BAB 3
NOSTALGIA MASA KECIL ( 2)
Aku tak kuat menahan gelora rindu di dada, hingga tak lama kemudian lelehan sebening kristal mengucur deras di pipiku. Entah mengapa, kerinduan pada mereka muncul, menyeruak ke permukaan jiwaku. Ya, lama aku tak merasakan belaian lembut tangannya, mendengar nasehatnya, ataupun sekadar duduk-duduk sambil bersenda gurau bersama.
“Ya Allah, andai saja mereka ada di sisiku saat ini, mungkin aku tak akan sedewasa saat ini. Kupasrahkan segalanya padaMu ya Rabb-ku. Engkaulah yang Maha Mengetahui apa yang tidak kami ketahui. Kuikhlaskan mereka berdua bersamaMu.” Perlahan kuseka air mata, kudekap foto itu erat-erat dalam dada, sambil perlahan berbaring di atas ranjang.
*"Mbak! Dewi gak lagi mimpi 'kan? Kapan pulang? Kok gak kabar-kabar sih kalau mau pulang?" Suara Dewi, mengagetkan lelapku. Seketika aku terbelalak, lalu perlahan bangun. Kepalaku terasa sedikit berat. Namun terpaksa aku harus bangun karena belum salat dhuhur.
"Kok, kamu udah pulang, Dik?” tanyaku. Dewi duduk di tepi ranjang sambil diam menatapku. Dia tersenyum, dengan senyuman yang aku rindukan selalu. Bagai mimpi rasanya. Setelah bersalaman, Dewi memeluk erat tubuhku. Kami berdua berpelukan, air mata kami menitik bersamaan. Bahagia, karena bisa kembali berkumpul.
“Sekarang sudah jam satu, Mbak? Bukan pagi lagi, dan hari ini aku gak ada kegiatan lain, makanya aku segera pulang," jawab Dewi sambil mengesat air mata haruku.
"Kok mau pulang gak bilang-bilang, sengaja bikin kejutan, ya?" Kembali Dewi bertanya, dan aku hanya mengangguk pelan. “Tau aja kamu.”
“Siapa sih yang gak hafal sifat Mbak. Suka ngerjain dan suka bikin kejutan, hehe. Ngomong-ngomong, sekarang bawa kejutan apaan, Mbak?” selidik Dewi nakal.
“Gak ada, kok. Bu Sally sedang umroh, makanya aku pulang. Kangen sama kalian,” jawabku sambil memencet hidungnya.
“Alhamdulillah, ada yang kangen sama aku. Oya, Mbak sudah salat apa belum?”
"Belum Dik, mungkin aku kelelahan tadi, jadi tidurnya sangat pulas. Ya sudah, biar Mbak mandi, lalu salat yah," ucapku. Dewi mengangguk, lalu mengikuti langkahku keluar kamar. Setelah mandi dan salat, aku menengok dapur, ternyata Nenek telah selesai memasak."Wah, kapan masaknya Nek, kok aku gak dengar ada orang masak?” kataku, sambil mengambil piring dan nasi. Nenek dan Dewi telah duduk menantiku untuk makan bersama.
“Sambal terasinya uenak bener nih, siapa yang masak, Dik?”
“Lha, siapa lagi kalau bukan Nenek jagoan kita?” jawab Dewi, sambil melirik ke arah Nenek. Melihatku bergairah makan, Nenek hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Nambah lagi, Mbak?" ucap Dewi berusaha mengambilkan nasi di meja.
"Gak usah Dik. Gak bisa jalan nanti, kekenyangan," jawabku, kami semua tertawa. Lodeh nangka, ikan asin, dan sambal terasi, sungguh Nenek memanjakan nafsu makanku. Sambil makan, kami ngobrol ke sana ke mari. Aku bertanya soal kegiatan Dewi, soal tugas sekolah, dan Nenek bertanya soal majikanku, soal bagaimana keadaan kota sekarang, dan kami semua bertukar-tukar cerita.
Bi Ras datang dengan Nur. Bocah itu sudah terbiasa dengan Dewi. Lepas dari gendongan ibunya, ia langsung lari mendekap paha Dewi, sehingga Dewi tak bisa berjalan. Dia merengek, menyuruh Dewi berhenti bekerja dan lekas-lekas bermain-main dengannya. Dewi yang sudah paham akan kemanjaan bocah mungil itu, langsung saja cuci tangan dan membopongnya.
