Laura sedang duduk di bangku kecil di depan sebuah salon kecil, dia datang terlalu pagi karena salon itu ternyata belum buka. Di salon ini dia sudah berjanji dengan Tristan bertemu. Tristan sendiri mengantarkan seorang pelanggan tetap ojeknya, seorang anak SD untuk di antar ke sekolah. Dia sudah di bayar bulanan hanya untuk mengantar jemput anak itu. Mereka akan menyewa sebuah baju pengantin di sini. Laura sebenarnya tak ingin melakukannya, andai dia menikahpun dia hanya mau menggunakan pakaian biasa saja. "Tidak Laura, meskipun ini pernikahan yang tidak kita cita-citakan tetapi aku ingin kamu tetap seperti pengantin yang lainnya. Aku masih mampu untuk menyewa baju pengantin yang sederhana untukmu besok." Itu yang dikatakan oleh Tristan, saat Laura mengatakan bahwa dia cukup menggunakankan sebuah gaun seadanya yang di belikan ayahnya tiga tahun sebagai hadiah natalnya. "Tak ada gunanya kak Tris membuang-buang uang untuk pernikahan yang kita tahu hanya untuk menutupi kehamilank
Laura berdiri di depan pintu gereja dalam pakaian gaun putih panjang sederhana, itu baju pengantin dengan sewa termurah yang dipilihnya. Ditangannya buket bunga plastik kecil-kecil macam bunga rumput di genggamnya erat-erat. Tidak ada seorangpun yang mengantarnya ke altar seperti pengantin kebanyakan. Ayah kandungnya entah dimana, bahkan dia tak tahu hidup atau mati. Ayah tirinya, satu-satunya yang menyayanginya, telah meninggal setahun yang lalu. Dan ibu? Laura menggeleng perlahan, dia tak berharap ibunya itu akan datang. Ibunya hanya menandatangani surat kuasa kepada seorang wali dari keluarga jauh Tristan untuk menikahkannya. Sempurna! Bukan pernikahan itu yang sempurna tetapi penderitaan Lauralah yang sungguh sempurna. Laura menggeliat kecil, baju itu terasa ketat dan membuatnya sesak nafas, pada bagian pinggangnya terasa sekali baju itu nyaris kekecilan. Mungkin karena lingkar pinggang Laura yang mulai melebar dan bayi di dalam perutnya itu mulai membesar. "Laura..." Tika,
Malam beranjak, Laura dan Tristan kembali dari gereja setelah mereka menikah. Laura sekarang benar-benar akan tinggal bersama Tristan, karenaTristan tidak ingin Laura bersama ibunya. Tristan tak ingin hal yang sama terulang lagi, sama ketika ibu Laura berusaha menjual anaknya itu pada seorang temannya. "Ibu." Panggil Laura yang tadinya termangu di teras rumah, berusaha berfikir cara menemui ibunya tetapi rumahnya terkunci rapat dari dalam. Tristan baru saja kembali dari mengantar adiknya ke terminal Bus,melihat ibunya keluar dia segera menghampiri ibunya, tentunya dia akan menuju bar dimana dia bekerja sebagai pramusaji sekaligus cleaning service itu. "Ada apa lagi?"Tanya ibu Laura dengan acuh tak acuh. "Aku sudah menikahtadi dengan kak Tris."Sahut Laura, dia tak tahu harus bagaimana memberitahu ibunya, tadinya dia berharap ibunya datang, tapi sampai seremoni itu selesai ibunya tak pernah tiba. "Apa perduliku." Ibunya melengos. Laura menghela nafasnya, dia tak lagi memaksa untu
"Laura, kenapa kamu duduk begitu lama di luar?" Tristan berdiri di depan pintu rumahnya yang memang setengah terbuka saat Laura keluar tadi. Laura terkejut dari lamunannya, dengan gugup dia berdiri, sesaat menatap ke arah pintu rumahnya sendiri. Liam tak ada lagi di balik tirai jendela, anak itu telah masuk kamar mungkin, Laura sudah menyuruhnya tidur dan mengatakan dia akan menjaga Liam dari depan, saat anak itu mngatakan dia agak takut di dalam rumah sendiri. Ibu Laura benar-benar kehilangan perasaan seorang ibu sekarang. Tindakannya semakin aneh dan kejam, Laura ingat ada kunci cadangan di dalam laci kecil di dalam lemarinya. Dia akan mengambilnya besok supaya dia bisa menemani Liam jika ibunya pergi. "Cuaca di luar dingin dan pastilah banyak nyamuk, kenapa kamu tidak masuk?" Tegur Tristan lagi, suaranya terdengar berat. Rumah di sebelah kontrakan tidak ada penghuninya, beberapa hari yang lalu penyewanya pindah dan yang paling ujung penyewanya seorang perempuan setengah baya,
