LOGINBAB 5 MEMBENCI SEJARAH
Yorkshire .... Di sudut utara Inggris, tersembunyi sebuah lembah perbukitan tua yang setia memeluk keindahan abadi dari atmosfer berabad-abad silam. Nama Yorkshire terdengar melankolis seperti tajuk dari puisi sejarah, menggambarkan keindahan masa lampau dalam kanvas alam yang memukau tak tersentuh waktu. Membentang dari Yorkshire Dales yang berbukit lembut dengan domba-domba. Hingga North York Moors yang menyambut bersama hamparan semak ungu dan padang liar dramatis, tempat kabut pagi menari di atas bebatuan purba. Yorkshire bukan sekadar tempat. Ia adalah perasaan tenang, megah, dan dalam diamnya, menyimpan banyak cerita sejarah. Tanah tua yang menjadi saksi dari banyak penaklukan. Waktu berlalu, dan sejarah membentuk karakter Yorkshire. Setiap wilayah membawa warna dan nadanya sendiri, namun tetap berpadu dalam harmoni khas Inggris lama. Di desa-desa kecil, kehidupan tetap berjalan pelan, setia pada ritme alam dan musim seperti jendela ke masa lalu. Burung-burung berkicau pelan di antara dinding-dinding tua yang telah ada lebih lama dari ingatan siapa pun yang sekarang hidup di sana. Nuansa pedesaan yang tenang, tidak tergesa-gesa oleh waktu. Yorkshire tidak hanya cantik, ia juga tua dan bijak. Dan seperti setiap kisah yang terlahir dari tanah dengan sejarah panjang, Yorkshire akan mengubah siapa pun yang berani membuka hatinya. Bahkan seseorang yang belum pernah mengenal Yorkshire akan segera jatuh cinta. Yorkshire bukan sekadar latar belakang cerita. Ia adalah tokoh utama dan ia sedang menunggu seseorang untuk kembali pulang.… ****** Aron berdiri, berbalik, menatap lanskap luar jendela. Dedaunan hijau muda bergetar dalam cahaya sore. Mata birunya menatap jauh, tapi tidak fokus. Seperti menyaksikan sesuatu yang tak ada di depan mata. Yorkshire membuat waktu berlalu lambat. Suasana terlalu sunyi untuk pria secepat dan setegas Aron Loghan. Tidak ada suara dering telepon berulang, tak ada rapat digital, tak ada laporan keuangan yang harus disetujui sebelum matahari tenggelam. Hanya ada keributan suara burung, dinding batu tua, dan kebencian pada langit yang mulai dirayapi awan gelap. Sepertinya hujan akan turun dan Aron tidak menyukai hujan. Sepanjang hari Aron lebih banyak menghabiskan waktu berdiri diam di depan jendela ruang baca lantai dua. Pandangannya jauh menembus padang luas dan perbukitan Yorkshire yang seperti tak pernah berubah sejak ia masih anak-anak. Namun sekarang matanya tidak menyimpan kekaguman. Hanya dingin. Hanya sunyi. Hanya tatapan kosong seorang pria yang menyaksikan kebencian tak kasat mata. Dari balik pintu yang setengah terbuka, Geby memperhatikan dalam diam. “Dulu dia anak yang periang,” bisiknya lirih. Jeremy yang tengah duduk di kursi di belakangnya, mengangkat kepalanya pelan. “Dia suka berbicara dengan siapa saja. Bahkan tukang kebun sekalipun.” Geby mengingat masa kecil Aron yang manis. “Dia suka duduk bersama para pelayan di dapur, mengobrol tanpa batasan. Kau ingat itu?” Suara Geby nyaris seperti gumaman rindu yang hancur oleh waktu. Jeremy mendengus ringan, tanpa komentar. “Lalu tiba-tiba dia jadi seperti ini...” ada penyesalan menggantung pada suara seorang ibu. “Kapan tepatnya dia berubah?” tanya Geby, setengah kepada dirinya sendiri. Jeremy menggeleng tenang tapi mulai ikut berpikir. “Mungkin saat dia ke universitas. Atau mungkin sebelumnya." Geby melanjutkan penyesalannya. "Kita terlalu sibuk membanggakan keberhasilannya sampai lupa menanyakan hatinya.” Geby menoleh Jeremy, lalu menarik napas dalam. “Aku ingin putraku kembali seperti dulu.” Dan untuk itu, Geby telah menyusun rencana cadangan. Sore itu, ketika awan mulai menebal dan gerimis tipis menyapu Yorkshire, ponsel Aron bergetar di atas meja marmer tua. Nama yang muncul di layar membuat alisnya bergerak sedikit. Chatrine. “Ya?” Aron menjawab singkat. “Mr. Loghan...” suara Chatrine terdengar canggung, tapi tetap tenang. “Saya... sedang berada di Yorkshire atas undangan ibu