Share

DALAM DEKAPAN WANITA MALAM
DALAM DEKAPAN WANITA MALAM
Penulis: Nur Melati

Keyra Si Wanita Malam

Ini kisah tentang Key, gadis berparas sempurna yang berakhir dengan menjual dirinya. Kulit putih mulusnya harus dengan rela dijamah banyak pria, bibir tipis kemerahan itu harus dengan menggoda tersenyum kepada calon pelanggan-pelanggan di bar murahan itu. Tidak. Ini bukan tentang rutinitas malam si gadis murahan, ini kisah tentang Key, yang mencari setitik kedamaian, yang merindukan malam-malam penuh ketenangan, hingga sosok mungil yang dia temukan di aantara tumpukan sampah itu mengubah cara dia memandang.

Key masih duduk santai menunggu langganan datang, tadi sudah mendapat pesan singkat dari Mami Yulia kalau ada tamu yang memesannya. Lelah menunggu, Key mengambil sebatang rokok yang tergeletak di meja, menyulutnya santai lalu menikmati setiap detik racun padat itu membunuhnya perlahan.

“Belum datang, Mbak Key?” Johan bertanya sembari meletakkan minuman di depan Key. Bartender baru itu selalu ramah seperti biasanya. Menyapa santun tanpa menggoda, tidak seperti pria-pria kebanyakan di sana.

Key mengangguk, menikmati bising musik yang diputar tanpa kenal waktu. “Mungkin lagi nyari alesan ke istri.”

Johan terkekeh. “Ya sudah, Mbak Key nunggu di sini aja.”

“Mau kemana, Jo?” tanya Key saat melihat Johan hendak meninggalkan meja bar.

Johan tak menjawab, hanya memberi senyum sekilas dan pergi. Key tak ambil pusing, tak penting. Lalu tak lama seorang wanita paruh baya datang menemui Key, aroma parfum menyengat menguar begitu sosok itu tiba di hadapan. Setengah berteriak pada telinga Key, “Cancel, Key. Orangnya kena serangan jantung.”

Keyra mengernyitkan dahi, seolah bertanya pada diri sendiri, “Apa aku tidak salah dengar?”

“Lu boleh pulang, uang mukanya Lu ambil besok di ruangan gue.” Wanita setengah baya itu berteriak, mengimbangi suara bising di bangunan yang penuh dengan aroma bir murahan.

Key kecewa. Itu artinya bayarannya hanya separuh dari perjanjan saja. gadis itu melempar puntung rokok ke jalanan, asal. Mendengkus pelan, menggerutu sepanjang perjalanan menuju pulang. Namun, langkahnya terhenti saat pendengarannya menangkap sebuah suara asing. Jantungnya berdegup cepat, antara takut dan penasaran yang menyergap dalam waktu bersamaan.

Keyra mendekati tumpukan tong sampah di pinggir bangunan tua. Suara itu semakin terdengan jelas dan nyata. Sebuha suara tangis kecil, terisak lelah sepertinya, serak dan hampir kehabisan suara. Tangis bayi. Ya, ini tangis bayi.

Keyra bergesan membongkar tumpukan plastik-plastik hitam. Mengabaikan bau menyengat yang menyergap. Abai pada lelehan air yang menggenang di sekitarnya. Lalu matanya membelalak ketika membuka kardus bekas kemasan mie instan yang tertumpuk di bawah. Bayi itu masih hidup, menangis tanpa henti dengan suara serak yang membuat pilu hati.

Keyra ragu dengan apa yang harus dilakukannya. Namun lihatlah, tangan itu meraih tubuh kecil di dalam kardus, kemudian menimangnya. Membawanya pergi dari sana.

Tangis bayi itu tak reda meski Keyra berusaha keras menenangkannya. Pulang ke rumah kumuh miliknya, Keyra menidurkan sosok itu di busa lepek tempat biasa dia merebahkan tubuh. Kerya benar-benar tak tahu, sejenak menyesali tindakannya yang membawa bayi itu pulang alih-alih membawanya ke kantor polisi terdekat.

“Duh, kamu kok nggak diem-diem, sih? Kamu makan apa biasanya? Atau mau minum teh manis aja?” keyra meraih kembali tubuh bayi itu. Sementara tangisnya makin kencang, makin terdengar menyiksa hati dan pendengaran.

Tiba-tiba pintu rumahnya digedor keras dari luar. Keyra yang masih menggendong bayi kecil itu berlari dan membuka pintu.

“Key, Lu kapan punya bayi? Brojol semalem?” suara Parto, tukang ojek langganan yang juga bertetangga dengannya.

