Keyra akhirnya bisa merebahkan tubuhnya dengan sempurna. Dengan segala lelah yang masih tersisa setelah sibuk menenangkan bayi kecil yang tadi ditemukannya. Gadis itu berbaring di sebelah sosok mungil di sebelahnya. Menatap wajah damai bayi perempuan yang dia temukan tadi dengan air mata mengalir tak henti. Duhai, lihatlah wajah tak berdosa ini, siapa manusia tak berhati yang tega meletakkannya di antara tumpukan sampah?
Keyra mendengkus, menyeka air matanya dengan jari telunjuk. Keyra sadar betul dirinya tak pantas mengutuk dosa orang lain, tak layak pula mendosa-kan orang lain atas kesalahannya mengingat dirinya sendiri adalah perempuan hina. Gadis kotor yang membuang jauh harga dirinya, menukarkan dengan segenggam harta demi kelangsungan hidup.
“Mungkin orang yang membuangmu juga punya alasan mengapa melakukannya, Nak. Kamu sekarang ikut Tante dulu, besok kita pikirin caranya bertahan hidup.” Keyra berujar sembari membelai lembut pipi mulus bayi itu.
Benar saja. keesokan paginya Keyra bangun dengan aura yang berbeda. Ada sejuta kesibukan yang seolah menunggu diperjuangkan sekuat tenaga. Bayi kecil itu amat pintar. Tak banyak menyusahkan Keyra. Setelah memandikan bayi perempuan manis itu, Keyra mengajaknya ke rumah Yulia, germo sekaligus pemilik tempat hiburan tepat dia berjualan.
Keyra mengusap pipi gembil bayi di gendongannya. Sepanjang jalan terus mengagumi makhluk mungil yang dia bawa. Sesekali menjawab sapaan orang-orang ramah yang berada di lingkungan tempat tinggalnya. Ada yang bertanya asal muasal bayi yang Keyra bawa, dijawab asal dan nakal. “Dapet mecah batu semalem.” Atau dengan candaan lain, “Semalem bersin, keluar bayi.”
Mereka tak ambil pusing. Orang-orang di lingkungan tempat tinggal Keyra tak punya banyak waktu untuk mengurus kehidupan orang lain. Bagi mereka, urusan perut dan menyambung hidup lebih utama. Soal menggunjing dan mencela orang, nanti-nanti ada waktunya.
Setibanya di rumah Yulia yang letaknya tak jauh dari tempat hiburan malam tempat Keyra ‘berjualan’ itu, gadis itu harus menelan kecewa. Yulia sedang tidak ada di tempat. Tukang kebun di rumah besar itu mengatakan Yulia sedang pergi keluar menemui ‘klien’.
Tak sabar menunggu, Keyra memutuskan pergi dari tempat itu setelah memberanikan diri meminjam uang kepada pria yang berada di rumah Yulia itu.
“Pak, kasih pinjem duit boleh, nggak? Nanti kalau Mamy udah pulang, uangnya aku ganti,” pinta Keyra pada pria paruh baya yang bekerja pada Yulia.
Pria itu senang hati meminjamkannya, terlebih saat mengetahui jika uangnya akan digunakan untuk membeli keperluan bayi. Keyra menyempatkan diri menjelaskan kronolgi ditemukannya bayi perempuan itu kepada Pak Kadir.
“Kenapa ndak dibawa ke panti asuhan saja, Mbak Key? Di ujung jalan sana ada panti asuhan.” Pak kadir memberi usulan.
Keyra tampak berpikir sejenak. “Nanti, deh, Key pikirin. Yang penting sekarang anak ini nggak terlantar.”
Pak Kadir tersenyum. ada setitik air yang mengambang di ujung netra. Duhai lihatlah, bahkan wanita yang dipandang kotor oleh dunia ini masih memiliki sisi lain yang begitu indah. Sisi kemanusiaan yang masih bertahan di saat manusia lain mengabaikan. Nuraninya tak mati, meski kehidupannya berselimut noda.
Perempuan malam di hadapannya membuktikan jika masih ada kebaikan yang tersisa.
Keyra pun pergi ke toko perlengkapan bayi, membeli beberapa helai pakaian yang harganya paling murah, juga peralatan mandi dan popok sekali pakai yang lansung dipakaikan di tempat.