"Hhhh..."Laura menaikkan alisnya dengan heran, tak mengerti hubungan bintang di langit itu dengan pertanyaannya. "Namanya Kejora..." "Kejora?" "Aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis, pada saat aku SMA, namanya Kejora." Mata Tristan tak lepas dari langit, dimana ada satu bintang yang terlihat berkerdip paling terang. "Dia gadis yang sangat baik, meski terlihat sombong di mata teman-temanku. Mungkin karena dia terlahir dari keluarga kaya. Aku jatuh cinta padanya, pada pandangan pertama. Sayangnya, dia tak seperti itu padaku. Dia tak perduli denganku..." Tristan merapikan letak kacamatanya, tersenyum sendiri. Seolah cerita itu terasa sangat lekat di ingatannya. "Tahukah, kamu...satu tahun mengenalnya, sekelas dengannya aku hampir putus asa. Tapi, anehnya saat menjelang kelas 3 tiba-tiba dia berubah sikap terhadapku. Kejora tiba-tiba merespon semua perhatian yang kuberikan padanya. Bahkan dialah yang menyatakan cinta pertama kali padaku." "Dia...menyatakan cinta pada kak Tri
Pernikahan Laura dan Tristan memasuki bulan pertama. Dan seperti janji Tristan, dia benar-benar tak menyentuh Laura sedikitpun. Mereka berdua memang tidur sekamar tetapi mereka tidak tidur seranjang. Tristan akan menggelar bed cover di lantai. Setiap hari, Tristan pagi-pagi berangkat sebagai driver ojek online, sementara Laura tak lagi bekerja di Laundri karena perutnya sudah terlihat cukup jelas membesar. Bukan karena tempatnya bekerja tidak menerima tetapi Tristan melarangnya bekerja terlalu berat. karena di trimester kedua Laura terlihat sekali sangat mudah lelah. Laura hanya memasak dan mengurus rumah. Sekarang, Liam juga dalam pengawasan Laura karena ibunya semakin hari semakin tak perduli dengan rumah. Dia kadang bahkan tak pulang-pulang hingga berhari-hari. Laura pernah mencarinya karena kuatir, dan menemukan ibunya sedang tidur bersama seorang laki-laki, di sebuah kamar motel. Bukannya menyadari apa yang dilakukannya, Laura malah di usirnya dengan kasar disertai sumpah se
Laura mematung di depan kamar ibunya, setelah berbicara panjang lebar dengan Tristan malam sebelumnya, Laura memutuskan untuk meminta saran ibunya. Tristan mendapatkan kabar dari adiknya di kota sebelah ada lowongan pekerjaan menjadi seorang sopir dengan gaji yang jauh menjanjikan dari menjadi seorang ojek online di sini. Dosen adik Tristan itu mempunyai seorang teman, istri dari seorang CEO katanya, sangat membutuhkan sopir pribadi karena sopir sebelumnya berhenti. Dia kembali ke kampungnya bersama keluarganya. Tristan mengajak Laura untuk ikut dengannya, pindah ke kota sebelah, mengingat mereka adalah suami istri dalam tanda kutip saja maka Tristan tak memaksa jika Laura tak ingin ikut dengannya. Tetapi, Tristan tetap merasa bertanggung jawab dengan Laura karena itu dia menawarkan Laura untuk mengikuti dirinya. Laura menatap pintu kamar ibunya yang tertutup tetapi ada celah di pintu yang menandakn pintu itu tidak di kunci. Saat tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu tiba-tiba
"Oh, ya...dan lagi, sekali ibu berbaring di situ, ibu tak perlu memikirkan sewa rumah ini sampai bulan depan." "Ugh..." Laura meringis, airmatanya akhirnya tumpah, betapa pedihnya persaan Laura saat mendengar ibunya rela melakukan perbuatan hina ini hanya demi uang sewa rumahnya. "Ibu...ibu tak harus melakukannya." Ratap Laura, dia mentap lekat wajah ibunya itu dengan kesedihan, sekarang dia benar-benar bingung memutuskan, apakah dia harus pergi bersama Tristan atau tinggal bersama ibunya dan mengurus Liam. "Apa urusanmu denganku? bukankah kamu sudah memilih hidup sendiri? kamu sudah dewasa dan tak perlu orang lain? Kamu tak punya hak mengatur hidupku.""Aku adalah anakmu?""Oh, ya? sejak kapan kamu ingat kalau aku adalah ibumu, hah?" "Ibu?""Sejak kamu memutuskan menikah dengan si kurang ajar Tristan itu, ibu rasa kita sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Suamimu yang superhero itu, dia telah sok mengancamku dan mepermalukan aku. Jangan harap aku akan melihat padanya. Selama kamu