Bab. 3
Tanganku terhenti saat hendak memutar gagang pintu. Aku seperti mendengar orang sedang bercanda. Mungkin suara itu berasal dari dapur ... atau mungkin kamar mandi. Aku fokus sejenak memastikan apa yang kudengar. Akhirnya kuputuskan mengendap-endap melangkah mendekati sumber suara untuk memuaskan rasa penasaranku itu. Dengan siapa Nisa bercanda? Setahuku dia tidak punya teman di daerah sini.
Aku mengintip dari pintu dapur yang sedikit terbuka. Tidak ada siapa-siapa. Kembali aku melongokkan kepala untuk melihat kondisi sekitar dapur. Benar, tidak ada orang.
Tiba-tiba aku mendengar seseorang berkata dari balik pintu kamar mandi. Aku mendekat—perlahan—jangan sampai menimbulkan suara.
“Mas, makasih, ya, uangnya. Tapi Mas yakin, kan, kalau Mbak Vi enggak tahu kalau uang itu Mas kasih ke aku?”
Seketika darahku mendidih. Dadaku seperti ingin meledak. Tenggorokanku rasanya tersumbat. Aku mencoba mengatur napas—menenangkan diri.
Sedang apa mereka berdua di kamar mandi berduaan? Boker bareng? Sialan! Awas, aku akan membuat perhitungan. Aku mengepalkan telapak tanganku. Geram!
“Iyalah, nggak mungkin dia curiga. Aku bilang uang itu untuk renovasi rumah ibu. Mana berani dia kalau sudah berhubungan dengan Ibu. Paling juga diikhlasin doang sama dia. Bodoh, sih. Ngapain juga dia pinjemin hapenya ke aku. Lagian, kan, aku tau passwordnya. Dia itu bego, password-nya semua sama; pakek tanggal lahir Yuka. Hahaha.”
Hatiku terbakar—hangus tak bersisa. rasanya sakit sekali. Ternyata seperti ini kelakuannya di belakangku. Dia menggerogoti hartaku hanya untuk perempuan tak tahu diri yang tak lain adalah sepupuku sendiri. Gila!
Tapi, benar juga kata lelaki b*jat itu. Aku memang bego. Pada dasarnya, aku mampu memaafkan segala kesalahan, kecuali satu; perselingkuhan. Tak akan pernah ada maaf untuk itu. Penghianatan adalah tanda bahwa semua telah selesai!
Tidak terdengar lagi suara bercakap-cakap, hanya samar-samar terdengar lenguhan-lenguhan kecil bercampur bunyi kucuran air dari keran. Mungkin sengaja dihidupkan untuk meredam suara. Aku yakin mereka tengah asik bercumbu.
Astaghfirullah! Aku tak sanggup membayangkannya.
Ingin rasanya kudobrak saat itu juga dan menangkap basah kelakuan b*jat keduanya, tapi urung kulakukan ketika aku melihat kunci yang tergantung di pintu kamar mandi itu.
“Bagaimana kalau kukunci saja mereka berdua di dalam?” pikirku.
Syukurlah, dalam keadaan seperti ini aku masih bisa memakai logika. Jika aku menangkap basah mereka sekarang, paling kami akan bertengkar dan langsung bercerai. Aku kehilangan uang empat puluh jutaku yang nanti akan mereka nikmati berdua.
Enak saja!
Tunggu pembalasanku!
Mereka tidak akan kubiarkan hidup tenang. Lihat, apa yang bisa kulakukan!
Pikiranku terfokus pada menyelamatkan aset dan membawa Yuka pergi. Setelah aku matang merencanakan semuanya, aku mulai beraksi. Aku mengunci pintu itu pelan-pelan. Sangat pelan.
Kalaupun mereka sadar, mereka tidak akan mengira aku yang mengunci. Pintu kamar mandi ini terbuat dari kayu jati super kokoh. Bagian kunci dan engselnya juga tak main-main kuatnya, bahkan badan kekar Mas Haris tidak akan dengan mudah mendobraknya.
Mampus!
Aku membalikkan badan dan berjalan menjauhi pintu itu. Kukunci juga pintu yang menghubungkan dapur dan ruang utama. Rumah bagian belakang memang hanya terdiri dari dapur dan kamar mandi. Dengan begitu, mereka tidak akan bisa masuk ke ruang utama dimana ada kamarku dan kamar Nisa. Itupun kalau mereka berhasil keluar dari kamar mandi.
Dari kejauhan aku masih memfokuskan pendengaran. Tidak ada reaksi, artinya mereka terlalu menikmati hingga tak sadar bahwa mereka terkunci. Aku berjalan menuju kamar Nisa. Ada hape dan dompet tergeletak di atas kasur. Aku ambil dan memasukkannya ke dalam tas. Mataku tertuju pada lemari. Aku mencari barang berharga apa saja.
Dan....
Ada bungkusan plastik hitam yang dia letakkan di pojokan lemari terpendam dalam tumpukan baju. Aku meraba dan menariknya keluar.