Keyra mahir memakaikan popok dan segala peranti di tubuh bayi itu. Membuat beberapa pegawai di toko itu berdecak kagum. “Wah, ibu muda yang pandai, ya. Biasanya ibu-ibu muda lain pada ngajak mertua atau ibu kandung mereka, loh, Mbak, buat bantuin ngurus. Lah, ini si Mbak udah mahir aja.”
Keyra hanya tersenyum mendengar pujian itu. Bagaimana tak pandai? Dulu sering membantu ibunya mengurus anak tetangga yang dititipkan pada mereka. Para ibu yang harus bekerja menggunakan jasa ibu Keyra untuk merawat anak-anak mereka. Itu dulu, sebelum kecelakaan tragis itu merenggut nyawa ibu Keyra.
“Ayahnya kerja, ya, Mbak? Kok sendirian aja? Namanya siapa manis, utututututu,” tanya ramah seorang pramuniaga pria yang baru saja menghampirinya. Menoel gemas pipi bayi manis itu.
Keyra tak tahu harus menjawab apa. Justru pertanyaan pria muda di sebelahnya itu menyadarkan Keyra bahwa bayi kecil itu butuh orang tua sempurna, butuh sosok nyata, terleih lagi butun nama.
“Nama, ya? Uhmm, namanya Siti aja, deh, gimana?” Pertanyaan konyol itu yang justru keluar dari mulut Keyra, matanya menerawang, masih berusaha mencari nama lain yang sesuai dengan anak itu.
Sementara para karyawan toko di sebelahnya saling pandang, saling bertanya melalui kedipan mata. Sebagian sibuk berprasangka. ‘Apa jangan-jangan bayi ini duculik?’
Keyra menyerah. Soal nama bisa dipikirkan nanti. Gadis itu melenggang pergi setelah membayar belanjaanya.
Perut Keyra terasa perih, baru teringat jika belum makan sejak semalam. Keyra akhirnya memutuskan untuk mampir di warung makan tak jauh dari sana.
Memesan nasi rames dengan lauk ekstra. Lalu, duduk di salah sau bangku plastik di sudut ruangan.
“Keyra?” sapa sebuah suara.
Keyra menoleh. Suara itu terdengar begitu familiar, tak asing di pendengaran. Dia Bimo, pria yang pernah menggunakan jasanya. Itu sudah lama sekali, bahkan Keyra hampir saja lupa.
“Anak kamu?” Bimo bertanya, menyusul duduk di sebelah Keyra.
Keyra tak punya pilihan selain mengangguk.
“Ayahnya siapa?”
Keyra menghela napas. Lelah. Pertanyaan itu terlalu sulit untuk dipecahkan jawabannya. “Mas, kamu mau nggak jadi bapaknya?”
Bimo yang baru saja menyeruput the hangatnya tersedak seketika. Pria itu menatap Keyra dengan tatapan yang ... entahlah, sukar dijelaskan. Sejak pertama kali bertemu dengan Keyra di Bar murahan itu, Bimo merasakan debar tak biasa.
Meski tahu Keyra perempuan hina, kotor karena pekerjaannya. Niki sukar mengenyahkan rasa yang telanjur menjalar dalam dada. Malam itu saat Bimo menyewa Keyra, setiap sentuhan yang dia berikan benar-benar sepenuh perasaan. Bimo tak sekadar menikmati pelayanan Keyra di atas ranjang. Pria itu benar-benar terpesona, dari hati.
Kini Bimo tahu mengapa perasaan itu tumbuh dan menjalar. Karena Keyra punya hati sebening permata. Tak peduli jika banyak Pria yang telah menjamahnya, Bimo tetap suka.
Meskipun akhirnya, pria itu tetap memilih bungkam. Menyimpan perasaan tanpa mengungkapkan.
Tak lama Johan datang, terheran melihat pemandangan itu. “Mbak Keyra, anak siapa ini?”
Lagi. Keyra tak tahu harus merumuskan persoalan itu dengan rumus yang mana. Penjelasan panjang terlalu menguras tenaga, sementara perutnya sudah meronta.
“Jo, nanti aja deh nanyanya. Gue lagi laper.”
Keyra menyantap sarapannya, sesekali memegangi botol susu saat bayi kecil itu menangis karena lapar. Johan dan Bimo terdiam, juga menikmati sarapan meski dengan beribu tanya yang masih mengambang.
