Share

Bab 9

Empat bulan kemudian ...

Usia kandungan Daisy, menginjak lima bulan. Banyak hal yang ia lewati dalam masa kehamilan ini, tak terkecuali morning sickness. Ia tetap menikmatinya, meski harus dengan tuntutan bekerja setiap hari. Eve awalnya meminta Daisy untuk berhenti saja dari pekerjaannya, tetapi gadis itu menolak.

“Aku dengar, Nyonya akan memecat Daisy.”

Daisy yang sedang mengganti pakaiannya diam-diam mendengar obrolan dua karyawan di ruang ganti. Mereka tidak tahu saja, sebenarnya Daisy sudah ada di dalam ruang ganti sebelum mereka datang.

“Kenapa? Bukankah Daisy bekerja dengan baik?”

“Kau tahu, kan dia sedang hamil. Perutnya akan semakin membesar dan itu bisa saja mengganggu pekerjaannya. Lagi pula, bulan kemarin Daisy juga banyak izin tidak masuk. Nyonya jadi malas berbaik hati lagi dengan gadis itu.”

Daisy meremas pakaian yang ada dalam pelukannya.

“Benar juga, aku kira Daisy sudah sangat banyak diberi keringanan. Aku terkadang iri padanya, apalagi Bram selalu menunjukkan perhatian.”

“Bram? Kau menyukai Bram, ya?” tebak salah satu dari mereka berdua.

“Tidak. Tapi, aku kasihan pada Bram, dia seperti dimanfaatkan oleh Daisy.”

“Tenang saja, Bram juga pasti berpikir dua kali. Mana mau dia dengan gadis kotor yang hamil di luar pernikahan seperti Daisy.”

Tawa dari keduanya membuat Daisy menarik napas dalam. Ia membuka pintu setelah kedua karyawan itu pergi. Lalu berjalan gontai menuju lokernya untuk menaruh pakaian.

Tiba-tiba sesuatu yang dingin menempel di pipi kanan Daisy, membuatnya memekik.

“Bram! Kau mengejutkan saja.” Daisy mengusap perutnya sendiri.

Bram terkekeh. “Ini aku belikan minuman untukmu.”

Daisy tak langsung menerimanya, ia mengingat kembali percakapan antara dua karyawan tadi. Apakah benar, selama ini ia hanya memanfaatkan Bram saja. Sebenarnya, Daisy sudah tahu sejak lama jika Bram menyukainya, tapi Daisy memang tak berniat untuk menjalin hubungan lagi setelah peristiwa kemarin.

“Kau minum saja sendiri, Bram. Maaf, aku harus segera bekerja.”

Bram menatap punggung Daisy yang menjauh, ada yang aneh dari sikap gadis itu padanya.

***

Lonceng di atas pintu berbunyi, menandakan pelanggan baru datang. Daisy dengan penuh semangat menghampiri sepasang kekasih yang duduk di meja nomor lima belas, membelakanginya. Ketika Daisy ingin mencoba menyodorkan menu, ia tidak sengaja mendengar percakapan dari sepasang kekasih itu.

“Pernikahan kita bulan lalu benar-benar meriah, Layton. Aku seperti menjadi ratu semalam.”

Si lelaki terkekeh. “Sekarang, kau menjadi ratuku setiap hari.”

Jika tidak disenggol dan dimarahi Rai, Daisy sudah ingin berlari pergi dari tempat itu. Tapi, karena suara Rai yang begitu keras, sepasang kekasih itu menoleh secara bersamaan.

“Daisy?!” panggil si gadis.

Daisy meremas menu di tangannya. Ia berjalan pelan, memberikan menu pada Layton dan juga Seryl—anak Bibinya. Entah apa yang terjadi, kenapa mereka bisa sudah menikah. Cincin yang melingkar di jari manis keduanya membuat perasaan Daisy seperti diremas, sakit sekali. Tanpa sadar ia mengusap perut yang sudah menonjol dibalik pakaian kerjanya.

“Kau ternyata bekerja di sini?” Seryl bertanya setelah pesanannya ditulis dan mengembalikan buku menu pada Daisy.

“Tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi setelah sekian lama, jika ada waktu bermain saja ke rumah, Daisy. Mama pasti senang, iya, kan sayang?” Seryl menoleh pada Layton.

Layton sendiri hanya mengangguk acuh.

