Bab 4
Setelah pertempuran sengit, Haris dan Nisa pun terkulai di dalam bathtub. Entah sudah berapa kali mereka mengulangnya. Napas mereka masih terengah-engah. Nisa bergelung manja dalam dekapan laki-laki berumur tiga puluh lima tahun itu.
“Kamu memang selalu hebat, Nis....” puji Haris sambil mengecup manja kening Nisa. Salah satu tangannya asik membelai rambut, sedang tangan yang lain tengah sibuk ”berbelanja” di tubuh wanita berbadan sintal itu.
Nisa hanya mengulum senyum kemudian mendaratkan bibirnya pada bibir Haris.
Sepuluh menit berlalu.
Setelah kelelahan dan kehabisan napas, akhirnya mereka menyerah dan sepakat untuk mengakhiri.
“Kamu memang luar biasa, Nis,” kata Haris dengan mimik wajah sumringah.
“Mas juga luar biasa...,” Nisa tersipu. “Aku lapar...,” tambahnya sembari melepaskan pelukan Haris kemudian duduk. Kedua tangannya sibuk merapikan dan mengikat rambut dengan karet yang melingkar di pergelangan tangan.
“Yasudah, kita mandi terus makan.” Haris masih belum bisa mengalihkan pandangan dari punggung mulus Nisa. Kemudian ikut bangkit.
Dilanjutkan dengan ritual mandi bersama....
Haris menyambar handuk yang tergantung di sudut kamar mandi, lantas dia berikan kepada Nisa. Sekali lagi ia menyambar handuk putih lalu membalutkan pada bagian bawah tubuhnya sendiri.
“Kamu seksi sekali kalau cuma pake handuk begitu, Nis...,” Goda Haris pada wanita yang rambutnya basah itu.
“Dih, jangan bilang minta nambah, Mas. Besok lagi, ya? Aku udah capek ... laper banget.” ujar Nisa tersipu malu.
Haris melangkah maju. Tangan kanannya meraih gagang pintu, memutar, dan menarik ke dalam.
“Loh?!”
Dia ulangi lagi beberapa kali. Memutar dan menariknya.
“Loh?!”
Haris mulai panik ketika percobaannya yang kesekian kali untuk membuka pintu tidak membuahkan hasil. Wajahnya pucat pasi.
“Kenapa, Mas?” Nisa penasaran melihat Haris yang menarik gagang pintu dengan kasar berulang kali.
“Nggak bisa dibuka!” seru Haris.
“Apa? Kok bisa, Mas?! Tadi enggak rusak, loh!” Nisa ikut panik. Sesekali membetulkan handuknya agar tidak melorot.
“Coba lagi, Mas!”
“Iya, ini nggak bisa. Seperti terkunci!” ujar Haris sambil menelan ludah. Tenggorokannya sudah kering karena kehausan.
“Nggak mungkin, Mas. Di rumah cuma ada kita berdua sama Yuka. Yuka mana mungkin bisa ngunci pintu? Buruan, Mas ... takutnya Mbak Vi pulang. Cepetaaaaan...!” Perasaan Nisa semakin tidak keruan. Berbagai bayangan berseliweran di kepalanya. Dia tak mampu membayangkan jika Vi datang lalu memergoki mereka berdua sedang telanjang di kamar mandi. Apa yang akan terjadi?
Hampir tiga jam berlalu....
Mereka berdua menyerah karena kelaparan, kehausan, dan kedinginan. Hanna duduk di bathtub, sementara Haris mencoba mendobrak pintu dengan badannya yang ternyata hanya sia-sia.
“Mas...,” panggil Nisa dengan suara mulai gemetaran.
Seketika Haris menoleh, didapatinya perempuan setengah telanjang itu tengah memegangi perutnya. Wajahnya pucat.
“Kamu kenapa, Nis?
“Mas ... aku ... aku ...,” kata Nisa ragu.
“Kamu sakit?”