Perempuan itu duduk bersila di emperan toko, tangannya sibuk mendekap bayi kecil di pangkuannya. Matanya tak henti menangis, kesal pada diri sendiri. Kesal pada takdir yang begitu kejam mempermainkannya.Bukan masalah jika orang-orang membencinya. Menyumpahi dia dengan kalimat buruk dan kotor tiada berjeda. Keyra akan terima. Tapi hari ini, mereka berbuat keji pada seorang bayi.Seminggu sudah Keyra merawat bayi itu. Bayi cantik yang diberi nama Naina. Sejumlah uang yang harusnya dibayarkan padanya ditahan oleh Yulia. Alasannya tentu saja karena Keyra membawa serta bayi itu saat menghadap."Bawa ke panti asuhan aja, Key. Atau juak tuh bayi sama orang. Lu itu udah susah, jangan nambahin beban!" teriak Yulia padanya siang itu.Keyra terhenyak. Wanita itu biasanya lembut padanya, bertutur kata semanis gula. Namun, saat Keyra menyatakan bahwa dia akan mengurus dan merawat bayi itu, Yulia mendadak murka.
Damar terbangun seperti biasanya. Melakukan olahraga ringan seperti pagi-pagi yang sudah-sudah. Hanya saja pagi itu, ada aroma lain di rumahnya yang megah. Wewangian khas bayi dari dalam kamar sebelah, Damar menyeret langkahnya, perlahan menengok asal harum yang begitu menenangkan jiwa.Keyra sedang mendandani bayi kecil itu. Bayi Naina tertawa riang, renyah menanggapi gelitikan di perut gembulnya.Damar mendekat, ikut terkekeh melihat tawa riang Naina. "Namanya siapa?"Keyra terhenyak, segera menarik kesadaran dan menjawab terbata, "Na-Naina, Mas."Damar mengangguk. "Nanti kalau mau makan ambil aja apa yang ada di kulkas, aku jarang masak, jadi kebanyakan buah dan makanan langsung jadi."Keyra mengangguk mengerti.Damar hendak pergi saat tangannya ditahan oleh Keyra. Perempuan itu mencekal lengan kokoh Damar. Membuat pria itu kembali menoleh ke belakang. Menatap kedua mata Keyra yang berkaca-kaca."Astaga, Ibuk kenapa?" Damar beralih
Damar menata hati. Sekuat tenaga mengontrol emosi yang tak terkendali. Sementara Keyra sibuk menyeka wajahnya, membersihkan air yang disemburkan Damar ke muka cantiknya.“Mas Damar apa-apaan, sih? Basah, kan, jadinya,” sungut Keyra dengan nada manja, yang jika didengar oleh lelaki normla pada umumnya akan menimbulkan gejolak liar pembangkit harap biologisnya. Namun, ini Damar. Pria dengan masa lalu menyakitkan dan membenci perasaan itu datang.“Ma-maaf, Key. Abisnya kamu ngomong ngawur gitu.” Damar tak kalah kesal sebenarnya, hanya saja dia bisa mengontrol intonasi bicaranya.Keyra menghela napas. “Mas, aku nggak mungkin, kan, nyusahin kamu terus-terusan? Aku juga pengin bales kebaikan kamu.” Entah sejak kapan pembicaraan mereka senyaman itu.Damar meremas rambutnya cemas. “Tapi nggak harus gini juga, Key. Kamu nggak mikirin Naina?”
