalu berusaha untuk menjatuhkan keluarga Daisy dengan segala cara. Ia juga tahu, wanita itu akan mengandalkan segala cara untuk merebut harta dan kekuasaan dari ahli waris terakhir keluarga Xavier—Daisy.

“Kau tidak bisa semudah itu mengambil harta orang tuaku, Bibi!” sentak Daisy.

“Kau masih terlalu muda, Sayang. Kau tidak terlalu mengerti bisnis, aku tahu itu.” Bibi Calyn berusaha meyakinkan Daisy.

“Kau itu licik! Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan harta milik orang tuaku padamu!” suara Daisy meninggi.

Bibi Calyn tersenyum, meremehkan. “Aku hanya menawarkan bantuan, sombong sekali kau, Daisy.”

Daisy mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, berusaha menahan diri untuk tidak menampar wanita di depannya. “Ya, aku memang sombong. Aku bisa menyelesaikan segala urusan sendiri, tanpa bantuanmu!”

Setelah mengatakan itu, Daisy berlari menaiki tangga. Ia langsung menyeret Eve untuk masuk kembali ke dalam kamar, tidak peduli bagaimana Bibi Calyn berteriak memanggil namanya.

“Dasar anak tidak tahu di untung!” kesal Calyn.

Geram sekali, sulit mendapatkan hati Daisy yang keras seperti Papanya. Daisy sudah terdoktrin sejak dini mengenai rencananya untuk menghancurkan keluarga gadis itu. Maka, dengan mati-matian pula Daisy melindungi harta keluarga.

“Lihat saja, aku akan mencari bukti kuat untuk mengambil semua kekayaan ini.”

***

Daisy merasa tidak enak hati karena mengingkari janjinya untuk pergi dengan Eve hari ini. Tapi, perasaannya sedang tidak baik-baik saja sekarang, ia merasa tertekan dengan perkataan Bibi Calyn.

“Kau akan melakukan apa setelah ini?” tanya Eve, memecah keheningan.

Ia berbalik, menatap Daisy yang sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk.

“Aku tidak tahu harus berbuat apa, aku tidak mengerti hukum dan sebagainya. Orang kepercayaan Papa juga sudah meninggal beberapa hari yang lalu.”

Semuanya beruntun, seperti hal ini memang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Daisy juga merasa janggal dengan kematian orang tuanya, meski polisi sudah mengatakan jika itu murni kecelakaan beruntun.

Menghela napas, Eve ikut duduk di sebelah Daisy. Ia juga mencoba mencari jalan keluar untuk masalah ini. Berkas berharga dan aset dalam rumah ini setidaknya harus diamankan dari Bibi Calyn.

“Eve, aku tahu,” ucap Daisy tiba-tiba.

“Apa, kau tahu apa?” desak Eve.

Daisy tersenyum simpul, seperti baru saja mendapat pencerahan. Ia mendekatkan tubuhnya pada Eve, membisikkan sesuatu di telinga gadis itu dan berharap keputusannya ini benar.

Seulas senyum tercetak di bibir Daisy dan Eve. "Aku setuju, Daisy."

Daisy memeluk sahabatnya sekali lagi. "Terima kasih sudah mau mendengar segala keluh kesahku, Eve."

"Dengan senang hati, Daisy."

Eve mengakhiri pelukan mereka. Ia menatap Daisy sekilas sebelum bertanya. "Masalahnya sudah menemukan titik terang. Jadi, bisakah kau menepati janjimu untuk makan pizza denganku sekarang?"

"Oke, untuk hari ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status