Share

Ayahnya Siapa?

Keyra akhirnya bisa merebahkan tubuhnya dengan sempurna. Dengan segala lelah yang masih tersisa setelah sibuk menenangkan bayi kecil yang tadi ditemukannya. Gadis itu berbaring di sebelah sosok mungil di sebelahnya. Menatap wajah damai bayi perempuan yang dia temukan tadi dengan air mata mengalir tak henti. Duhai, lihatlah wajah tak berdosa ini, siapa manusia tak berhati yang tega meletakkannya di antara tumpukan sampah?

Keyra mendengkus, menyeka air matanya dengan jari telunjuk. Keyra sadar betul dirinya tak pantas mengutuk dosa orang lain, tak layak pula mendosa-kan orang lain atas kesalahannya mengingat dirinya sendiri adalah perempuan hina. Gadis kotor yang membuang jauh harga dirinya, menukarkan dengan segenggam harta demi kelangsungan hidup.

“Mungkin orang yang membuangmu juga punya alasan mengapa melakukannya, Nak. Kamu sekarang ikut Tante dulu, besok kita pikirin caranya bertahan hidup.” Keyra berujar sembari membelai lembut pipi mulus bayi itu.

Benar saja. keesokan paginya Keyra bangun dengan aura yang berbeda. Ada sejuta kesibukan yang seolah menunggu diperjuangkan sekuat tenaga. Bayi kecil itu amat pintar. Tak banyak menyusahkan Keyra. Setelah memandikan bayi perempuan manis itu, Keyra mengajaknya ke rumah Yulia, germo sekaligus pemilik tempat hiburan tepat dia berjualan.

Keyra mengusap pipi gembil bayi di gendongannya. Sepanjang jalan terus mengagumi makhluk mungil yang dia bawa. Sesekali menjawab sapaan orang-orang ramah yang berada di lingkungan tempat tinggalnya. Ada yang bertanya asal muasal bayi yang Keyra bawa, dijawab asal dan nakal. “Dapet mecah batu semalem.” Atau dengan candaan lain, “Semalem bersin, keluar bayi.”

Mereka tak ambil pusing. Orang-orang di lingkungan tempat tinggal Keyra tak punya banyak waktu untuk mengurus kehidupan orang lain. Bagi mereka, urusan perut dan menyambung hidup lebih utama. Soal menggunjing dan mencela orang, nanti-nanti ada waktunya.

Setibanya di rumah Yulia yang letaknya tak jauh dari tempat hiburan malam tempat Keyra ‘berjualan’ itu, gadis itu harus menelan kecewa. Yulia sedang tidak ada di tempat. Tukang kebun di rumah besar itu mengatakan Yulia sedang pergi keluar menemui ‘klien’.

Tak sabar menunggu, Keyra memutuskan pergi dari tempat itu setelah memberanikan diri meminjam uang kepada pria yang berada di rumah Yulia itu.

“Pak, kasih pinjem duit boleh, nggak? Nanti kalau Mamy udah pulang, uangnya aku ganti,” pinta Keyra pada pria paruh baya yang bekerja pada Yulia.

Pria itu senang hati meminjamkannya, terlebih saat mengetahui jika uangnya akan digunakan untuk membeli keperluan bayi. Keyra menyempatkan diri menjelaskan kronolgi ditemukannya bayi perempuan itu kepada Pak Kadir.

“Kenapa ndak dibawa ke panti asuhan saja, Mbak Key? Di ujung jalan sana ada panti asuhan.” Pak kadir memberi usulan.

Keyra tampak berpikir sejenak. “Nanti, deh, Key pikirin. Yang penting sekarang anak ini nggak terlantar.”

Pak Kadir tersenyum. ada setitik air yang mengambang di ujung netra. Duhai lihatlah, bahkan wanita yang dipandang kotor oleh dunia ini masih memiliki sisi lain yang begitu indah. Sisi kemanusiaan yang masih bertahan di saat manusia lain mengabaikan. Nuraninya tak mati, meski kehidupannya berselimut noda.

Perempuan malam di hadapannya membuktikan jika masih ada kebaikan yang tersisa.

Keyra pun pergi ke toko perlengkapan bayi, membeli beberapa helai pakaian yang harganya paling murah, juga peralatan mandi dan popok sekali pakai yang lansung dipakaikan di tempat.