Anda. Saya kira sudah sampai, tapi rupanya saya tersesat. GPS tidak bisa membaca jalur pedesaan. Supir taksi dari bandara membawa saya di sebuah pertigaan, hanya ada ladang dan domba.” Aron diam sejenak, dia terkejut. Tentu saja. Ibunya pasti akan membuat kejutan dan kali ini dia mengundang Chatrine ke tempat terpencil seorang diri. “Kau pergi ke mari dengan penerbangan komersil?” Suara Aron masih terjaga, dingin, tenang. “Ibu Anda memberi undangan mendadak dan saya harus datang segera.” Geby menyukai wanita seperti Chatrine, cantik, cerdas, dan sangat mandiri. Sedikit banyak Chatrine mengingatkan diri Geby sendiri ketika masih muda dan bekerja untuk James. “Minta supir taksi utuk membawamu ke perkotaan terdekat. Aku akan suruh supir menjemputmu.” Namun begitu Aron menutup telepon, suara Geby menyela dari balik bahunya. “Kenapa bukan kau saja yang menjemputnya?” Aron menoleh tajam. “Aku? Di luar sedang hujan.” “Hanya gerimis. Lagipula, kau tidak alergi air.” Geby tersenyum manis, tapi sorot matanya tajam dan cerdik. “Bayangkan wanita seperti Chatrine sedang panik sendirian ditempat asing.” “Mom, kau yang mengundangnya tanpa konfirmasi." Aron mengingatkan tindakan ibunya yang kali ini dia anggap ceroboh. “Aron.” Suara Geby melembut tapi tetap mengikat. “Dia datang karena undanganku. Sekretaris mu bukan cuma wanita cerdas dan cekatan, dia wanita yang setia. Karena mematuhi perintahku dia sampai tersesat. Apa kau tidak bisa menjemputnya sebagai permintaan maaf dari ibumu?" Aron mulai bisa membaca arah dukungan Geby. "Jemput dia sebagai laki-laki, bukan sebagai tuan besar.” Aron menghela napas berat. Dia ingin membantah. Tapi Aron tahu, ini bukan tentang Chatrine. Ini tentang harga dirinya yang sedang ditantang. Walaupun enggan dengan hujan, Aron pergi mengambil kunci mobil, mengambil jaket kulit, dan melangkah keluar dari zona dinginnya demi Chatrine. Mobil Range Rover hitam menggilas jalanan berbatu yang masih basah oleh gerimis sore. Wiper menyapu perlahan, memperlihatkan pemandangan ladang yang perlahan diselimuti kabut tipis. Chatrine mengirim pesan, sebuah nama restoran di kota kecil pinggiran. ******* Mobil Range Rover hitam berhenti di depan sebuah restoran batu tua dengan jendela kayu kecil yang hangat menyala dari dalam. Terletak di pinggir jalanan sempit desa tua Yorkshire, tempat itu tampak seperti rumah peristirahatan musim dingin yang tertinggal dari cerita abad ke-18. Aroma kayu basah dan embun tua merayap di udara, menggambarkan betapa jauh Chatrine telah tersesat dari peta moderen. Di bawah atap teras kayu, Chatrine berdiri memeluk tubuhnya sendiri. Rambut pirangnya agak kusut karena angin, mantel krem-nya basah di bagian bawah. Dia tampak mencolok di antara latar bangunan klasik. Cantik dan modern, tapi kedinginan dan bingung. Aron turun dari mobil, menghampiri wanita cantik itu dengan langkah cepat tanpa banyak bicara. Jaket kulit yang dikenakannya segera ia lepas dan disampirkan di pundak Chatrine tanpa permisi. “Kau akan beku berdiri di luar seperti ini.” Chatrine mendongak, terkejut bukan main. "Anda datang sendiri?" “Masuklah ke mobil. Pemanasnya menyala.” Suara Aron tetap datar, tapi gesturnya menghangatkan. Chatrine menurut patuh tanpa perdebatan, tapi matanya masih menyimpan keterkejutan. Selama Chatrine bekerja dengan Aron Loghan, belum pernah sekalipun pria itu menunjukkan perhatian personal. Tak ada senyum basa-basi, tak ada sentuhan manusiawi. Aron selalu dingin. Profesional. Tertutup. Tapi sore ini, ada celah kecil yang terbuka. Begitu Chatrine masuk ke dalam mobil, Aron melangkah masuk ke dalam restoran. Ia ingin menyelesaikan pembayaran Chatrine yang tertunda akibat kepanikan. Bangunan restoran kecil itu bernuansa pedesaan hangat. Dinding batu, rak kayu berisi pot teh tua, dan aroma pie apel menyebar dari dapur kecil di belakang. Aron menuju meja kasir. Seorang pelayan wanita datang menyambut dengan catatan tagihan di tangannya. Seketika waktu seakan berhenti. Wanita