Lelaki itu memeluk pinggang Seryl posesif, seperti jika sekali saja terlepas, Seryl akan jatuh ke tangan lelaki lain. Daisy yang menatapnya saja mulai bosan, ia ingin segera pergi dari sini.

“Ada yang mau dipesan lagi?” tanya Daisy, acuh.

“Ah, tidak ada.” Seryl tersenyum lebar. “Mau makan bersama kami tidak?”

Daisy tidak menjawab, ia mengucapkan sekali lagi apa yang baru saja dipesan agar tidak keliru, lalu berbalik pergi tanpa peduli panggilan Seryl. Ia memberikan kertasnya pada Bram yang memang menjadi koki. Tanpa Daisy sadari, sebenarnya Layton diam-diam memperhatikannya.

***

Dua kantong besar dibawa Daisy menuju tempat sampah yang ada di samping restoran, sambil menahan panas terik ia mempercepat jalannya. Setelah membuang sampah, Daisy duduk sebentar di pohon rindang yang ada dekat tempat parkir.

“Bukankah kau sedang mengandung anakku?”

Daisy terperanjat, ia segera berdiri ketika seseorang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya—Layton. Lelaki itu menatap Daisy datar dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

“Kau tidak menggugurkannya? Secinta itu kau denganku, ya?” Layton terkekeh.

“Dia bukan anakmu!”

“Lalu?”

“Dia anakku, aku yang mengandungnya!” tegas Daisy, ia memundurkan tubuhnya ketika Layton berjalan mendekat.

“Daisy, Daisy. Kasihan sekali dirimu.” Layton begitu dengan mudah mengapit pipi Daisy dengan satu tangan. “Aku sebenarnya masih mencintaimu, tapi, sayang sekali kau sudah jatuh miskin.”

Degup jantung Daisy bertalu begitu cepat, ia merasa harga dirinya diinjak-injak lagi. Ia sama sekali tidak masalah jika Layton tidak mau bertanggung jawab, Daisy sanggup menanggungnya sendirian. Tapi, bisakah orang-orang seperti Layton ini pergi saja dari hidupnya.

Setelah berhasil membuat Daisy tertekan, Layton meninggalkan gadis itu yang kini sudah bersandar pada pohon besar. Memegangi perutnya yang terasa kram.

***

Kemacetan ketika seluruh pekerja pulang adalah hal yang paling tidak bisa dihindari. Arthur berdecak kesal, berkali-kali membunyikan klakson mobilnya agar mobil di depan bisa segera berjalan maju. Sudah hampir lima belas menit, ia terjebak dalam situasi ini.

“Sial, seharusnya aku tidak mengikuti saran Mama untuk pulang lebih awal.”

Arthur bersandar pada sandaran kursi, menenggak air, dan menyeka keringat. Ia menoleh pada sisi kanan jalan, ketika mendengar seorang pengemudi yang berteriak heboh menunjuk-nunjuk sisi jembatan.

Seorang gadis tengah berdiri di atas jembatan, ingin bunuh diri. Seketika, naluri menolong Arthur muncul. Tanpa pikir panjang, ia keluar dari mobil dan meninggalkan mobilnya di kemacetan.

“Nona, Nona kau sedang apa. Turun, Nona!”

Arthur menarik tubuh gadis itu hingga mereka sama-sama terjatuh ke tanah.

“Kau ini apa-apaan?” kesal si gadis, ia berusaha bangun dan memegangi perutnya.

“Kau—“

“Iya, aku hamil. Kena—“ gadis itu seperti terkejut melihat Arthur. “Do—dokter?”

Giliran Arthur yang bingung. Dari mana gadis itu tahu jika dirinya adalah seorang dokter. Apa mungkin ia pernah menjadi pasien Arthur, entahlah. Karena terlalu banyak pasien di rumah sakit, Arthur jadi lupa.

“Bagaimana kau tahu jika aku dokter?”

Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya, sebuah ID Card. Tanpa banyak bicara ia menyodorkan ID card itu pada Arthur.

“Astaga, itu benda yang aku cari sampai hampir mati!”

"Kau mengingatku?" tanya si gadis, menatap Arthur dengan mata hazelnya yang cantik. "Di taman, hujan, dan kau menggendongku." Gadis itu membantu mengingat.

Beberapa saat, Arthur seperti ingat sesuatu. Kejadiannya sudah lama, tapi peristiwanya masih Arthur ingat. Ia basah kuyup setelah mengantarkan gadis ini ke ruang rawat inapnya.

"Siapa namamu, Nona?"

"Da—Daisy."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status