"Mau es dawet gak?" tanya Dewi. Nur langsung mengangguk sambil malu-malu menatapku. Kuperhatikan gerak geriknya yang lucu. Dalam hati, aku berkata, "Kapan aku akan punya anak yang lucu seperti Nur, ya?"
"Hayo, Mbak lagi ngalamunin sapa tuh?" tegur Dewi."Gak ada apa-apa kok Dik, lagi lihat Nur saja. Dulu waktu aku tinggal, dia masih kecil ya?""Ya, begitulah waktu Mbak, tak terasa, kita saja sudah semakin tua," jawab Dewi sambil menggendong Nur dan menyuapkan es dawet dengan sendok.
“Kalau kalian udah tua, berarti aku udah nenek-nenek dong!” ucap Bi Ras, nimbrung. Setelah itu, kami bertiga menatap Nenek.
Waktu memang begitu cepat berlalu, tak terasa azan Maghrib berkumandang dari musala Pak Kinun. Membahana dan begitu syahdu di indera pendengaranku. Kami semua bersiap-siap pergi ke musala, untuk salat berjamaah. Nenek sudah berwudhu, tinggal menanti Dewi.
Teringat zaman aku masih kecil, waktu itu di desa kami belum ada listrik. Jika kami hendak pergi ke musala, kami akan membawa obor dari batang bambu yang di masukin minyak tanah dan disumbat dengan kain. Lalu kain itu disulut dengan api, itulah alternatif kami dulu. Kami akan mengaji bersama, Pak Ustad Kinun yang mengajarnya. Dari mengaji Juz Ama, membaca Iqra, ataupun shalawatan.
Zaman kecil dulu, kami paling suka mengaji pada hari Kamis, malam Jumat. Kenapa begitu? Karena di malam itu, ada ibu-ibu yang bergiliran membawa nasi tumpeng. Di dalamnya, ada lauk mogana dan ayam. Malam Jumat, kami semua akan baca yasinan dan tahlilan bersama-sama.
Sesudahnya, kami akan berdoa bersama, lalu makan tumpeng tersebut. Walau hanya nasi tumpeng, tetapi bagi kami, nikmatnya berbeda dengan nasi biasa. Mungkin karena, nasi itu telah didoakan oleh banyak orang kali. Itulah secuil kisah mengajiku sewaktu masih kecil, kira-kira berusia sembilan tahunan.
Berbeda dengan zaman sekarang, terkadang aku sedih mendengar musala sepi, tak ada suara anak-anak mengaji. Mereka justru lebih suka menonton acara di TV daripada mengaji. Padahal seingatku dulu, hujan yang mengguyur badan kami tidak menjadi penghalang untuk tetap mengaji.
"Beres, ayo jalan Mbak!" ajak Dewi, kembali membuyarkan ingatanku. Kami pergi ke musala bersama-sama.
“Lho, kapan pulang Nak Insan?” tanya Bu Haji. Kami bersalaman.“Tadi pagi, Bu. Apa kabar? Wah, Bu Haji tambah cantik."“Alhamdulillah, baik, Nak. Yang cantik itu kamu, masa udah peot kaya gini masih cantik,” guraunya. Akhirnya, kami sama-sama berjalan ke musala.Sesampainya di musala, kudengar Bi Tirah sedang shalawatan. Kami bersalam-salaman. Tak lama kemudian iqamat pun dikumandangkan. Kami salat Maghrib berjamaah. Damai rasanya. Sudah lama aku tak merasakan hal ini, dan kini rasanya bagai dalam mimpi. Setelah salat Maghrib kami semua sibuk dengan doa pada Sang Khalik. Aneh, hanya sedikit anak-anak yang mengaji di musala. Dewi mengajarinya membaca Al-Quran. Aku duduk di teras sambil melihat-lihat keadaan musala, namun tak lama kemudian, istri Pak Ustaz datang menghampiriku. Akhirnya, kami pun berbincang-bincang, sambil menanti datangnya waktu salat Isya.
“Kok tumben pulang, In?” tanya istri Pak Ustaz sambil duduk di sampingku. Itulah, jika di kampung, orang-orang lebih banyak memanggilku dengan sebutan In, atau bahkan ada yang Iin.
