Jadi...ini lah keadaan di apartemenku, tidak terlalu besar namun cukup untuk menampung tiga orang. Aku berkerja di tokoh baju dekat apartemenku, gajinya lumayan perbulan, kekurangannya adalah aku harus mendapat makian dari para pelanggan setiap harinya. Benar, setiap hari. Seperti sekarang.
“pokoknya aku tidak mau tau! Semua ini harus diganti dengan yang baru, masa baru sehari pakai semuanya sudah robek!” Itu orang ke sepuluh hari ini yang komplain, dia selalu komplain setiap bulannya karena semua baju yang dia beli selalu robek, dan seperti biasa aku akan selalu menjelaskan kepadanya BAHWA “Nyonya brith, maaf jika aku lancang, kami sangat menerima keluhan nyonya akan tetapi yang nyonya harus tau adalah baju yang nyonya beli adalah ukuran M dan ukuran tubuh nyonya XL karena itu bajunya selalu robek ketika dipakai oleh nyonya, ini sudah kelima belas kalinya nyonya komplain dan jika nyonya terus seperti ini nyonya hanya akan menghabiskan uang nyonya dan tidak mendapatkan keuntungan apapun. Maka dari itu aku sarankan nyonya untuk memilih ukuran XL jika ingin membeli baju disini.” dengan sangat sopan sekali aku selalu menjelaskan padanya, setiap sebulan sekali. Dan tentu saja dia selalu menjawab dengan jawaban yang sama, “jangan mengajariku cara memilih baju, kau pelayan! Besok aku akan datang lagi untuk bertemu dengan bosmu!” lalu dia pergi dengan anjingnya yang selalu dia bawa, pinggul besarnya menari kesana-kemari ketika dia berjalan Aku menghela napas pelan ketika mengingat hal itu, hari ini aku tidak bekerja jangan tanya kenapa, tentu saja ini hari libur, bodoh. Ohya, aku sampai lupa untuk memperkenalkan diri. Aku Celine Nathalia, keturunan Belanda separuh asia. Sekarang aku tinggal di New York, pergi jauh dari orang tua dan teman lama. Baik sudah cukup perkenalannya, sekarang aku akan memperkenalkan hobi ku. Aku adalah seorang gadis yang sangat suka berbelanja, aku bisa menghabiskan banyak uang dengan gajiku dalam sebulan hanya untuk membeli sebuah sepatu, tas, atau dress. Tidak ada yang salah dengan hal itu dan aku yakin kalian pun jika memiliki uang akan melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan, karena kita adalah material girl. Kita diciptakan untuk bersenang-senang didunia yang penuh kemewahan ini. Seperti saat ini yang aku lakukan adalah mencari-cari beberapa dress dan sepatu di web yang sering digunakan untuk membeli barang mewah. Banyak sekali dress yang indah disini membuatku tidak bisa memilih, seperti gaun panjang yang dibuat dari kain katun putih dan poplin sutra, tentu saja ini merek terkenal. Dior. Aku tidak bisa menguasai tanganku yang bergerak sendiri untuk mengklik pesan di sudut layar laptopku. Dan akhirnya pesanan diterima. “apa aku punya penyakit serius, sangat susah mengendalikan tangan ini.” kulirik dompetku yang berada di pinggir meja lalu dengan cepat aku mengambilnya, ketika kubuka dompet itu ternyata isinya hanya tersisa sedikit tidak cukup untuk dua bulan kedepan. lalu kuputuskan untuk mencari udara segar diluar. Namun saat aku membuka pintu, senyum diwajahku luntur ketika melihat seorang pria paruh baya yang menatap datar diriku sambil memegang selembar kertas penuh angka “kau belum bayar apartemenmu bulan ini, nona celine.” Brak! Pintu langsung kututup kembali dengan cepat, “holy shit!” sekarang apa yang harus aku lakukan! Jika keluar pria tua itu akan menahan ku dan jika aku tetap didalam pria tua itu akan tetap berdiri disana hingga aku keluar. jadi aku putuskan untuk...... Cklek! “baiklah, mr.morris sebelum anda memarahi saya, saya ingin mengucapkan kata maaf bahwa saya belum mempunyai uang untuk saat ini dan jika saya menghubungi orang tua saya untuk meminta uang maka saya akan dibuang dari keluarga jadi saya mohon untuk memberi saya waktu akhir bulan ini.” mr.morris hanya menatapku datar, lalu dia berdecih pelan, "jika akhir bulan kau tidak membayarnya maka kau harus angkat kaki dari sini." ucapnya dingin lalu berbalik pergi. ~~~ Aku berjalan menyusuri trotoar yang basah namun bersih, melintasi toko-toko kecil, beberapa kafe dengan aroma kopi menguar dari ventilasi, dan papan menu restoran yang memajang harga-harga tidak manusiawi. $14 untuk salad Caesar? Serius? Aku suka makanan enak, tapi aku juga suka hidup