“Aku ... kebelet, Mas....”
“Apa? Main lagi?”
“Bukan! Emm ... pengen BAB!”
“Apa? Emh, ya, udah sana!”
“Nggak bisa, Mas. Masa iya Mas lihatin aku BAB? Cepetan dobrak, dong, Mas. Percuma badan gede, dobrak pintu aja nggak bisa?” Nisa bersungut-sungut.
Merasa diremehkan, akhirnya Haris merasa tertantang--tidak ingin kelaki-lakiannya diremehkan oleh wanita yang baru saja memberikannya dia surga dunia itu. Haris mengambil ancang-ancang—mundur beberapa langkah. Kemudian dengan sekuat tenaga, dia berlari kecang menghantam pintu itu dengan sebelah lengan dengan bantuan kekuatan dari badannya yang kekar itu untuk mendorong.
Brakkkk!
"Aaaawww!"
Pintu bergeming, Haris tersungkur.
“Mas!” Nisa terperanjat melihat Haris meringis kesakitan. “Kenapa, Mas?!” Dia beranjak mendekati Haris yang terkapar di lantai. “ Apa yang sakit, Mas?”
“Stop! Jangan pegang!” Haris berteriak hingga membuat tangan Nisa terhenti ketika hendak menyentuh pundak yang dia pegangi itu.
“Pundakku patah! Awwwww!” Haris mengerang sangat keras.
Nisa semakin panik, hingga saat dia bangkit, tak sadar handukknya jatuh ke lantai dan basah terkena genangan air sisa mandi tadi.
“Astaga, Mas, handukku basah, gimana ini?” Nisa reflek memungut dan memakainya lagi. Tapi apa daya, handuk sudah terlanjur basah.
“Bodo amat! Pundakku sakit! Aaarrrggghhhh! Haris kembali mengerang.
“Mas, ini gimana kalau kita nggak bisa keluar?” Nisa mulai menangis sambil memeras ujung handuk basah yang dia pakai untuk membungkus tubuhnya itu.
“Sudah, diamlah! Aku jadi nggak bisa mikir ini kalau kamu berisik! Sudah, sana boker! Katanya kamu kebelet tadi?”
“Nggak jadi, aku masih bisa nahan! Dingin, Mas ... mau keluar dari sini...,” Nisa menangis sejadi-jadinya.
Haris hanya duduk bersandar pada dinding kamar mandi yang dingin sambil menahan rasa sakit. Sepertinya ada tulang di pundaknya yang bergeser atau mungkin juga patah karena mendobrak pintu yang super kuat itu. Perutnya mulai bergejolak karena sejak semalam tak ada sesuap nasi pun masuk dalam lambungnya.
“Jangan-jangan rumah ini ada hantunya, Mas...?”
Nisa masih menangis sesenggukan menahan lapar, haus, kedinginan, juga hasrat ingin buang air besar yang semakin tak tertahankan.
“Ngawur!”
