Share

CDDB I versi Wira, part 3

Kita yang berhenti tepat ditengah-tengah tangga.

Terdiam...... Kita saling menatap wajah.

Terdengar gemericik air seolah ada orang lain selain kita dirumah ini.

Akan tetapi suara gemericiknya terasa sangat jelas, bahkan terasa sekali mengalir membasahi sepatu yang ku pakai.

Dengan rasa penasaran ku mencoba untuk melihat air apa yang mencoba menggenangi anak tangga yang kita pijak.

Seakan rasa penasaran menyelimutiku kala itu.

Aku pun berusaha untuk menoleh kebawah, dan ternyata benar..... ada genangan air yang mengalirnya sampai turun dari satu anak tangga ke anak tangga yang lainnya.

Aku yang penasaran mencoba menelisik lebih jauh dari mana air itu berasal.

Dan..... Aku pun bertanya sama Roy "Eh, Roy. Kamu ngompol?"

"Eh kam...t ini tuh bukan ompol, ini tuh keringat tahu." Ujar Roy menjelaskan.

"Tapi keringat kok bau pesing." balasku sambil mengibas-kibaskan tangan kearah hidung.

"Udah yok, lanjut." lanjutku menantang dan Roy pun membalas tantanganku seraya berucap "Ayo, siapa takut!"

Setibanya dilantai dua...

Di angsana terlihat lebih gelap daripada di bawah.

Terlihat debu yang begitu tebal menutupi semua lantai yang ada diruangan tersebut.

Di sini kita bingung harus ke mana dahulu. Kekanan, atau kekiri.

Posisi setelah tangga adalah lorong kosong yang panjang. Disamping sudut tembok berjejer sebuah jendela berukuran besar.

Dari situ kita bisa melihat dengan jelas posisi belakang rumah yang rimbun akan pepohonan.

Gelap tidak lagi menutupi, rembulan pun seakan tersenyum kembali.

Kita masih belum putuskan untuk pergi kearah mana...

Tiba-tiba....

Ada sesuatu berbentuk seperti bola, menggelinding dan berhenti di antara kaki kita.

Sesuatu yang awalnya terlihat seperti bola itu... ternyata adalah sebuah kepala..

Terlihat senyuman yang lebar dari wajah tersebut.

Senyuman yang lebar hampir memenuhi seluruh wajahnya.

Mulutnya yang begitu lebar, nyaris mendekati telinga.

Kaki kita bergetar hebat. Melangkah tak kuat. Mundurpun tak mampu.

Kita hanya Saling menatap, sambil menganggukan kepala kita memberikan kode untuk menutup mata.

"Roy... Roy... Sicingir sudah hilang belum Roy?" Tanyaku ke Roy. Saya memanggilkan Sicingir karena hantu kepala tersebut nyengir (senyum).

"Eh gila, loe aja kali yang lihat..." Jawab Roy yang masih ketakutan.

Aku pun bertanya lagi "Ya udah gini aja Roy, kita suit aja gimana?" Dan dijawab oleh Roy "Ayok, siapa takut."

Akhirnya kita suit... "Batu, kertas, gunting."

"Eh, siapa yang menang?" Roy bertanya. Dan saya pun menjawab "Gak tahu. Orang kita suitnya sambil merem, gimana si!"

Sambil menelan ludah dan saling mencolet kearah mata. Kita pun sepakat untuk membuka mata.

"Urusan kayak gini aja sampai kita berani membuka mata kita. Padahal tadi tidak ada satupun dari kita yang berani membukakan mata." gumamku dalam hati.

"Hore... Aku menang!" Ujarku tengah kegirangan... Yang langsung ditimpah sama Roy dengan sebuah pertanyaan "Eh, menang kalah emang ngaruh?"

Tanpa pikir panjang aku menjawab "Kan kalau aku menang, kamu yang membuka mata." "Ey... Ey... Sadar woy, gara-gara ini kita sudah membuka mata kita!" Ujar Roy

Kita berdua lagi-lagi menelan ludah "ceguk" sembari mencoba bersamaan melihat kearah bawah. Kearah kepala tersebut yang berada di antara kaki kita.

"Yaelah Roy... Roy.... Ternyata hanya sebuah bola yang dilukis sama anak-anak." Ujarku yang kemudian Roy pun berkata "Ya loe juga. Sama bola saja takut hahahahahaa".

Saat itu kita langsung tertawa dan mencoba untuk melupakan kejadian yang baru kita alami.

Akan tetapi dalam hati saya berpikir, "tidak mungkin kalau itu cuma halusinasi belaka. Kalau pun memang halusinasi mengapa harus kita berdua yang mengalaminya."

