Part 18
Beberapa hari ini Nizar tidak menghubungiku, lebih tepatnya sejak pemakaman almarhum suami Aisha—Dia tidak lagi mengirim pesan kepadaku. Apakah dia memang sedang dekat dengan Aisha? Aisha juga tidak menghubungiku. Padahal dulu, dia selalu bercerita tentang apa saja.
Aku masih berkutat dengan pembukuan di Daebuck Cafe. Sesekali aku melongok ke depan barang kali Nizar muncul karena biasanya saat-saat makan siang begini dia tiba-tiba nongol. Berjuta tanya menguasai isi kepalaku. Jari kananku masih sibuk memutar-mutar pulpen, tangan kiri menyangga kepala, dan pandanganku jauh entah kemana.
Aroma kopi menguar ketika aku meniup isi cangkirku hingga mengeluarkan kepulan uap panas yang menghangatkan lubang hidung mungilku. Aku berharap dengan ini bisa membuat perasaanku lebih tenang. Dari tempat dudukku yang berada di sudut kafe, aku bisa melihat ke seluruh isi ruangan. Beberapa pelanggan sedang menikmati hidangan. Mataku tertuj
Bab. 1"Mas!"Mataku terbelalak melihat saldo tabungan yang sengaja aku cek melalui Mobile Banking. Reflek aku memanggil Mas Haris. Tanganku masih gemetaran memegang gawai. Jantungku mau melompat-lompat rasanya. "Jangan-jangan rekeningku kebobolan orang tak bertanggung-jawab," pikirku.Mas Haris segera menghampiriku yang masih membeku di samping wastafel dapur. Mataku tak berkedip terfokus pada aplikasi salah satu bank di layar bening itu."Ada apa, sih?" Dia datang dengan setengah berlari. Aku mendongak ke arahnya, "Uangku hilang, Mas!" Air mataku mulai menetes."Uang apa?""Saldo di rekeningku habis!" teriakku sambil menangis. Beberapa hari ini, hape Mas yang pegang, kan? Apa nggak ada notifikasi apa-apa? Ya, Allah...!" Aku masih terisak. Lututku lemas. Bukan jumlah uang yang sedikit. Hampir empat puluh juta, sisa sejuta, doang!"Owh, itu? Aku yang amb
Bab 2"Nis, titip Yuka, yaa! Katakan kalau nanti mamanya pulang agak malam. Kalau sudah bangun, segera kamu ajak mandi, terus sarapan. Jangan lupa vitaminnya. Jaga dia baik-baik. Jangan lengah!" Aku berpesan kepada Nisa--asisten rumah tanggaku, yang juga merangkap untuk menjaga Yuka--anak semata wayangku."Nggak sarapan dulu, Mbak?""Nggak usah, nanti aku makan di kedai aja."Dari mimik wajahnya, aku tahu, Nisa tengah bertanya-tanya saat sekilas melihat mataku yang bengkak segede telor rebus."Baik, Mbak...." jawabnya pelan seraya berlalu dari hadapanku menuju kamar Yuka.Dengan mata sembap karena menangis semalaman, aku berniat untuk berangkat menuju tempat usahaku. Badan masih lemas dan kepala terasa berat. Bahkan untuk membuka pintu garasi saja aku terpaksa menggunakan badanku untuk mendorongnya agar bisa bergeser."Sampai kapan aku
Bab. 3Tanganku terhenti saat hendak memutar gagang pintu. Aku seperti mendengar orang sedang bercanda. Mungkin suara itu berasal dari dapur ... atau mungkin kamar mandi. Aku fokus sejenak memastikan apa yang kudengar. Akhirnya kuputuskan mengendap-endap melangkah mendekati sumber suara untuk memuaskan rasa penasaranku itu. Dengan siapa Nisa bercanda? Setahuku dia tidak punya teman di daerah sini.Aku mengintip dari pintu dapur yang sedikit terbuka. Tidak ada siapa-siapa. Kembali aku melongokkan kepala untuk melihat kondisi sekitar dapur. Benar, tidak ada orang.Tiba-tiba aku mendengar seseorang berkata dari balik pintu kamar mandi. Aku mendekat—perlahan—jangan sampai menimbulkan suara.“Mas, makasih, ya, uangnya. Tapi Mas yakin, kan, kalau Mbak Vi enggak tahu kalau uang itu Mas kasih ke aku?”