Keyra mahir memakaikan popok dan segala peranti di tubuh bayi itu. Membuat beberapa pegawai di toko itu berdecak kagum. “Wah, ibu muda yang pandai, ya. Biasanya ibu-ibu muda lain pada ngajak mertua atau ibu kandung mereka, loh, Mbak, buat bantuin ngurus. Lah, ini si Mbak udah mahir aja.”

Keyra hanya tersenyum mendengar pujian itu. Bagaimana tak pandai? Dulu sering membantu ibunya mengurus anak tetangga yang dititipkan pada mereka. Para ibu yang harus bekerja menggunakan jasa ibu Keyra untuk merawat anak-anak mereka. Itu dulu, sebelum kecelakaan tragis itu merenggut nyawa ibu Keyra.

“Ayahnya kerja, ya, Mbak? Kok sendirian aja? Namanya siapa manis, utututututu,” tanya ramah seorang pramuniaga pria yang baru saja menghampirinya. Menoel gemas pipi bayi manis itu.

Keyra tak tahu harus menjawab apa. Justru pertanyaan pria muda di sebelahnya itu menyadarkan Keyra bahwa bayi kecil itu butuh orang tua sempurna, butuh sosok nyata, terleih lagi butun nama.

“Nama, ya? Uhmm, namanya Siti aja, deh, gimana?” Pertanyaan konyol itu yang justru keluar dari mulut Keyra, matanya menerawang, masih berusaha mencari nama lain yang sesuai dengan anak itu.

Sementara para karyawan toko di sebelahnya saling pandang, saling bertanya melalui kedipan mata. Sebagian sibuk berprasangka. ‘Apa jangan-jangan bayi ini duculik?’

Keyra menyerah. Soal nama bisa dipikirkan nanti. Gadis itu melenggang pergi setelah membayar belanjaanya.

Perut Keyra terasa perih, baru teringat jika belum makan sejak semalam. Keyra akhirnya memutuskan untuk mampir di warung makan tak jauh dari sana.

Memesan nasi rames dengan lauk ekstra. Lalu, duduk di salah sau bangku plastik di sudut ruangan.

“Keyra?” sapa sebuah suara.

Keyra menoleh. Suara itu terdengar begitu familiar, tak asing di pendengaran. Dia Bimo, pria yang pernah menggunakan jasanya. Itu sudah lama sekali, bahkan Keyra hampir saja lupa.

“Anak kamu?” Bimo bertanya, menyusul duduk di sebelah Keyra.

Keyra tak punya pilihan selain mengangguk.

“Ayahnya siapa?”

Keyra menghela napas. Lelah. Pertanyaan itu terlalu sulit untuk dipecahkan jawabannya. “Mas, kamu mau nggak jadi bapaknya?”

Bimo yang baru saja menyeruput the hangatnya tersedak seketika. Pria itu menatap Keyra dengan tatapan yang ... entahlah, sukar dijelaskan. Sejak pertama kali bertemu dengan Keyra di Bar murahan itu, Bimo merasakan debar tak biasa.

Meski tahu Keyra perempuan hina, kotor karena pekerjaannya. Niki sukar mengenyahkan rasa yang telanjur menjalar dalam dada. Malam itu saat Bimo menyewa Keyra, setiap sentuhan yang dia berikan benar-benar sepenuh perasaan. Bimo tak sekadar menikmati pelayanan Keyra di atas ranjang. Pria itu benar-benar terpesona, dari hati.

Kini Bimo tahu mengapa perasaan itu tumbuh dan menjalar. Karena Keyra punya hati sebening permata. Tak peduli jika banyak Pria yang telah menjamahnya, Bimo tetap suka.

Meskipun akhirnya, pria itu tetap memilih bungkam. Menyimpan perasaan tanpa mengungkapkan.

Tak lama Johan datang, terheran melihat pemandangan itu. “Mbak Keyra, anak siapa ini?”

Lagi. Keyra tak tahu harus merumuskan persoalan itu dengan rumus yang mana. Penjelasan panjang terlalu menguras tenaga, sementara perutnya sudah meronta.

“Jo, nanti aja deh nanyanya. Gue lagi laper.”

Keyra menyantap sarapannya, sesekali memegangi botol susu saat bayi kecil itu menangis karena lapar. Johan dan Bimo terdiam, juga menikmati sarapan meski dengan beribu tanya yang masih mengambang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ast Briast
Keren banget pokoknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status