Share

Rencana Pembalasan



Bab 5


Jantungku masih berdegup sangat kencang. Napasku memburu. Aku seperti baru saja berperan sebagai pemain film action. Kulihat kedua tanganku masih bergetar seperti penderita parkinson yang sedang mengemudi. Tenggorokan ini terasa  sangat kering karena tidak menelan ludah beberapa saat.

Aku meraih botol air mineral yang terletak di dekat tuas persneling dengan tangan kiriku. Mau tidak mau aku harus  membuka botolnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang setir. Masih gemetar membuat pekerjaan sepele seperti ini menjadi sangat sulit untuk dilakukan.

Astaga!

Tiba-tiba air dalam botol tumpah ke wajahku karena tidak sadar lampu lalu lintas tiba-tiba menyala merah—mendadak mengerem membuat  isinya otomatis muncrat keluar karena berbenturan dengan mulutku waktu meminumnya. Sial! Wajah dan bajuku basah. Ya, Tuhan ... belum berhenti juga kesialanku hari ini. Baru saja aku mendapati suamiku asik main kuda-kudaan sama perempuan lain di kamar mandi, sekarang air tumpah ke wajahku. Apa lagi ini?

“Aaaarrrrrrrgggghhhhhh!”  Aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya.

Tiba-tiba aku mendengar sesuatu dari luar. Bapak-bapak tukang ojek berjaket hijau--naik motor sedang menatapku sambil mengetuk kaca di sebelahku. Sepersekian detik aku hanya melihatnya. Takut kalau dia punya niat jahat. hingga aku ragu untuk membuka kaca. Aku mengalihkan pandanganku ke depan. Tampak beberapa pengendara motor juga melihat ke arah mobilku. Aku bingung. Ada apa? Mungkin memang ada yang salah dengan mobilku. Bapak itu mengetuk lagi. Aku mengusap air mata lalu menurunkan sedikit kaca mobil.

“Ada apa, Bu? Kok teriak?” tanya bapak-bapak itu heran sambil celingukan ingin melihat ke dalam mobil yang terhalang oleh kepalaku.

“Teriak?” Aku terkejut mendengar pertanyaan orang tersebut. Bagaimana bisa dia mendengarku? Mobil ini kedap suara. Tidak mungkin terdengar dari luar. Seketika aku melihat sekeliling bagian dalam mobil. Sialan! Kaca mobil bagian belakang sebelah kiri ternyata terbuka separuh. Ya, Tuhaaaaan ... aku malu sekali. Pantas semua orang melihat ke arahku.

Aku memfokuskan kembali pandanganku kepada bapak tukang ojek tadi.

“Emh, nggak apa-apa, Pak. Ada kecoak...,” jawabku gelagapan sambil meremas setir dengan kencang.

“Owh, baik. Hati-hati, ya, Bu....” Bapak itu berpesan sambil menganggukkan kepala.

“Terima kasih, Pak...,” balasku sambil mengangguk dan menutup kembali kaca jendela.

Untung saja aku memakai masker, jadi malunya tidak seberapa. Aku diselamatkan juga oleh lampu hijau hingga aku bisa segera tancap gas.

“Mamah, kita mau kemana?” Yuka terbangun dan bertanya.

Aku menoleh ke arahnya sebentar, kemudian fokus kembali ke jalanan. Pikiranku melayang. Saat ini aku memang sedang berjalan tak tentu arah—bingung mau kemana. Tiba-tiba aku teringat pada sahabatku—Aisha, barangkali dia bisa membantuku.

“Ke rumah Tante Shaha, Sayang.” Senyum simpulku mendarat di matanya. Aku banting setir untuk pindah jalur. Rumah Aisha sudah terlewat beberapa kilometer. Aku pikir lebih baik sementara aku tinggal di rumahnya daripada harus ke rumah orang tuaku. Bisa-bisa aku dibully habis-habisan di sana. Mau ditaruh di mana mukaku? Bisa saja Ibu akan mengulitiku sampai ke tulang. Aku belum siap!