Bab 4Setelah pertempuran sengit, Haris dan Nisa pun terkulai di dalam bathtub. Entah sudah berapa kali mereka mengulangnya. Napas mereka masih terengah-engah. Nisa bergelung manja dalam dekapan laki-laki berumur tiga puluh lima tahun itu.“Kamu memang selalu hebat, Nis....” puji Haris sambil mengecup manja kening Nisa. Salah satu tangannya asik membelai rambut, sedang tangan yang lain tengah sibuk ”berbelanja” di tubuh wanita berbadan sintal itu.Nisa hanya mengulum senyum kemudian mendaratkan bibirnya pada bibir Haris.Sepuluh menit berlalu.Setelah kelelahan dan kehabisan napas, akhirnya mereka menyerah dan sepakat untuk mengakhiri.“Kamu memang luar biasa, Nis,” kata Haris dengan mimik wajah sumringah.“Mas juga luar biasa...,” Nisa tersipu. “Aku lapar...,” tambahnya sembari melepaskan pelukan Haris kemudian duduk. Kedua tangannya sibuk mer
Bab 5Jantungku masih berdegup sangat kencang. Napasku memburu. Aku seperti baru saja berperan sebagai pemain film action. Kulihat kedua tanganku masih bergetar seperti penderita parkinson yang sedang mengemudi. Tenggorokan ini terasa sangat kering karena tidak menelan ludah beberapa saat.Aku meraih botol air mineral yang terletak di dekat tuas persneling dengan tangan kiriku. Mau tidak mau aku harus membuka botolnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang setir. Masih gemetar membuat pekerjaan sepele seperti ini menjadi sangat sulit untuk dilakukan.Astaga!Tiba-tiba air dalam botol tumpah ke wajahku karena tidak sadar lampu lalu lintas tiba-tiba menyala merah—mendadak mengerem membuat isinya otomatis muncrat keluar karena berbenturan dengan mulutku waktu m
Bab 6Mobil Aisha melaju kencang membelah jalanan kota Surabaya. Aku hanya menyandarkan kepalaku di jok mobil. Sesekali aku melirik sahabatku yang tengah sibuk memainkan setir itu. Dia memang selalu tampak keren. Hidung mancungnya menyembul di antara nosepad kacamata hitam yang dia kenakan. Wajah tirus Aisha serasi dengan rambut panjangnya yang hitam. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti dia. Selain cantik, dia juga cerdas.“Sha, aku, kok, pusing, ya?” keluhku pada Aisha yang tengah serius menyetir.“Laper, mungkin? Biasanya gitu, kan? Belum makan?” tanya Aisha tanpa menoleh ke arahku. Jalanan yang cukup padat membuatnya harus memusatkan perhatian penuh pada jalanan.“Udah. Sarapan emosi! Huwaaaaa ...! Mereka, kok, jahat banget sih, Shaaaa? Aku tuh kurang apa? Sebagai istri, aku kurang apaaaaa? Sebagai saudara, aku kurang apaaaaa? Apa salahku? Kok, mereka tega banget ngelakuin itu? Jahaaaaaaaat!” Tangisku pecah lagi untuk yang ke sekian kali.
Bab 7Pak RT bangkit dari duduknya sambil membetulkan sarungnya yang kendor.“Baiklah, kalau begitu. Saya mau mandi dulu. Bu Vi sama Bu ... siapa? Lupa belum kenalan....” tanya Pak RT sambil menoleh pada Aisha.“Aisha, Pak...!” sahut Aisha.“Ooh, Bu Aisha? Kok, sama cantiknya dengan Bu Vienetta? Kembar, ya? Hahaha.” kelakar Pak RT.Dasar Buaya! Aku dan Aisha hanya saling pandang.“Bu Vi sama Bu Aisyah tunggu di sini dulu, ya ... saya mandi sebentar, ” pinta Pak RT sambil balik badan.“Aisha, Pak ... A-I-S-H-A. Bukan Aisyah!” sahut Aisha karena merasa namanya salah disebut.“Oh, maaf ... salah, ya? Iya, Bu Aisha ....” balas Pak RT sambil tertawa, lebih tepatnya menggoda.“Harus mandi dulu, ya, Pak?” Aku menyela sebelum Pak RT berbalik badan dan melangkah pergi.“Woiya, harus! Sebagai ketua RT, saya adalah panutan warga, jadi saya harus menjaga penampilan kalau di ha
Bab 8Seketika Nisa berlari ke arahku dan bersujud. Dia menangis memeluk kakiku lalu bersimpuh di lantai.Aku melempar tatapan mematikan pada laki-laki yang sedang bertelanjang dada itu. Mas Haris tidak berani melihat ke arahku. Dia mengusap wajah dengan kedua tangannya. Entah malu atau apa.“Kalian benar-benar bedeb*h!” umpatku tajam.Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah gunting di keranjang sikat gigi yang tergantung tak jauh dari tempatku berdiri. Aku meraihnya dengan tangan kanan, kemudian mengacungkannya pada Mas Haris. Kurasakan pelukan Nisa di salah satu kakiku semakin erat. Dia menangis meraung-raung. Saat itu juga Mas haris melihat ke arahku dan mundur hingga punggungnya hampir melekat pada dinding.Aku gelap mata mengingat pengorbananku selama ini ternyata tidak ada harganya sama sekali. Tak kusangka bakal sesakit ini rasanya dihianati. Seandainya kalian berada di posisiku, mungkin akan melakukan hal y