LOGINSelesai menikmati menu makan siang di kantin rumah sakit bareng teman sekerjanya, dokter Mirna. Dokter Hyra bergegas menuju ke ruang prakteknya dan dikejutkan oleh seorang pria yang duduk di sofa panjang, tampak menunggu kedatangannya.
“Hai, selamat siang, Dokter Hyra!” sapa sang pria sambil berdiri dan berjalan menghampiri perempuan itu. Sesaat Hyra terdiam sambil mengernyitkan kening dan menatap ke arah laki-laki yang berdiri di depannya. Tubuhnya yang tinggi menjulang, berjarak beberapa meter di depan, menatap dokter muda itu tajam. “Ya, apa anda ada perlu dengan saya?” “Ya, saya ingin mengajak anda kerja sama.” “Kerja sama?” Alis sebelah kanan Hyra menukik tinggi ke atas. “Kerja sama seperti apa? Apa anda mau menawarkan produk kesehatan, macem obat-obatan, makanan atau yang lainnya?” Pemuda itu menggeleng sambil tersenyum tipis. “Lalu?” Hyra tampak semakin penasaran dengan tawaran laki-laki ini. “Boleh kah kita duduk terlebih dulu?” Pinta pria muda itu sambil beralih menghampiri sofa. “Agar lebih nyaman ngobrolnya.” “Okay, silakan!” ujar Hyra sambil menghampiri sofa dan menghempaskan tubuhnya di sana. “Apa yang ingin anda tawarkan?” “Uang!” tukas pemuda itu tanpa basa-basi, Hyra mengerutkan kening dan menatap aneh. “Oh iya, sebelumnya kenalkan dulu. Namaku Ghaidan Ravindra Sumitra dan ini curriculum vitae saya,” lanjutnya sambil memberikan sebuah berkas ke arah Hyra. Pria tampan itu tersenyum senang karena sang sekretaris melakukan kerjanya dengan cepat seperti yang diperintahkan yaitu mengantar lembar curiculum vitae-nya ke rumah sakit dengan jasa kurir pengantar super ekspres, sehingga lembar itu sudah di tangan sang dokter sekarang. Dokter muda itu tampak tercengang sambil menerima berkas tersebut dan membukanya perlahan, lalu membaca profil pemuda itu dengan seksama. “Okay, intinya anda adalah seorang pengusaha, lalu produk apa yang anda tawarkan?” tanya Hyra lagi penasaran. “Seperti yang saya bilang tadi, uang!” ucapnya lugas, tidak ada nada ragu-ragu dari setiap tarikan suaranya yang berat. “Saya tahu saat ini anda sedang sangat membutuhkan uang untuk membayar semua hutang-hutang nenek anda.” “Maaf, apa maksud anda?” tanya Hyra heran. “Bagaimana anda bisa tahu tentang hal ini?” Ghaidan tersenyum tipis sambil menatap tajam, setajam senjata seorang Ninja yang dilesatkan tepat ke sasaran, lalu pria itu pun berkata, “Saya rasa semua orang bahkan dinding di rumah sakit ini tahu kalau anda punya masalah keuangan.” “Oh itu!” ujar Hyra sambil mengangguk, seolah tahu apa yang dimaksud oleh tamu asingnya ini. “Lalu apa mau anda?” “Saya ingin menawarkan kerja sama dengan anda yaitu membayar semua hutang-hutang anda berapa pun jumlahnya, tinggal sebut saja berapa nominalnya, tapi setelah itu menikahlah dengan saya dan jadi lah ibu dari anak-anak saya--” “Apa? What?” sela Hyra kaget sambil menggeleng keras lalu mengusap wajahnya gusar. Untung saja siang ini sudah tidak ada pasien yang harus dia tangani lagi, hanya kunjungan atau visit ke pasien yang menginap atau opname di rumah sakit ini. Karena Hyra yakin permintaan tamu tak dikenalnya ini pasti akan membuyarkan konsentrasinya saat menangani pasien. “Anda tidak sedang bergurau, ‘kan?” “Buat apa saya bergurau? Apa saya terlihat sedang bergurau?” balas Ghaidan santai sambil mengendikkan bahunya ke atas. “Aku serius.” Hyra memicingkan matanya dan mencoba men-scanning pria muda yang duduk di