Dulu aku memang dibutakan karena cinta. Kalau ingat, rasanya pengen tertawa ngakak guling-guling sambil membenturkan kepalaku ke tembok. Bagaimana bisa aku jatuh cinta kepada laki-laki yang sama sekali tidak berkualitas? Mau-maunya aku menikah dengannya yang hanya bermodalkan napas dan bualan. Bahkan kata-kata manisnya bisa membuat orang kehilangan kesadaran. Pokoknya lebih bahaya dari obat bius. Maklum saat itu aku masih polos, makanya bisa dengan mudah klepek-klepek di tangan pemuda pengangguran terselubung itu.

Aku menepikan mobil.

Aku merogoh gawai di dalam tas yang berada di pangkuanku dengan tangan kiri. Setelah menemukannya, aku mencari nama sahabatku itu pada aplikasi Whatsapp, kemudian menekan ikon gagang telepon berwarna hijau.

Tut ... tut....

Tut ... tut....

“Halo, Vi?”

“Halo, Sha ... kamu di mana?” tanyaku cepat.

“Di rumah, Vi. Why?”

“Jangan kemana-mana! Bentar lagi aku sampe rumahmu.”

“Oke, tap—”

“Pokoknya jangan kemana-mana!” Dengan cepat aku menyambar perkataan Aisha.

Tak lama kemudian, aku telah sampai di rumah Aisha. Dia tinggal sendiri di rumah besar ini. Suaminya seorang pelaut--jarang pulang. Ia berlayar hingga berbulan-bulan baru kembali. Aisha belum punya anak meski usia pernikahannya sudah hampir enam tahun.

Begitu sampai, tampak Aisha sudah menungguku di teras. Dia menghampiriku saat aku hendak turun dari mobil. Mungkin dia melihatku bersama Yuka, hingga dia tak sabar ingin bertemu dengannya.

Aisha adalah sahabatku sejak SMA. Bahkan  saat kuliah—kami satu kampus meski jurusan kami berbeda. Dia adalah tempat pelarian pertama  saat aku mendapat masalah--seperti yang kulakukan saat ini. Meski solusi yang dia sarankan biasanya sedikit bar-bar.

"Ada apa, Vi? tanyanya sambil melangkah ke arahku.

“Nggak apa-apa.” Aku sibuk dengan panel-panel hendak mematikan mesin mobil.

“Kamu habis nangis, Vi?” Dia bertanya  keheranan saat melihat wajahku yang lecek.

“Kamu nggak nyuruh aku masuk?” keluhku pada Aisha sambil menuntun Yuka turun dari mobil. Sahabatku itu masih memasang wajah melongo menatapku. “Kamu nggak mau bantuin aku bawa kopernya Yuka?”

“Oh, oke, oke ... kita masuk dulu.” Aisha memanduku masuk ke rumahnya sambil menyeret koper Yuka.

“Sha, Yuka belum mandi. Numpang mandi di sini, nggak apa-apa, kan?” pintaku padanya sambil meletakkan bokongku di sofa.

“Boleh, banget!  Kalau perlu tinggal di sini sama aku. Sekalian aku jadiin anak!” candanya. Aisha memang sayang sekali sama Yuka. Maklum, dia sudah sangat ingin memiliki momongan tapi Tuhan belum mengabulkannya.

“Bik Marni...!” panggil Aisha kepada asisten rumah tangganya.

Beberapa detik kemudian Bik Marni mendatangi kami.

“Tolong ajak mandi Yuka, Ya, Bik...,” pinta Aisha kepada Bik Marni.

Aku tersenyum kepada wanita paruh baya yang sudah sangat kukenal sejak SMA itu. Dia juga sudah sangat akrab dengan Yuka karena sering aku ajak ke sini.