“Iya, Bu Nyai, majikan sedang umroh. Kesempatan bisa ketemu sama nenek. Lagi pula aku sudah lama gak pulang kampung," jawabku.
“Majikanmu masih yang cacat itu 'kan?”“Iya, masih kerja dengan majikan yang sama, Bu.”“Walaupun cacat, tapi dia kaya ya, bisa umrah. Enak ya. Aku gak tahu deh kapan bisa umrah.”“Insya Allah, sebentar lagi, Bu. Jangan khawatir. Pasti bisa umrah,” jawabku, membesarkan hatinya.“Amin ... moga saja doamu dikabulkan, ya In.”
“Alif kuliah di mana Bu?” tanyaku. Alif adalah anak pertama Pak Ustadz, yang pernah dijodohkan denganku sama teman-teman sewaktu masih SD dahulu. Cinta monyet.“Di Mesir, In. Mungkin tahun depan udah boleh pulang.”“Subahanallah ... ikut senang, saya Bu. Semoga ilmunya bermanfaat untuk ummat kelak."“Amin .... Moga kamu juga dapat jodoh yang soleh ya, In," jawabnya. Ada perasaan yang mengganjal. Mungkin menyesali masa lalu. Andai dulu Nenek tak sakit, mungkin aku bisa kuliah. Namun sayang, tekad untukku kuliah, harus kandas di tengah jalan. Tak mengapa, Allah Maha Tahu setiap kejadian yang akan dialami hambaNya. Kuhanya mampu berpasrah dan ikhlas dengan segala takdirNya.Waktu memang begitu cepat berlalu. Azan salat Isya kembali dikumandangkan. Kembali kami salat berjamaah, lalu setelah selesai kami semua pulang ke rumah masing-masing.
Dalam perjalanan pulang, kami bertiga saling bercerita, mengenang zaman kanan-kanak. Kami hanya sesekali saja membeli baju baru, yaitu ketika Lebaran tiba. Ah, itu pun baju murahan, yang kualitasnya sangat sederhana. Meskipun demikian, kami sangat bersyukur. Setidaknya, kami masih mampu membeli baju, karena banyak di antara tetangga yang tak mampu membeli beras, apalagi jika anaknya banyak.
"Kok sekarang bintangnya jadi terlihat sedikit ya, Dik?" Kutatap langit yang gelap kebiruan. Jauh, terlihat bintang-bintang yang berkerlipan bagai mutiara. Walau terlihat tak sebanyak dahulu sewaktu kami masih kecil, tetapi cukuplah rinduku menatap bintang-bintang itu terobati.
"Itukan, bintang yang dulu waktu kita masih kecil terlihat yah, Dik? Wah, masih tetap di sana,ya!" Kutunjuk sebuah bintang yang tampak besar dari bintang-bintang lainnya.
"Yang mana, Mbak?" tanya Dewi penasaran.“Yang itu, yang di sebelah kanan jariku!” Kembali kutunjuk bintang yang menurutku besar dan menarik perhatian.
"Oh yang itu? Iya ya, dulu waktu kita kecil juga melihat bintang itu di sana ya Mbak, tapi kok gak pergi ya dia?" kata Dewi sambil melongo. Matanya menatap ke atas, lama tak berkedip. Terpikir olehku untuk usil padanya. Perlahan kuperhatikan mulutnya yang ternganga.
"Ih! Mbak jahat, deh!" Mendadak dia terperanjat saat mulutnya kumasukki daun pagar yang masih muda. Lalu dengan cepat dia mengepalkan tangannya dan bersiap untuk memukulku dengan geram. Namun sayang, dengan sigap pula, aku menghindar dan bersembunyi di balik tubuh Nenek. Kini tubuh Nenek bergoyang-goyang karena kami berkejaran di sampingnya.
Bagiku, mukanya tadi itu sangat lucu. Mulutnya ternganga hingga lama dan matanya tak berkedip sedikit pun. Lebih lucu lagi, sewaktu dia tersadar dan kaget, karena mulutnya telah terisi daun muda. Kami semua tertawa terpingkal-pingkal. Nenek yang sedari tadi berjalan bersama kami, ikut tertawa dengan keusilanku. Ia mungkin heran dengan kedua gadisnya.