tenang tanpa terancam diusir dari apartemen oleh Mr. Morris karena gagal bayar sewa. "Jangan bilang aku pelit," gumamku dalam hati sambil menatap papan harga yang lain. "Aku realistis. Sangat realistis." Lalu, seperti jawaban dari langit—aku melihat penjual hotdog berdiri di sisi kiri jalan, tepat di tikungan menuju toko baju yang sudah lama tak kuperhatikan. Gerobaknya sederhana, berlapis baja mengilap, dan ada parasol merah pucat yang bergoyang ringan tertiup angin. Aroma sosis bakar dan mustard langsung menyusup ke hidungku dan mengirim sinyal bahagia ke otak. Langsung saja aku mendekat. “Hotdog satu, tanpa selada ya,” kataku singkat. Penjualnya, seorang pria paruh baya dengan kumis tipis dan senyum ramah, mengangguk cepat dan mulai bekerja. Tangannya terampil menyusun roti, memanggang sosis, lalu menaburkan saus dan mustard sesuai permintaanku. Di sela waktu menunggu, mataku iseng menyapu sekitar. Dan di sanalah aku melihatnya—selembar kertas tempelan di kaca toko baju tepat di sebelah gerobak hotdog. Warnanya putih kusam, tertempel agak miring, tapi huruf-huruf cetaknya cukup jelas untuk menarik perhatianku. Aku mendekat. Kertas itu tertulis “Lowongan Terbuka: Ashwood & Reins Corp membuka kesempatan bergabung untuk posisi Penulis Majalah Olahraga dan Editor Kreatif. Kirim CV dan portofolio ke email berikut atau hubungi nomor ini.” Tanganku refleks memegang dada. Ashwood & Reins Corp?! Mataku langsung membesar. Aku langsung mencatat nomor dan alamat email-nya dan setelah hotdog ku selesai dibuat aku langsung membayarnya, tentu saja aku aku menerimanya dengan sangat senang hati. Aku menyantap hotdog itu sambil berjalan, dengan hati yang berbunga-bunga. Bahkan meski mustard-nya kebanyakan dan saus tomatnya sedikit bocor ke tanganku, aku tak peduli. Rasanya lebih nikmat karena dibumbui oleh kemungkinan masa depan cerah yang menantiku di balik email lamaran kerja itu. aku pulang ke apartemen untuk melamar pekerjaan tersebut. Aku membuka laptopku bukan untuk menulis cerpen picisan, tapi untuk menulis surat lamaran paling serius dalam hidupku. Kutulis dengan telaten, menjelaskan pengalamanku menulis, keterampilanku dalam editing, gaya bahasaku yang dinamis dan—ya, tentu saja—kutekankan bahwa aku juga memiliki pengalaman menghadapi pelanggan menyebalkan setiap hari, karena itu pasti berguna di dunia media. Setelah selesai dan yakin tidak ada typo, kutekan tombol KIRIM. Email sent. Aku bersandar di kursi. Sekarang tinggal menunggu balasan dari emailku, berharap aku cepat mendapatkan balasannya.Hari ini setelah menyelesaikan semua pekerjaanku dan duduk berjam-jam hingga punggung dan bokongku keram, akhirnya aku bisa pulang. Kantorku sudah mulai sepi, lampu-lampu pun sudah banyak yang dimatikan, hanya tersisa beberapa karyawan yang lembur, hari ini aku tidak lembur. Aku meraih tas dan jaketku, dan berjalan perlahan kearah lift untuk turun kelantai satu. Sesampainya di lobi langkahku terhenti. Dibalik pintu kaca besar yang menghadap jalan utama, aku melihat sosok Josh yang berdiri tegap, membelakangi kantor, menatap langit malam yang mendung. Dia hanya berdiri diam disana seperti sedang menunggu seseorang. awalnya aku ragu tapi akhirnya ku beranikan diri untuk menghampirinya, "Malam pak." sapaku pelan Dia menoleh dan tersenyum kecil, "sudah selesai kerja?" tanyanya santai aku mengangguk, "iya, tapi bukankah.....hari sudah sangat malam, kenapa bapak belum pulang?" Josh tersenyum lebih lebar, "aku sedang menunggumu." aku terdiam beberapa detik. menungguku? "oh ti
Dipagi hari ini cuaca terasa dingin. Awan mendung terlihat dibalik jendela apartemenku, aku menghela napas pelan lalu berjalan untuk mengambil syalku lalu kulilitkan dileher. Setelah pesta semalam aku langsung pulang, aku bahkan tidak mendengar apa yang dipidatokan oleh Josh. Dia sempat menyebut namaku dan menyuruhku naik keatas panggung untuk berdiri disampingnya, banyak orang bertepuk tangan dan mengucapkan selamat padaku. Ku ucapkan beberapa kata terimakasih atas pujian yang kudapatkan. Aku tak tau pasti, seperti kejadian semalam terlalu cepat berlalu. Aku minum terlalu banyak semalam hingga kepalaku pusing pagi ini. Perutku terasa mual, membuatku harus kekamar mandi dua kali. aku bahkan belum sarapan, jadi kuputuskan untuk memakan roti panggang dengan isian keju dan telur goreng. Setelah mengetahui bahwa max telah mempunyai seorang istri aku merasa kesempatanku untuk mendekatinya telah pupus. Tetapi aku tidak bersalah, kan? Aku bahkan tidak tau bahwa dia telah beristri, lagipu