Damar mematung menatap lukisan di dinding ruangannya. Jera. Luka lama itu masih saja menyakitkan bahkan hanya dengan meatap lukisan tanpa nyawa yang tergantung di dinding ruangannya. Lukisan yang menjadi hadiah perpisahan dengan wanita tercintanya.Siang itu, Damar hendak menemui kekasihnya, mengejutkannya dengan kedatangan yang tiba-tiba. Lelaki itu menyempatkan membeli seikat mawar merah untuk kekasihnya. Kemudian berjalan penuh debar cinta menuju apartemen. Damar terlalu bahagia, membuka pintu yang juga dia tahu kombiasi angka pembukanya. Lalu, betapa remuk hatinya saat mendapati sang kekasih sedang ditindih penuh hasrat oleh seorang pria. Mereka sempurna tanpa busana, mengkilap keringat di tubuh mereka, sama-sama menikmati bahasa cinta yang membara.“Joy?” Damar menjatuhkan bunga di tangan. Lama mematung memindai pemandangan penuh luka di depan mata.Aktivitas Joy dan pria lain itu terhenti. Keduanya sibuk memunguti pakaian masing-masing. Kemudia
Part 7Damar mondar-mandir di sebuah toko pakaian. Setelah yakin membeli beberapa pakaian dia memutuskan untuk segera pulang. Beberapa potong pakaian harian sengaja dia belikan untuk Keyra, karena seingat Damar Keyra hanya mengenakan dua pakaian bergantian. Senyum semringah seketika terpancar di wajah Damar saat membayangkan tanggapan Keyra atas hadiahnya. Lelaki itu pun tak sabar berjalan ke kasir dan membayar belanjaannya.Namun, baru saja Damar hendak berbalik, dia dikejutkan dengan sosok yang mengante tepat setelahnya. Kedua mata mereka beradu, seolah saling membahasakan rindu. Damar terpaku, pun dengan sosok itu. Mereka terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kasir meminta mereka untuk menepi karena mengganggu pelanggan lain yang mengantre.Duduk di bangku Kafe bernuansa modern, Damar memesan latte tanpa gula, seperti hendak menyamakan dengan nasibnya yang terasa pahit begitu berjumpa dengan sosok di hadapannya. Joya.“Apa kabar, M
“Mas, tumben pulang awal?” Keyra menghampiri Damar yang duduk di sofa panjang ruang tamu. Naina sudah terlelap setelah Keyra membuatkan susu dan menimangnya beberapa saat yang lalu.“Iya, Key. Naina udah tidur?”Keyra mengangguk. Duduk di sebelah Damar yang menatap layar ponselnya.Hening.Ruang tamu rumah Damar terasa kian sunyi. Bahkan keduanya seolah bisa mendengar detak jantung masing-masing. Bagi Keyra yang biasa menjajakan raganya, berhadapan dengan pria seperti saat ini harusnya bukan hal baru. Namun, sungguh, lihatlah wajah pucat perempuan itu, terpancar jelas gugup dan risau datang menyergap bersamaan, tergambar jelas bagaimana jiwa mudanya meronta mendamba cinta."Mas …." Keyra mendekat, jarak mereka kini tak bersekat.Damar bukannya tak ingin, Damar bukannya tak suka. Pria itu susah-payah menahan gejolak kelelakiannya yang pun meronta melihat paras ayu Keyra.
Dan begitulah cinta memulai perjalanannya. Dua insan itu bukan lagi remaja yang aru kemarin sore menyelam rasa, memaknai merah jambu di hati mereka secara amatiran. Bukan. Mereka adalah orang-orang dewasa yang telah paham betapa hati dan cinta bukan perkara sederhana.Namun, bagi Damar yang baru saja berselang jam dipertemukan dengan masa lalu menyakitkannnya, kehadiran Keyra mau tidak mau memberi efek padanya.“Maaf, Key. Aku … aku nggak bermaksud buat nyium kamu tadi. Cuma … Cuma kamu kenapa bisa ngomong ngawur kayak gitu, sih?” Damar memegangi kepalanya. Tampak raut bersalah dan bingung tergambar jelas di wajahnya.Berbeda dengan Keyra yang justru tersenyum malu-malu. Tersenyum penuh bahagia di sudut sofa yang satunya. Sengaja pindah tempat duduk agar puas melihat wajah Damar yang tiba-tiba saja menjadi pria paling tampan sedunia.Damar menatap prihatin sekaligus kesal ke arah Keyra yang masih tersenyum sen
Joya kemudian menghambur ke dalam kesibukan pagi. Menyiapkan dua porsi bubur ayam untuk Damar dan dirinya. Sementara Keyra melanjutkan acara memasak yang sempat tertunda. Namun, sayangnya ada satu pasang mata yang masih menyala gelisah, menatap bergantian dua wanita yang sedang sibuk menyiapkan makanan.Damar kemudian menatap Joya dengan sorot tajam, seolah ingin menyampaikan sesuatu dengan berjuta keseriusan. “Joy, sebenernya Keyra ….”“Mas, Mbak, sarapannya mau ditambahin sama ayam goreng, nggak? Kebetulan ini ada ungkepan ayam di kulkas. Aku bikin kemarin.” Keyra sengaja memotong kalimat Damar.Damar menatap Keyra tak mengerti. Bukankah ada kesalahpahaman yang harus diluruskan? Damar hendak memberontak, bersiap meneruskan kebenaran tentang keberadaan Keyra yang bukan pembantu di rumah itu. Namun, Keyra menccegahnya. Memberi tatapan penuh permohonan dan iba. Membuat Damar luluh, batal mengatakan kebenaran demi melihat sorot mengi