“Gila, Lu, ini bayi dapet nemu tadi di deket markas. Kasihan, makanya gue bawa pulang.” Keyra masih menimang bayi kecil itu.

“Dia laper, tuh, Key, kasih susu atau bubur aja, gih. Nangisnya kedengeran sampai kamar gue. Brisik. Besok kudu narik pagi-pagi.” Parto mengeluh lagi. Lalu meninggalkan Keyra sendiri.

Tidak. Mereka terlalu malas mengurus urusan orang lain, terlebih urusan rumit yang melibatkkan kemanusiaan. Bagi Parto dan kebanyakan penduduk di lingkungan kumuh itu, hidup adalah urusan waktu, bagaimana bergelut dengan detik yang semakin berlalu sembari mengenyangkan perut. Urusan iba, urusan peduli, urusan kemanusiaan, nanti-nanti jika hati mereka terketuk nurani.

Keyra hampir menangis saat mendengar suara tangis bayi itu semakin menghilang. Sedari tadi air matanya tak keluar meski tangisnya terdengar kencang. Keyra buru-buru menuang air ke dalma gelas, lalu menyuapkannya ke mulut si bayi dengan sendok. Bayi itu mengecap, setetas air yang Key suapkan berhasil tertelan. Lagi. Suapan demi suapan Key berikan. Hingga bayi itu tenang.

Keyra lelah. Namun, hatinya belum ingin berhenti peduli. Gadis itu pergi, membawa serta bayi itu dengannya, menggendongnya sedemikian rupa dengan kain jarik peninggalan ibunya. Susah payah mengingat bagaimana dia menggendong bayi boneka sewaktu kecil dulu. Lucu, karena kainnya diikat simpul di pundak, setidaknya bayi itu tidak terjatuh dan terlepas.

Dengan sisa uang yang dia punya, hasil mencari di seluruh rumah, di bawah bantal, di bawah pakaian yang terlipat di lemar, Keyra pergi ke toko di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Mencari botol susu, susu formula dan beberapa biskuit bayi.

“Mbak, boleh korting, nggak? Ini bayi saya nemu di sana, noh. Kasian, kalau mbaknya ngasih kortingan,ntar si bayi ngedoa-in yang baek-baek ke mbaknya.” Keyra berseru dengan yakin sembari meletakkan belanjaan di meja kasir.

Kasir itu mengangguk. Bukan menyetujui permintaan Keyra, hanya saja tak mengerti harus menjawab cerocosan gadis itu dengan jawaban apa. Toh, siapa pula yang akan percaya dengan bualan Keyra? Banyak yang lebih sadis menggunakan bayi demi mencari untung, dan bagi gadis kasir itu, Keyra hanya salah satunya.

Keyra mengeluh kesal karena harga yang mahal. Tidak menyesal, hanya tidak terima dengan kegagalannya menawar harga.

Keyra pulang, melanjutkan acara mengurus bayi yang dia temukan. Membuatkan susu formula, kemudian memberikannya kepada bayi itu. Lihatlah, mulut mungilnya lahap menyantap, menyedot susu dari botol kecil itu dengan sisa isakan yang sesekali terdengar.

Keyra bertanya-tanya dalam hati, mengapa dia justru membawanya kemari. Matanya mengawasi gerak lucu si bayi yang masih lahap menikmasi susu pengganti asi, air mata Keyra menetes satu-satu, entah apa yang memasuki matanya. Dia hanya menangis, tanpa tahu alasannya.

Satu hal yang tidak Keyra tahu. Bahwa itulah cinta pada pandangan pertama, cinta yang mengetuk pintu kemanusiaan dalam hatinya, membimbing langkah dan tangannya untuk merawat makhluk kecil tak berdosa yang ditemukannya. Keyra tak tahu, karena baginya, hanya mengikuti bisikan nurani.

Saat sedang asik mengagumi makhluk kecil lucu di gendongannya, Keyra tiba-tiba mematung, menghentikan acara menimang yang sedari tadi dia lakukan. Bukan karena lelah, tiba-tiba saja tangannya terasa basah oleh cairang hangat.

Keyra menatap bayi itu, tersenyum palsu. “Kamu ngompol?”

Lagi. Keyra mengutuk diri karena lupa membeli popok sekali pakai. Tak ada uang tersisa, sementara bayarannya masih tertahan di tangan germo bernama Yulia, Keyra terpaksa menyobek beberapa kaus lama, menjadikannya popok sementara.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ast Briast
Waaa bagus bgt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status