Aku tak tau apa yang terjadi selanjutnya. Yang aku tau adalah ketika aku terbangun, sudah banyak orang yang mengelilingiku. Aku terbaring dikursi panjang, mataku menangkap beberapa wajah yang menatapku dengan pandangan khawatir, terutama Maddie yang berlutut menatapku. "apa dia tidak apa-apa?" tanya seseorang yang aku yakin salah satu karyawan disini "mungkin, aku rasa dia hanya kelelahan.“ "malang sekali.” dan banyak lagi suara-suara yang cukup kukenali ketika pandanganku mulai jelas, aku bangkit dan duduk dikursi panjang itu, menatap Maddie meminta penjelasan. Namun Maddie hanya menggelengkan kepalanya, “aku tidak tau pasti, kau tiba-tiba saja pingsan dan ya, disinilah kau sekarang.” jelasnya Aku menatap sekeliling, rupanya banyak sekali yang khawatir padaku atau mereka hanya terlalu kepo dengan apa yang terjadi. "tidak apa. aku sudah membaik, terimakasih karena sudah khawatir padaku, aku benar-benar tidak apa-apa.” ucapku sambil menatap mereka satu persatu seolah m
Pagi itu aku berjalan lesu menuju kantor, aku yang biasanya akan tampil memukau kini hanya mengenakan kemeja putih polos dan rok hitam diatas lutut tanpa hiasan apapun. Langkahku sedikit berat, perasaan malu masih bersarang didadaku. bagaimana bisa aku salah mengirim file? itulah kenapa ibuku selalu bilang "jika lelah maka tidurlah, jangan memaksakan diri." setibanya aku dikantor, aku dapat melihat beberapa karyawan yang sudah mulai berdatangan. Kulihat resepsionis yang biasanya menyapaku ramah kini mulai sedikit tersenyum padaku walau masih belum menyapaku lagi. Aku menaiki lift untuk kelantai 5 tempat ku bekerja. Saat lift terbuka aku langsung masuk kedalam namun saat pintu lift hendak tertutup sebuah tangan menahannya, dia max. Aku langsung menghentikan tombol lift agar dia bisa masuk max menahan pintu lift lalu tersenyum padaku yang ku balas dengan senyuman juga tentunya. "terimakasih." ucapnya yang ku balas dengan anggukan kecil hari ini max terlihat lebih ceria, dia
Hari ini menurutku cuacanya sangat baik, tidak panas dan juga tidak dingin. udara cukup netral akhir-akhir ini sehingga membuatku bisa beraktivitas dengan lancar tanpa hambatan. namun anehnya ketika aku memasuki pintu kaca lobi, resepsionis yang biasanya menyapaku dengan ramah kini hanya terdiam tanpa melirikku sama sekali apakah dia sedang sakit? lalu kuputuskan untuk menyapanya duluan, "hai, pagi." sapaku seramah mungkin, namun dia hanya mengangguk kecil dan kembali dengan pekerjaannya tanpa tersenyum kepadaku Dan saat aku sampai dilantai tempat kerjaku, beberapa karyawan juga menatapku dengan tatapan yang menurutku aneh, ada yang berbisik, sementara beberapa pura-pura sibuk menatap layar komputer saat tak sengaja bertatapan denganku. langkah kakiku melambat, sepatu hak pendek terdengar nyaring ketika menyentuh lantai marmer putih. Setiba dimeja kerjaku, aku melihat Maddie yang sudah duduk di mejanya sambil meminum kopi dari Tumbler stainless miliknya. aku menaruh tas dikursi
Langit sudah mulai bewarna oren saat aku baru saja keluar dari kantor, rambutku kini sudah sangat berantakan, sudah tidak bisa terhitung beberapa kali aku menyingkirkan anak rambut yang menghalangi mata dan membuat mataku perih, hari ini sungguh sangat melelahkan. Aku berjalan menuju halte bus tempat biasa aku duduk untuk menunggu bus lewat. Harum dari kue yang dipanggang tercium hingga kehidungku, rasanya perutku meronta ingin diisi. memang saat dikantor aku hanya makan sedikit karena tugasku yang menumpuk. Aku memilih duduk dihalte dari pada berdiri seperti kebanyakan orang yang menunggu bus datang. disebelahku, duduk pria kantoran berkemeja putih yang tengah membaca sebuah Koran yang sudah kuning dibagian ujungnya, aku rasa itu bekas tumpahan teh atau kopinya, dan disebelah kananku berdiri seorang perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam seperti anak rock, kutatap anak itu dari atas sampai bawah hingga dia ikut menatapku balik lalu melotot kearahku, dengan cepat kualihkan pa