Tara! Ini duit!
Dengan cepat aku memasukkannya juga ke dalam tas. Kemudian aku berlari ke kamar untuk mengambil semua dokumen-dokumen penting. Semoga sertifikat rumah belum sempat dia ambil.
Aku membuka lemari dan mengambil semua dokumen tanpa memilahnya. Aku terkejut lega, sertifikat itu masih ada. Cepat-cepat kumasukkan semuanya dalam koper. Kuletakkan juga beberapa baju sekenanya. Setelah semua yakin sudah terbawa, dengan setengah berlari kutarik koper itu untuk dimasukkan dalam mobil.
Setelah beres, aku kembali ke dalam rumah untuk mengambil Yuka. Kutarik koper yang ada di atas lemari Yuka dan memasukkan ke dalamnya beberapa baju. Setelah kurasa cukup, aku menggendong Yuka tanpa membangunkannya.
Kukunci rumah dari luar. Perse*tan jika mereka nanti mati lemas di dalam kamar mandi. Kuletakkan Yuka di samping jok kemudi lalu memasangkan sit belt. Aku bergegas. Tancap gas.
***
Bab 4Setelah pertempuran sengit, Haris dan Nisa pun terkulai di dalam bathtub. Entah sudah berapa kali mereka mengulangnya. Napas mereka masih terengah-engah. Nisa bergelung manja dalam dekapan laki-laki berumur tiga puluh lima tahun itu.“Kamu memang selalu hebat, Nis....” puji Haris sambil mengecup manja kening Nisa. Salah satu tangannya asik membelai rambut, sedang tangan yang lain tengah sibuk ”berbelanja” di tubuh wanita berbadan sintal itu.Nisa hanya mengulum senyum kemudian mendaratkan bibirnya pada bibir Haris.Sepuluh menit berlalu.Setelah kelelahan dan kehabisan napas, akhirnya mereka menyerah dan sepakat untuk mengakhiri.“Kamu memang luar biasa, Nis,” kata Haris dengan mimik wajah sumringah.“Mas juga luar biasa...,” Nisa tersipu. “Aku lapar...,” tambahnya sembari melepaskan pelukan Haris kemudian duduk. Kedua tangannya sibuk mer
Bab 5Jantungku masih berdegup sangat kencang. Napasku memburu. Aku seperti baru saja berperan sebagai pemain film action. Kulihat kedua tanganku masih bergetar seperti penderita parkinson yang sedang mengemudi. Tenggorokan ini terasa sangat kering karena tidak menelan ludah beberapa saat.Aku meraih botol air mineral yang terletak di dekat tuas persneling dengan tangan kiriku. Mau tidak mau aku harus membuka botolnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang setir. Masih gemetar membuat pekerjaan sepele seperti ini menjadi sangat sulit untuk dilakukan.Astaga!Tiba-tiba air dalam botol tumpah ke wajahku karena tidak sadar lampu lalu lintas tiba-tiba menyala merah—mendadak mengerem membuat isinya otomatis muncrat keluar karena berbenturan dengan mulutku waktu m
Bab 6Mobil Aisha melaju kencang membelah jalanan kota Surabaya. Aku hanya menyandarkan kepalaku di jok mobil. Sesekali aku melirik sahabatku yang tengah sibuk memainkan setir itu. Dia memang selalu tampak keren. Hidung mancungnya menyembul di antara nosepad kacamata hitam yang dia kenakan. Wajah tirus Aisha serasi dengan rambut panjangnya yang hitam. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti dia. Selain cantik, dia juga cerdas.“Sha, aku, kok, pusing, ya?” keluhku pada Aisha yang tengah serius menyetir.“Laper, mungkin? Biasanya gitu, kan? Belum makan?” tanya Aisha tanpa menoleh ke arahku. Jalanan yang cukup padat membuatnya harus memusatkan perhatian penuh pada jalanan.“Udah. Sarapan emosi! Huwaaaaa ...! Mereka, kok, jahat banget sih, Shaaaa? Aku tuh kurang apa? Sebagai istri, aku kurang apaaaaa? Sebagai saudara, aku kurang apaaaaa? Apa salahku? Kok, mereka tega banget ngelakuin itu? Jahaaaaaaaat!” Tangisku pecah lagi untuk yang ke sekian kali.