Zaman kanak-kanak dulu, kami berdua sering bertengkar kalau ada sesuatu yang tak sama. Misalkan, jika Nenek membeli jajan lain warna, atau jajanku lebih banyak satu, dia pasti akan merengek-rengek meminta gambar yang sama, atau bahkan akan meminta milikku. Dia yang umurnya di bawahku empat tahun, juga selalu mengejar-ngejarku jika aku tinggal bermain bersama teman lainnya. Apalagi kalau bermain di malam hari, dia selalu menarik-narik bajuku jika ketakutan karena gelap. Dia memang sangat lucu, dan pandai membuat orang iba melihatnya. Itu karena dia pandai merayu orang.
"Kalian ini, kaya anak kecil saja!" gerutu Nenek yang badannya goyang-goyang oleh tarikan tangan kami berdua. Kami hanya nyengir. Dewi berhasil meninjuku di bagian lengan.
"Aduh, sakit! Ampun deh! Sakit!" erangku sambil menyeringai. Dia mencubit pipiku dengan gemas.
"Dasar tukang usil. Dari dulu sampai sekarang gak pernah berubah," geramnya. Dia puas mencubitku. Setelah itu, kami kembali tertawa."Mbak, memangnya Bu Sally diperbolehkan ke Tanah Suci, 'kan beliau cacat. Kakinya gak berfungsi, 'kan?" tanya Dewi setelah kami selesai bercanda."Kan ada suaminya," jawabku."Wah, kapan Nenek bisa ke sana, ya?" tanya Nenek. Mendengar ucapan nenek, seketika dadaku berdebar, walau itu hanya sebuah gurauan, tetapi jauh di lubuk hati, aku hanya mampu menjawab, “Insya Allah.""Nanti kalau Dewi udah jadi penulis best seller, 'kan banyak duit. Nenek tenang saja, ya," jawabku menghiburnya."Amin …," sahut Dewi sambil membuka tangannya, lalu ditengadahkan ke atas, berdoa. Kutepuk bahu Nenek dari samping, ada rasa nyaman tersendiri. Lalu beliau mengelus-elus kepalaku.
Ketika kami sudah hampir sampai rumah, aku menyuruh Dewi menemaniku untuk duduk di lincak, (kursi bambu). Nenek masuk rumah dan langsung membuat kopi. Tercium wangi aroma kopinya di hidung kami yang tengah duduk di kursi halaman.Dalam keremangan malam, kami berdua bercengkerama. Kembali aku bertanya pada Dewi soal pelajaran di sekolah dan kegiatan lainnya. Dari obrolan soal zaman kecil, soal pelajaran, soal keadaan di sekeliling rumah, dan juga soal teman prianya. Siapa tahu dia telah memiliki teman lelaki, pikirku. Akan tetapi, saat Dewi kutanya, dia hanya menjawab, kalau dirinya masih belum berminat memiliki teman lelaki.
"Lho, ada juga gak papa kok, Dik?" selidikku lagi.
"Gak, ah Mbak. Repot. Mbak aja belom ada calon suami, kok berani-beraninya aku pacaran," ketusnya. Aku bersyukur, setidaknya dia lebih senang belajar daripada memikirkan hal-hal lainnya, tak seperti anak remaja umumnya."Dah malam, Mbak. Kita tidur, yuk!" ajak Dewi. Kami berdua melangkah, memasuki ruang tamu, dan mendapati Nenek tengah menonton TV sambil minum kopi.
"Nek, sudah malam kok masih minum kopi? Nanti gak bisa tidur lho?" tegurku.
"Mbak, terbalik tuh. Nenek kalau belum ngopi malah nanti gak bisa tidur," seloroh Dewi membuat Nenek hanya tersenyum mendengar sindiran cucunya.Bersambung ....