***
Bab 5Jantungku masih berdegup sangat kencang. Napasku memburu. Aku seperti baru saja berperan sebagai pemain film action. Kulihat kedua tanganku masih bergetar seperti penderita parkinson yang sedang mengemudi. Tenggorokan ini terasa sangat kering karena tidak menelan ludah beberapa saat.Aku meraih botol air mineral yang terletak di dekat tuas persneling dengan tangan kiriku. Mau tidak mau aku harus membuka botolnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang setir. Masih gemetar membuat pekerjaan sepele seperti ini menjadi sangat sulit untuk dilakukan.Astaga!Tiba-tiba air dalam botol tumpah ke wajahku karena tidak sadar lampu lalu lintas tiba-tiba menyala merah—mendadak mengerem membuat isinya otomatis muncrat keluar karena berbenturan dengan mulutku waktu m
Bab 6Mobil Aisha melaju kencang membelah jalanan kota Surabaya. Aku hanya menyandarkan kepalaku di jok mobil. Sesekali aku melirik sahabatku yang tengah sibuk memainkan setir itu. Dia memang selalu tampak keren. Hidung mancungnya menyembul di antara nosepad kacamata hitam yang dia kenakan. Wajah tirus Aisha serasi dengan rambut panjangnya yang hitam. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti dia. Selain cantik, dia juga cerdas.“Sha, aku, kok, pusing, ya?” keluhku pada Aisha yang tengah serius menyetir.“Laper, mungkin? Biasanya gitu, kan? Belum makan?” tanya Aisha tanpa menoleh ke arahku. Jalanan yang cukup padat membuatnya harus memusatkan perhatian penuh pada jalanan.“Udah. Sarapan emosi! Huwaaaaa ...! Mereka, kok, jahat banget sih, Shaaaa? Aku tuh kurang apa? Sebagai istri, aku kurang apaaaaa? Sebagai saudara, aku kurang apaaaaa? Apa salahku? Kok, mereka tega banget ngelakuin itu? Jahaaaaaaaat!” Tangisku pecah lagi untuk yang ke sekian kali.
Bab 7Pak RT bangkit dari duduknya sambil membetulkan sarungnya yang kendor.“Baiklah, kalau begitu. Saya mau mandi dulu. Bu Vi sama Bu ... siapa? Lupa belum kenalan....” tanya Pak RT sambil menoleh pada Aisha.“Aisha, Pak...!” sahut Aisha.“Ooh, Bu Aisha? Kok, sama cantiknya dengan Bu Vienetta? Kembar, ya? Hahaha.” kelakar Pak RT.Dasar Buaya! Aku dan Aisha hanya saling pandang.“Bu Vi sama Bu Aisyah tunggu di sini dulu, ya ... saya mandi sebentar, ” pinta Pak RT sambil balik badan.“Aisha, Pak ... A-I-S-H-A. Bukan Aisyah!” sahut Aisha karena merasa namanya salah disebut.“Oh, maaf ... salah, ya? Iya, Bu Aisha ....” balas Pak RT sambil tertawa, lebih tepatnya menggoda.“Harus mandi dulu, ya, Pak?” Aku menyela sebelum Pak RT berbalik badan dan melangkah pergi.“Woiya, harus! Sebagai ketua RT, saya adalah panutan warga, jadi saya harus menjaga penampilan kalau di ha
Bab 8Seketika Nisa berlari ke arahku dan bersujud. Dia menangis memeluk kakiku lalu bersimpuh di lantai.Aku melempar tatapan mematikan pada laki-laki yang sedang bertelanjang dada itu. Mas Haris tidak berani melihat ke arahku. Dia mengusap wajah dengan kedua tangannya. Entah malu atau apa.“Kalian benar-benar bedeb*h!” umpatku tajam.Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah gunting di keranjang sikat gigi yang tergantung tak jauh dari tempatku berdiri. Aku meraihnya dengan tangan kanan, kemudian mengacungkannya pada Mas Haris. Kurasakan pelukan Nisa di salah satu kakiku semakin erat. Dia menangis meraung-raung. Saat itu juga Mas haris melihat ke arahku dan mundur hingga punggungnya hampir melekat pada dinding.Aku gelap mata mengingat pengorbananku selama ini ternyata tidak ada harganya sama sekali. Tak kusangka bakal sesakit ini rasanya dihianati. Seandainya kalian berada di posisiku, mungkin akan melakukan hal y