Bab 7Pak RT bangkit dari duduknya sambil membetulkan sarungnya yang kendor.“Baiklah, kalau begitu. Saya mau mandi dulu. Bu Vi sama Bu ... siapa? Lupa belum kenalan....” tanya Pak RT sambil menoleh pada Aisha.“Aisha, Pak...!” sahut Aisha.“Ooh, Bu Aisha? Kok, sama cantiknya dengan Bu Vienetta? Kembar, ya? Hahaha.” kelakar Pak RT.Dasar Buaya! Aku dan Aisha hanya saling pandang.“Bu Vi sama Bu Aisyah tunggu di sini dulu, ya ... saya mandi sebentar, ” pinta Pak RT sambil balik badan.“Aisha, Pak ... A-I-S-H-A. Bukan Aisyah!” sahut Aisha karena merasa namanya salah disebut.“Oh, maaf ... salah, ya? Iya, Bu Aisha ....” balas Pak RT sambil tertawa, lebih tepatnya menggoda.“Harus mandi dulu, ya, Pak?” Aku menyela sebelum Pak RT berbalik badan dan melangkah pergi.“Woiya, harus! Sebagai ketua RT, saya adalah panutan warga, jadi saya harus menjaga penampilan kalau di ha
Bab 8Seketika Nisa berlari ke arahku dan bersujud. Dia menangis memeluk kakiku lalu bersimpuh di lantai.Aku melempar tatapan mematikan pada laki-laki yang sedang bertelanjang dada itu. Mas Haris tidak berani melihat ke arahku. Dia mengusap wajah dengan kedua tangannya. Entah malu atau apa.“Kalian benar-benar bedeb*h!” umpatku tajam.Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah gunting di keranjang sikat gigi yang tergantung tak jauh dari tempatku berdiri. Aku meraihnya dengan tangan kanan, kemudian mengacungkannya pada Mas Haris. Kurasakan pelukan Nisa di salah satu kakiku semakin erat. Dia menangis meraung-raung. Saat itu juga Mas haris melihat ke arahku dan mundur hingga punggungnya hampir melekat pada dinding.Aku gelap mata mengingat pengorbananku selama ini ternyata tidak ada harganya sama sekali. Tak kusangka bakal sesakit ini rasanya dihianati. Seandainya kalian berada di posisiku, mungkin akan melakukan hal y
Bab 9“Bohong!” Aku berteriak sambil menutup telinga dengan kedua tanganku. Tangisku pecah. Harga diriku benar-benar tercabik-cabik. Hatiku dimutilasi dan dicacah tak berbentuk. Hancur!Aku melangkah mendekati laki-laki tak tahu diri itu. Dan....Plak!Aku menamparnya sekuat tenaga. Mas Haris memegangi pipinya dan meringis kesakitan. Napasku memburu hingga membuat dadaku naik-turun. “Sakit?” tanyaku sinis. “Itu belum seberapa dibandingkan dengan sakit hatiku, Mas!” Aku meremas kedua telapak tanganku geram.Tiba-tiba Nisa menghambur kepadaku.“Maafkan aku, Mbak. Sungguh ini di luar kendaliku. Aku mencintai Mas Haris ... bahkan jauh sebelum kalian menikah. Aku minta maaf, Mbak. Aku sudah mencoba membunuh perasaan itu tapi nggak bisa,” ungkap Nisa, masih dengan bersimpuh di kakiku memohon ampun.“Apa?!” Aku terkesiap mendengar pengakuan yang baru saja terlontar
Aisha bergegas keluar rumah menemui sopir taksi yang sudah tiga kali memencet klakson.“Vi ... maafin aku, aku janji nggak akan melakukan kesalahan lagi. Ini tertakhir kali. Aku mohon maafkan aku. Aku khilaf,” pinta Mas Haris—masih berdiri di depan pintu kamar sambil memegangi pundaknya.Seketika Nisa menatap Mas Haris dengan tatapan nanar dan penuh kekecewaan. Entah janji manis apa yang pernah terucap dari bibir Mas Haris hingga membuat Nisa klepek-klepek dan mau melakukan apa saja untuknya. Mungkin perempuan itu tidak menyangka kalau laki-laki yang dia cintai setengah mati itu masih saja memohon ampun kepada istrinya dan menganggap bersamanya adalah sebuah kekhilafan semata. Padahal dia sudah menyerahkan semuanya.Tin! Tin! Klakson berbunyi untuk yang keempat kalinya.“Kalau sampai taxi itu pergi, artinya kalian bakal keluar dari sini dengan jalan kaki. A
“Mas, ternyata selama ini kamu cuma anggap aku sebuah kekhilafan? Iya?!” protes Nisa kepada Haris. Mulutnya mengerucut beberapa centimeter.“Ya enggak, laaah!” Haris berkilah. Bola matanya bergerak-gerak menunjukkan rasa ketidak yakinan atas apa yang dia ucapkan.“Bohong!” sergah Nisa bersungut-sungut dan mencebik bibirnya.“Udah, deh. Jangan bikin aku tambah pusing ini!” Haris mulai tidak nyaman dengan tuduhan yang Nisa layangkan padanya.“Lalu kenapa tadi bilang gitu sama Mbak Vi? Mas nyesel?!” cecar Nisa bertubi-tubi meminta penjelasan. Sesekali ia mengusap kedua pangkal lengannya karena dinginnya AC yang terasa menusuk tulang.“Aku nggak punya pilihan lain itu tadi, makanya bilang kayak gitu. Siapa tahu dengan begitu Vi mau sedikit luluh. Kan, kita nggak perlu ngalamin beginian. Malu!” papar