“Baik, Mbak...,” balas Bik Marni seraya mengulurkan tangan menuntun Yuka masuk ke dalam.

“Bajunya di dalam koper, ya, Bik...,” kataku.

Bik Marni menoleh dan mengangguk.

“Sekarang kamu cerita. Kamu kenapa?” Sepertinya Aisha sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya itu.

“Haris selingkuh sama Nisa...,” desahku.

“Tuh, kan? Apa aku bilang?! Kamu itu memasukkan serigala ke dalam rumahmu sendiri. Kamu, sih, nggak dengerin apa kataku dulu! Aisha terperanjat. “Coba kamu pikir, kenapa orang seperti Nisa tiba-tiba mau jadi ART kamu? Padahal dia cantik. Meski hanya lulus SMA tapi bukankah dia bisa mencari perkerjaan yang lebih baik daripada itu? Ya, kan?” ujar Aisha panjang kali lebar kali tinggi. “Terus kamu ingat nggak waktu kamu butuh baby sitter buat Yuka? Dia melarang kamu buat nyari, kan? Buat apa dia ngajuin diri untuk sekalian menjaga Yuka? Kamu ngerti maksudku, kan?” Nisa memberondongku dengan peluru pertanyaan hingga aku hanya bisa melongo menatap lantai warna putih yang mengkilat itu.

“Aku nggak ngerti maksudmu, Sha....” Aku menjawab sekenanya. “Dulu aku cuma kasihan sama dia. Secara dia sepupuku, Sha. Mana tega aku menolak niatnya itu. Katanya hanya sementara sambil menunggu panggilan kerja. Dia memaksaku.” Otakku sedang tidak bisa berpikir apapun. Buntu!

“Dasar, Bego! Maksudnya ... ya, biar dia bisa leluasa di rumah sama Haris waktu kamu kerja. Gimana, sih?!” Jelasnya geram. “Oke, kamu tahu itu darimana?” Dia mulai mereda, kemudian beringsut duduk di sebelahku.

“Aku menangkap basah mereka begituan.”

“Apa? Di mana?!” Dia semakin antusias. Tangannya memeras lenganku.

“Di kamar mandi.”

“What?! Kapan?”

“Tadi! Dan sekarang mereka masih aku kunci berdua di sana.”

“Kok, bisa?”

Kemudian aku menceritakan semua yang aku alami tadi pagi kepada Aisha.

“Baj*ngan tengik!” umpat Aisha setelah mendengar semua ceritaku.

“Kita lapor Pak RT aja terus buka tuh kamar mandi. Biar nyahok mereka berdua. Kalau perlu panggil warga buat ngarak mereka keliling kampung biar malu sampai ubun-ubun!” ujar Aisha meluap-luap.

“Jangan, Sha. Kasian Yuka kalau nanti dia mendengar cerita itu dari orang lain saat dia dewasa . Pasti dia malu banget dengan kelakuan ayahnya dan tantenya sendiri. Jangan! Intinya aku pengen cerai aja, Sha!”

“Bener juga. Terus gimana?” Aisha menggaruk kepalanya, mencoba berpikir mencari cara lain. “Aha! Begini, kalau cuma Pak RT aja, gimana? Setidaknya ada saksi kalau dia melakukan zina--itu  bisa memperkuat alasanmu saat mengajukan gugatan cerai nanti.“

Kali ini aku setuju dengan pendapat Aisha.

“Oke.”

Aisha menarik tanganku keluar rumah sambil teriak, “Bik, habis mandi ajak makan Yuka, ya! Kami mau keluar sebentar!” 

“Kita mau ke mana, Sha?” tidak ada pilihan lain selain mengikuti tarikan tangan Aisha. Dia mendorongku masuk dalam mobilnya.

“Kita mulai rencana kita sebelum mereka mati di kamar mandi dan kamu jadi tersangka kasus pembunuhan berencana!”

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Norriza Othman Iza
Kenapa bab berikutnya xboleh dibuka?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status