hadapannya, dari penampilannya laki-laki ini sangat good looking alias tampan, dia yakin banyak perempuan di luar sana yang akan menatapnya liar dan rakus untuk melahap pemuda ini. Apalagi dengan dandanannya yang rapi dan elegan, menunjukkan di kelas mana dia berada. “Fix, laki-laki ini pasti lagi dalam masalah besar,” batin Hyra dalam hati. “Makanya dia menawarkan hal ini padaku.” “Saya yakin kalau anda sedang dalam masalah yang sangat besar dan rumit,” ujar Hyra setelah cukup lama terdiam sambil menganalisa pria tersebut. “Bagaimana bisa anda bilang begitu?” “Tentu saja saya bisa bilang begini! Bahkan mungkin semua perempuan yang anda tawari itu, pasti akan mengatakan hal yang sama seperti saya! Saya yakin itu, karena bagaimana bisa seorang yang berkelas dan tampan seperti anda mengajak perempuan yang tidak anda kenal sama sekali untuk memasuki kehidupan anda dan memiliki anak dari anda, anda waras?” “Kenapa tidak bisa? Semuanya serba mungkin, apalagi kalau sama-sama saling menguntungkan, bisa saja, ‘kan?” jelas Ghaidan tegas, tanpa ragu. “Dan satu yang pasti, saya masih waras, Dokter Hyra Danurdara. Bukankah anda salah satu mahasiswa favourite Profesor Zamar Abidin?” Salah satu alis Hyra tampak naik ke atas dengan tatapan heran. “Dan hutang-hutang yang anda tanggung ini sebenarnya bukan hutang kamu secara pribadi melainkan hutang nenek anda atau Oma Dayana, bukan begitu?” Kedua bola mata Hyra nyaris melotot keluar begitu mendengar nama Oma Dayana, nenek kandungnya dari pihak ibu keluar dari mulut pria yang tidak dikenalnya ini, sementara pria itu mengangguk pelan sambil teringat pada percakapannya dengan sang asisten pribadi untuk mencari tahu profil Dokter Hyra Danurdara, maka tak heran bila pria itu tahu semua tentang profil sang dokter. “Kenapa? Anda heran kalau saya bisa tahu nama nenek anda?” tanya Ghaidan dengan nada sedikit mengejek. “Karena saya masih waras, jadi saya bisa mencari tahu siapa dan bagaimana keluarga anda. Bukan begitu, Dokter Hyra?” “Bagaimana anda bisa tahu kehidupan kami? Siapa anda sebenarnya?” tanya Hyra penuh selidik. “Siapa saya? Rasanya profil curriculum vitae yang anda pegang itu sudah cukup menggambarkan siapa saya sebenarnya.” Pria muda itu tampak begitu optimis dan yakin akan dirinya. “Oleh karena itu, kembali ke permbicaraan kita di awal tadi, saya ingin mengajak anda untuk bekerja sama.” “Bagaimana bisa saya kerja sama dengan anda? Saya tidak kenal anda sama sekali, bagaimana bisa anda menawarkan kerja sama yang seperti itu?” Suara perempuan itu mulai meradang sambil berbisik, Hyra tidak ingin percakapannya dengan pria asing ini didengar oleh semua orang, terutama para perawat yang suka bergosip. “Tenang, tenang. Tenang, dokter Hyra. Saya memang meminta anda untuk menikah dengan saya dan menjadi ibu dari anak-anak saya, tapi saya berani jamin, kalau saya tidak akan menyentuh anda sedikit pun. Anda bisa pegang kata-kata saya.” “Maksud anda?” “Bayi tabung! Kita akan melakukan bayi tabung dan saya akan membayar semua hutang-hutang anda plus biaya kehidupan anda selama menikah dengan saya. Bagaimana?” “Dokter Hyra!” Hyra dan Ghaidan menoleh ke arah suara yang memanggil nama dokter muda itu. “Oh maaf, saya mengganggu,” lanjut perawat yang berdiri di depan pintu ruang praktek. “Nggak apa-apa, Suster Rini. Sudah saatnya jam kunjungan, ‘kan?” Perawat berbaju seragam biru muda itu mengangguk sambil melirik sekilas ke arah