BAB 4Bunga RanduAdzan subuh berkumandang, menerobos alam mimpi, membangunkanku lewat celah-celah indera pendengaran yang begitu syahdu di telinga. Samar-samar terdengar gemericik air di sumur, dalam hati aku membatin, pasti Nenek sudah bangun.Perlahan kubuka ke dua mata. Terasa perih, namun pikiran mulai menata segala acara, jadi mataku tak bisa lagi terpejam. Kepala terasa berputar, dan aku belum berani turun dari ranjang.Krek....! Bunyi leherku, saat aku putar kanan dan kiri.“Alhamdulillah, mendingan lega. Sekarang perlahan kepalaku sembuh, dan badan terasa nyaman," batinku, langsung aku bangun dari tempat tidur, dengan sebuah pertanyaan dalam hati. Mengapa semalam aku bermimpi demikian? Melangkah ke sumur, kudapati nenek sudah selesai mengambil air wudhu."Pagi Nek, oya mau salat jamaah atau di rumah saja?""Aku mau jama’ah di musala, kaya biasanya, kamu mau ikut gak?" tanya nene
BAB 5 (revisi)Pantai Karang BolongPagi yang cerah, perlahan terang, bumi kembali disapa sang surya. Lembut cahayanya, selembut hati bidadari-bidadari surga, sungguh angin yang bertiup sepoi, mampu membuatku terlena. Burung-burung kecil yang berkicau riang, seolah tengah berkasidah ria, bertasbihkan lagu-lagu keagungan Sang Khaliq. Aku terpana menatap keindahan Pegunungan Kulon. Dalam hati aku bertasbih, mengikuti burung-burung itu."Wah, benar-benar cantik pegunungan itu dari kejauhan ya," puji Dewi, yang juga ikut melongo."Karang Bolong! Karang Bolong....!" suara seorang kernet mobil angkot mencoba menawari jasanya. Kami berdua menggelengkan kepala. Sebenarnya sudah dekat, tinggal 10 menit lagi perjalanan sampai, namun aku sengaja ingin menikmati indahnya suasana pagi, dengan berjalan kaki."Sebentar lagi musim tandur ya Dik, lihat.” Aku menunjuk sawah yang terhampar luas.Walau masih terlihat pendek pohon padinya, namun semua sama r
Bab 6Kecelakaan Merenggut ayahkuEmpat tanda hati dijadikan satu, mirip bunga sepatu yang tengah mekar. Cantik, masing-masing bunga itu, ada nama-nama yang membuat dia tersenyum, wajahnya yang kemerahan karena sinar mentari, membuatnya bertambah manis."Terima kasih Dik," Ucapku, kala terlihat namaku disalah satu tanda hati itu. Yang lainnya ada nama ayah, ibu, dan nenek."Kok gak ada kamu Dik," tanyaku."Mbak, bunga ini ada dalam hatiku," jawabnya, sambil tersenyum, namun aku tahu, dibalik senyum itu, dia juga merindukan ayah dan ibu.Aku menghela nafas, mataku terpejam sesaat. Sengaja kubiarkan anganku menerawang, menelusuri masa lalu, saat aku berada di atas delman, di pangkuan sang bunda, tujuh belas tahun yang silam. Hanya itu yang mampu aku ingat dalam memory ingatanku.Aku duduk di atas pangkuan ibu, sementara Dewi dipangku oleh ayah. Saat itu, usi
BAB 7ZIARAH KUBUR"Kenapa?" tanyaku heran."Soalnya nanti kalau lewat depan, kita gak sampai-sampai rumah. Tuh, di rumahnya Yu Binti banyak orang, nanti mereka nanya ini, itu, lalu kita berhenti lagi. Bisa-bisa ikanku bau deh, sampai rumah," jawabnya. Aku tertawa melihat kelucuan Dewi."Iya deh, Mbak nurut aja."Kami lewat belakang rumah, dan sampai dengan lebih cepat. Yah, begitulah hidup di desa, jika ada kabar sedikit saja, akan lebih cepat diterima masyarakat luas. Baik kabar baik, maupun kabar jelek."Assallamualaikum ..."Nenek segera menjawab salam kami."Masak apa Nek?" tanyaku, saat Nenek terlihat agak sibuk memindahkan panci-panci ke atas kompor, bergantian."Mbubur kacang ijo Cu, (Cu untuk sebutan putu, atau cucu)" jawab Nenek. Mendengar bubur kacang hijau, anganku langsung membayangkan kelezatannya."Nek, hari ini aku yang masak ya," sela Dewi. Nenek diam sesaat, mungkin heran.