Tak lama berselang akhirnya kita sepakat untuk menelusuri lorong sebelah kanan. Terlihat ada dua pintu kamar disebalah kanan lorong yang kita telusuri.

Kita terdiam di antara dua kamar. Kamar mana yang akan kita masuki terlebih dahulu.

Terdengar ada suara perempuan yang sedang merintih. Suara rintihannya tepat berada dikamar satu.

Kita pun mencoba memberanikan diri untuk mencoba melihat kamar tersebut.

Terlihat ruangan kamar yang begitu luas dengan ranjang tepat diujung kamar dan ada jendela besar yang mengarah kearah depan.

Disudut kiri kamar, tampak ada kamar mandi yang pintunya terbuka. Kamar mandi yang usang dan kering menandakan sudah lama kamar mandi ini tidak terpakai.

Dipojokkan, di antara dua tembok dekat dengan jendela ada kursi goyang yang sudah usang. Diatasnya ditumbuhi jaring laba-laba yang memenuhinya sampai naik keatas.

Kita berjalan kearah jendela dekat kursi goyang sembari melihat pemandangan yang ada didepan rumah.

Terlihat mobil kita yang masih terparkir diluar gerbang.

Diruangan tersebut tidak ada yang aneh. Bahkan suara perempuan yang terdengar sebelum kita masuk tidak menampakkan wujudnya.

Akhirnya kita pun memutuskan untuk berjalan keluar dari kamar tersebut.

Baru sampai dipintu keluar, belum juga melangkahkan kaki.... Kami mendengar suara reotan dari kursi goyang yang digoyang-goyangkan seakan ada orang yang duduk diatasnya.

"Kreot... Kreot... Kreot...." Suara itu terdengar seperti demikian.

Lagi... Dan lagi... Kita kembali saling menatap dan mencoba berbalik melihat kearah kursi goyang tersebut.

Kita pun panik dan kaget karena terlihat ada sosok nenek-nenek tengah duduk dikursi goyang sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Nenek-nenek berkebaya merah. Persis seperti yang kita lihat dilukisan yang terletak diruang tengah lantai satu.

"Cu... Ono perlu opo koe wong loro marek nang panggonanku?" (Cu... Ada perlu apa kalian berdua ditempatku?) Ucap Nenek tersebut sambil membuka kedua tangannya yang sedari tadi menutupi wajah.

Terlihat kepala nenek tersebut turun kekanan seolah leher yang dia pakai buat menyanggah kepalanya tidak kuat untuk menahan beban kepala tersebut. Sampai terdengar suara "krek" ketika kepala tersebut jatuh dan ditahan oleh salah satu tangannya.

Sontak kami lari kalang kabut, menelusuri ruangan dan turun kebawah lewat anak tangga. Setibanya dipintu kami berhasil membuka pintu tersebut yang seakan tidak pernah dikunci, padahal tadinya tidak bisa dibuka sama sekali.

Kita langsung berlari keluar rumah menuju mobil.

Kita langsung masuk tanpa memedulikan apa pun.

Tancap gas dan langsung pulang.

Akan tetapi aroma weangian masih tercium sepanjang perjalanan.

Aroma wewangian dari barang yang ku bawah yang tak sempat saya meletakkannya kala itu.

Singkat cerita waktu sudah pagi. Aku pun berangkat kuliah dengan mata yang masih mengantuk.

Hari ini ada Dosen yang mengajar.

Roy juga masuk, dia duduk disebelahku dengan mata yang mengantuk pula.

Sunggguh terasa berat, seakan ada yang berayun di antara mata.

"Roy, Wira. Kalian boleh keluar dari ruangan ini!" Ucap Bu Dewi, Dosen yang waktu itu mengajar.

Akhirnya kita pun memutuskan untuk keluar.

"Huhhhhhhhhhh" terdengar riuh suara menyoraki kita berdua. Aku lihat mereka melihat kearah kita. tetapi lain halnya dengan Aisyah yang tidak melirik ke arah kita sedikitpun.

Setibannya kita dihalaman kampus, kita duduk disitu.

"Hoaaammmm..... Roy, tadi kita kan disorakin sama anak-anak dan mereka melirik kita.

Akan tetapi aku lihat, Aisyah tidak melirik sama sekali." Ujarku menjelaskan kepada Roy.

"Udah nih alamatnya, alamat dukun yang gue janjikan kemarin." Ucap Roy sambil memberikan selembaran kertas.

"Gak ah, ngapain. Mending kamu antar saja aku kerumahnya." Ucapku.

"Ah.. dasar loe gak mau susah." Jawab Roy sambil mendorong bahuku dan sesekali menguap.

Bersambung ... .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status