Ghaidan. “Oke, tunggu sebentar, aku ambil stetoskop dulu.” Suster Rini mengangguk sambil tersenyum manis dan menatap kedua orang itu. “Okay, Tuan Ghaidan. Saya rasa cukup sampai di sini obrolan kita, karena saya harus kembali bekerja--” “Baiklah, saya juga harus melanjutkan pekerjaan. Tapi satu hal yang pasti, saya akan selalu menunggu jawaban anda atas tawaran kerja sama kita tadi.” Hyra hanya tersenyum tipis sambil berdiri diikuti oleh Ghaidan yang juga ikut berdiri sambil menautkan kancing jasnya. “Saya masih butuh waktu--” “Ya, of course! Fine! Saya juga tidak terburu-buru, saya pasti akan memberikan waktu seluas-luasnya untuk anda. Saya akan setia menunggu jawaban kamu. Nomer handphone saya ada di dalam berkas itu. Permisi, selamat siang!” ujar pria itu sambil menunjuk ke berkas yang masih dipegang Hyra, kemudian berlalu meninggalkan mereka.Sore itu, jalanan Jakarta yang padat terasa bergerak sangat lambat seperti siput. Hyra menyewa mobil dengan sopir, meminta sang sopir untuk berkendara secepat mungkin menuju ke Bogor, dan terus masuk ke daerah pegunungan yang terpencil. Selama perjalanan, Hyra terus membolak-balik laporan investigasi tersebut, mencoba memahami psikologi wanita yang disebut Ibu kandung Ghaidan.Wanita itu, bernama asli Widiyana lalu berganti nama menjadi Adriana Wibisana. Dia adalah korban kemiskinan yang brutal dan melihat Ghaidan kecil sebagai penghalang untuk melarikan diri. Rasa bencinya terhadap kemiskinan lebih besar daripada ikatan biologisnya, itulah mengapa ia mengubah identitas dirinya.Hyra lalu menatap keluar jendela, saat itu pemandangan kota sudah berganti menjadi hutan pinus dan kabut. Jantungnya berdebar, bukan karena takut pada Ghaidan, tetapi takut pada apa yang akan ia temukan di sana. Pertemuan antara Ghaidan dan Adriana Wibisana bisa meledak kapan saja.Setelah lebih dari enam ja
Dengan tangan gemetar, Hyra menarik dokumen itu keluar. Itu adalah laporan investigasi. Di halaman pertama, tertera sebuah foto berwarna, foto seorang wanita paruh baya yang tampak elegan. Namun, tatapan matanya kosong. Di bawah foto itu, tertera sebuah nama Adriana Wibisana dan alamat di luar kota yang sangat jauh.Hyra membaca keseluruhan ringkasan laporan itu dengan seksama. Napasnya tercekat, dokumen itu merinci bagaimana wanita di foto itu telah membangun kehidupan baru, didukung oleh seorang pria kaya. Semua itu dilakukan demi mencapai kemewahan dan menghindari trauma kemiskinan masa lalunya.Di bagian judul laporan, dengan huruf kapital yang tebal, tertulis “Laporan Penemuan Subjek : Ibu Kandung Ghaidan Ravindra Sumitra, Pelaku Pengkhianatan Ekonomi.”Hyra tersentak mundur hingga menjatuhkan dokumen tersebut ke lantai. Ia memegang dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu dengan kencang. Jadi ini alasan kepergian Ghaidan. Dia tidak pergi karena urusan bisnis, tapi untu
Ghaidan berjalan pelan ke tepi balkon, ponsel masih tertempel erat di telinga. Malam itu angin Jakarta terasa dingin, seolah ikut membekukan atmosfer di sekitarnya. Kata-kata Lukman yang baru saja ia dengar berputar-putar, merobek lapisan ketenangan palsu yang baru saja ia rasakan berkat Hyra. “Ulangi, Lukman, bicara yang jelas,” desis Ghaidan, suaranya kembali ke intonasi CEO yang kaku dan tanpa emosi. Luka yang tadi sempat ia perlihatkan di depan Hyra, kini terbungkus kembali oleh baja yang lebih tebal. “Kami berhasil mendapatkan informasi lagi, Boss. Data-data yang kemarin aku kirimkan dari hasil investigasi detektif yang kita sewa ternyata valid, semuanya benar.” Ghaidan terdiam, menyimak setiap ucapan Lukman. “Kami sudah mengeceknya, alamat itu juga benar, bahkan nama palsu yang dia gunakan juga benar, dia memang mengubah total identitasnya, Boss,” jawab Lukman dari seberang. “Sekarang dia menggunakan nama panggilan baru dan tinggal di lingkungan yang sangat eksklusif.” Gha