Bab 9“Bohong!” Aku berteriak sambil menutup telinga dengan kedua tanganku. Tangisku pecah. Harga diriku benar-benar tercabik-cabik. Hatiku dimutilasi dan dicacah tak berbentuk. Hancur!Aku melangkah mendekati laki-laki tak tahu diri itu. Dan....Plak!Aku menamparnya sekuat tenaga. Mas Haris memegangi pipinya dan meringis kesakitan. Napasku memburu hingga membuat dadaku naik-turun. “Sakit?” tanyaku sinis. “Itu belum seberapa dibandingkan dengan sakit hatiku, Mas!” Aku meremas kedua telapak tanganku geram.Tiba-tiba Nisa menghambur kepadaku.“Maafkan aku, Mbak. Sungguh ini di luar kendaliku. Aku mencintai Mas Haris ... bahkan jauh sebelum kalian menikah. Aku minta maaf, Mbak. Aku sudah mencoba membunuh perasaan itu tapi nggak bisa,” ungkap Nisa, masih dengan bersimpuh di kakiku memohon ampun.“Apa?!” Aku terkesiap mendengar pengakuan yang baru saja terlontar
Aisha bergegas keluar rumah menemui sopir taksi yang sudah tiga kali memencet klakson.“Vi ... maafin aku, aku janji nggak akan melakukan kesalahan lagi. Ini tertakhir kali. Aku mohon maafkan aku. Aku khilaf,” pinta Mas Haris—masih berdiri di depan pintu kamar sambil memegangi pundaknya.Seketika Nisa menatap Mas Haris dengan tatapan nanar dan penuh kekecewaan. Entah janji manis apa yang pernah terucap dari bibir Mas Haris hingga membuat Nisa klepek-klepek dan mau melakukan apa saja untuknya. Mungkin perempuan itu tidak menyangka kalau laki-laki yang dia cintai setengah mati itu masih saja memohon ampun kepada istrinya dan menganggap bersamanya adalah sebuah kekhilafan semata. Padahal dia sudah menyerahkan semuanya.Tin! Tin! Klakson berbunyi untuk yang keempat kalinya.“Kalau sampai taxi itu pergi, artinya kalian bakal keluar dari sini dengan jalan kaki. A
“Mas, ternyata selama ini kamu cuma anggap aku sebuah kekhilafan? Iya?!” protes Nisa kepada Haris. Mulutnya mengerucut beberapa centimeter.“Ya enggak, laaah!” Haris berkilah. Bola matanya bergerak-gerak menunjukkan rasa ketidak yakinan atas apa yang dia ucapkan.“Bohong!” sergah Nisa bersungut-sungut dan mencebik bibirnya.“Udah, deh. Jangan bikin aku tambah pusing ini!” Haris mulai tidak nyaman dengan tuduhan yang Nisa layangkan padanya.“Lalu kenapa tadi bilang gitu sama Mbak Vi? Mas nyesel?!” cecar Nisa bertubi-tubi meminta penjelasan. Sesekali ia mengusap kedua pangkal lengannya karena dinginnya AC yang terasa menusuk tulang.“Aku nggak punya pilihan lain itu tadi, makanya bilang kayak gitu. Siapa tahu dengan begitu Vi mau sedikit luluh. Kan, kita nggak perlu ngalamin beginian. Malu!” papar
Haris mengetuk pintu sambil mengamati perubahan pada tubuh Nisa—fokus lebih lama pada perutnya yang masih terbalut handuk putih. Nisa mematung—menggigit bibirnya dan menatap Haris dengan penuh rasa khawatir. Ada rasa cemas yang amat sangat sedang berkecamuk dalam hatinya. Bagaimana jika dia benar-benar hamil dalam kondisi seperti ini?Beberapa saat kemudian terdengar seseorang membuka kunci pintu.Ceklek! Ceklek! Pintu terbuka. Seorang wanita dengan riasan tebal—bibir merah merona—sepaket dengan sanggul rambutnya muncul dari balik pintu. Wajahnya yang tegas memberi kesan bahwa orangnya tidak ramah. Dia, Bu Merry—ibunya Haris.“Loh? Apa-apaan ini, Ris?!” tanya Bu Mirna seketika melihat anaknya datang bersama dengan seorang wanita yang tidak ia kenal dalam keadaan tidak berpakaian lengkap. Matanya membulat hingga eye liner-nya tampak sangat jelas di garis mata. &ldquo