Bab 8Cobaan BermulaSeminggu di Jawa, bagai sehari terasa. Waktu berlalu begitu cepat tanpa kuminta. Akhirnya, aku harus kembali ke Jakarta. Setelah sampai di Stasiun Jati Negara, aku dijemput oleh Pak Surya, Ayah Mbak Sally.Dia memberikan kunci rumah anaknya padaku. Terus terang, memasuki rumah ini, bagai membuka memory dalam ingatanku 3 tahun silam. Di mana aku untuk pertama kalinya, mengenal, serta memasuki rumah mewah ini. Waktu itu, sendirian aku datang ke Jakarta. Tujuannya, ingin berkunjung ke rumah teman, sambil mencari kerjaan jika ada. Aku yang tak terbiasa dengan kota metropolitan, akhirnya harus kesana-kemari, bingung karena melihat lautan manusia, dan bisingnya suara angkutan kota. Akhirnya, aku tersesat di jalan-jalan yang sempit serta berbau busuk.Banyaknya rumah-rumah kumuh dan sampah-sampah basah yang berserakan, menambah lagi satu beban dalam pikiranku, yaitu mual yang tak kunjung muntah. Kepala terasa berat,
bab 9Di ruangan yang serba cantik ini, kami berdua diam membisu. Dalam diam, aku bertanya dalam hati. Mengapa wanita ini duduk di kursi roda? Apakah dia sakit? Atau cacat? Mas Raihan ke dalam, ia memberesi berkas cuci mobilnya tadi. Tak lama kemudian, dia muncul dengan tiga cawan air teh panas."Silahkan diminum Dik," ucapnya ramah. Aku grogi. Lalu meminum air tersebut dengan tangan agak gemetaran. Entahlah, mungkin aku benar-benar merasa tak enak dengan kebaikan Mas Raihan."Maaf, hanya ada air, Dik. Maklum, lagi gak ada pembantu di rumah," selorohnya. Aku menelan ludah mendengar ucapan Mas Raihan."Oh ternyata punya pembantu to, pantesan rumahnya bersih sekali," batinku."Pembatunya kemana Mas?" tanyaku, memecah rasa grogi."Kemarin siang pamitan pulang. Katanya, mau ngurus anaknya di kampung. Dan sekarang belum ada ga
Bab 10.Cobaan bermula 3Setelah mengantar Bu Hardi, kami kembali ke teras halaman. Bu Surya melihat-lihat bunga di taman tersebut. Kata Bu Surya, setiap sebulan sekali, ada tukang kebun yang datang merawatnya, yaitu Pak Slamet. Mbak Sally selesai sarapan, lalu segera meminum obat. Ia berdua duduk di teras, sambil ngobrol, sementara aku memasak di dapur.Setelah selesai memasak, dan beres-beres kompor di dapur, kami sama-sama makan siang. Bu Surya memuji masakanku, namun berbeda dengan Mbak Sally. Dia acuh, mungkin karena masakannya berbeda dengan masakan kami. Ia tak diperbolehkan makan masakan yang berminyak, atau pedas. Beruntung pembantu yang sudah pulang ke rumah, meninggalkan banyak bumbu, sehingga memudahkanku untuk memasak. Sesudah makan siang, Bu Surya berpamitan pulang, dengan alasan, tak bisa berlama-lama ninggalin restorannya.Seperti biasa, jam 2 siang, Mbak Sally kembali minum obat. Setelah meminum obat, beliau meno
Bab 11Senyuman PertamaDi suatu petang, Mas Raihan menelpon ke rumah. Ia memberitahukan padaku, kalau malam nanti, aku tak diizinkan untuk memasak. Ia ingin memberikan kejutan pada istri tercintanya. Aku menurut. Jam 7 malam, Mbak Sally bertanya tentang makan malam, mungkin dia lapar. Akhirnya aku menjawab, bahwa malam ini aku tak memasak. Ia kembali murka, dan menuduhku pemalas.Mungkin karena begitu kesalnya padaku, ia melempar piring buah di atas meja. Bagaimanapun juga, pesan suaminya agar aku tidak membocorkan rencananya, tetap terkunci rapat dalam rahasiaku. Sambil menyapu teras yang penuh dengan pecahan beling, aku hanya mampu beristighfar dalam hati.Tak lama kemudian, seluruh keluarganya datang beserta suami dan keluarga Mas Raihan. Mbak Sally meminta maaf di depan semua, karena memarahiku. Terlihat dua keluarga tersebut sangat dekat. Mereka saling bersapa rama