“Maaf, mas..... aku... nggak sengaja menemukannya,” jawab Hyra pelan. “Aku tadi cuma ingin membereskan koper kamu,” ujar Hyra bohong, karena sesungguhnya ia benar-benar penasaran dengan barang-barang milik sang suami. Sejak pulang dari panti asuhan dan ngobrol panjang lebar tentang masa lalu Ghaidan bareng Bu Rahayu, Hyra jadi semakin bersemangat ingin tahu segalanya tentang Ghaidan, bahkan ia ingin tahu barang apa saja yang dimiliki oleh sang suami yang mungkin bisa digunakan untuk mendekatkan dirinya dengan laki-laki itu. Namun, keheningan menggantung di antara mereka. Ghaidan tampak tidak suka saat melihat Hyra memegang gambar itu. Bergegas perempuan itu berdiri dan meletakkan gambar coretan Ghaidan saat masih kecil di atas tempat tidur dengan hati-hati, seolah-olah takut merusak sesuatu yang rapuh. Ibarat menjaga guci porselen yang harganya ratusan juta rupiah agar tidak jatuh dan pecah berkeping-keping. “Tadi siang, aku... aku ke panti asuhan Harapan Mulia,” ujar Nadine
Hyra segera menunduk dengan sopan dan berkata, “Saya Hyra, istri Mas Ghaidan Sumitra. Dulu suami saya pernah tinggal di sini waktu dia masih kecil dan diadopsi oleh keluarga Sumitra.” Wajah Bu Rahayu langsung berubah terlihat begitu bersemangat, saat Hyra menyebut nama Ghaidan. “Oh, Ghaidan… sudah lama dia nggak ke sini, biasanya dia main ke sini. Ternyata sudah punya istri sekarang.” “Iya, Bu. Mungkin Mas Ghaidan terlalu sibuk, jadi belum sempat mampir. Bu Sumitra juga cerita kalau mas Ghaidan sering ke sini, bahkan keluarga mereka adalah donatur tetap panti ini.” “Iya betul! Ayoo.. ayo duduk! Ternyata ini istrinya Ghaidan... anak yang tidak pernah saya lupa,” ujar Bu Rahayu sambil mempersilakan Hyra duduk di ruang tamu panti yang sederhana, dengan aroma kayu tua dan lukisan anak-anak di dinding. “Terima kasih,” balas Hyra sambil menghempaskan tubuhnya di sofa seraya berkata, “Oh iya, ini ada sedikit hadiah untuk anak-anak dari kami sekeluarga dan Bu Sumitra juga titip pes
Malam itu, Hyra tidak langsung tidur, pikirannya masih melayang memikirkan Ghaidan. Saat itu ia sedang duduk termenung di balkon kamar sendirian. Ghaidan tidak ada di sana, mungkin sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja yang menjadi tempat favouritenya ahir-akhir ini. Angin malam menyapu rambut Hyra yang panjang, dipandanginya halaman belakang rumah keluarga Sumitra yang sunyi, hanya suara hewan malam yang terdengar, sementara suara lalu lalang kendaraan terdengar jauh di sana. “Aku masih punya waktu seminggu, sebelum terbang ke Singapura,” gumam Hyra sambil berpikir serius “aku harus mencari tahu, apa yang sebenarnya membuat Mas Ghaidan seperti itu? Kalau ini berkaitan dengan masa lalunya, aku harus mencari tahu dari Bu Sumitra, aku juga harus mencari tahu di panti asuhan mana dia tinggal saat itu?” Hyra sudah bertekad untuk mencari tahu tentang masa lalu Ghaidan, juga tentang luka yang disembunyikan suaminya selama ini.” *** Keesokan pagi, Setela