itu memiliki rambut panjang berwarna gelap, diikat rapi. Mata kelabunya memancarkan kecantikan yang sangat familiar. “Ini tagihannya, Sir,” ucapnya ramah. Aron membeku. Suara wanita itu, senyumnya, matanya tidak pernah berubah. Tapi dia menatap Aron seperti orang asing. Tidak ada pengakuan, tidak ada kegugupan. Hanya seorang pelayan yang melayani pelanggan baru. Aron menyerahkan uang tunai lebih banyak dari yang seharusnya, nyaris berlebihan. "Ambil semua sisanya." Wanita itu tertegun. “T-Terima kasih... Anda terlalu murah hati.” Aron menatapnya untuk detik terakhir. Matanya tidak membenci, tidak mencintai... hanya kosong. Tapi Aron Loghan tetap tidak dikenali. Aron segera berbalik, melangkah cepat keluar restoran. Begitu ia masuk ke mobil, Chatrine menoleh. "Anda baik-baik saja?" Aron menyalakan mesin. “Kenapa tidak?” Tatapannya tajam ke depan, namun wajahnya lebih gelap dari hujan yang mulai turun deras.BAB 7 TIDAK MUDAH DITEBAK Ruang makan keluarga Loghan tidak hanya megah, tapi juga hangat. Lilin-lilin tinggi menyala di atas meja kayu ek tua, memantulkan cahaya ke perabot makan perak antik dan kristal mahal yang tersusun rapi di sekeliling meja panjang. Aroma panggangan domba rosemary bercampur dengan kayu manis dari pai apel buatan dapur keluarga, menyatu seperti nostalgia masa kecil yang nyaman.Geby duduk di ujung meja, mengenakan gaun hitam sederhana tapi elegan. Wajahnya terlihat lebih muda malam ini. Bahagia. Pandangannya bolak-balik antara Aron dan Chatrine, lalu sesekali bertemu dengan mata Jeremy yang ikut menyimak pasangan muda di hadapan mereka.Malam ini Aron Loghan nampak berbeda. Ia tidak membisu seperti biasanya. Ia tidak menghilang setelah makan suap pertama. Bahkan, ia beberapa kali menoleh ke arah Chatrine. Memberi komentar ringan. Bahkan hampir tersenyum.“Jadi, apa kau tidak keberatan ikut tinggal di sini selama beberapa hari?” tanya Aron, suaranya tenang namun
BAB 6 DENDAM BERKOBAR Gerimis terus turun perlahan saat Range Rover melaju menyusuri jalanan sempit Yorkshire yang sepi. Di kursi kemudi, Aron terdiam. Sorot matanya kosong menatap jalan, namun pikirannya tak berada di sana.Kilatan wajah itu... mata kelabu dan rambut gelap yang begitu ia kenal kembali membakar lapisan ingatan yang telah berusaha Aron kubur bertahun-tahun.Eva.Nama itu menghantam dadanya lebih keras daripada suara hujan di atap mobil.*****Dua puluh tiga tahun lalu – Yorkshire, InggrisAron Loghan masih remaja, tapi bahkan pada usia 15 tahun, dia sudah dibesarkan dengan disiplin keras dan ekspektasi tinggi.Sebagai calon pewaris keluarga Loghan, Aron harus mendapat segalanya yang terbaik termasuk pendidikan. Namun pada usia itu, dia justru memberontak. Aron meminta untuk bersekolah di sekolah lokal. Sebuah institusi yang sebenarnya dimiliki oleh yayasan keluarganya sendiri.Aron tidak ingin fasilitas khusus. Tidak ingin kendaraan mewah. Tidak ingin pengasuh, pengaw
BAB 5 MEMBENCI SEJARAH Yorkshire .... Di sudut utara Inggris, tersembunyi sebuah lembah perbukitan tua yang setia memeluk keindahan abadi dari atmosfer berabad-abad silam. Nama Yorkshire terdengar melankolis seperti tajuk dari puisi sejarah, menggambarkan keindahan masa lampau dalam kanvas alam yang memukau tak tersentuh waktu. Membentang dari Yorkshire Dales yang berbukit lembut dengan domba-domba. Hingga North York Moors yang menyambut bersama hamparan semak ungu dan padang liar dramatis, tempat kabut pagi menari di atas bebatuan purba. Yorkshire bukan sekadar tempat. Ia adalah perasaan tenang, megah, dan dalam diamnya, menyimpan banyak cerita sejarah. Tanah tua yang menjadi saksi dari banyak penaklukan. Waktu berlalu, dan sejarah membentuk karakter Yorkshire. Setiap wilayah membawa warna dan nadanya sendiri, namun tetap berpadu dalam harmoni khas Inggris lama. Di desa-desa kecil, kehidupan tetap berjalan pelan, setia pada ritme alam dan musim seperti jendela ke masa lalu. Buru
BAB 4 RENCANA GEBYGeby menyambut putranya di ambang pintu. Ia tidak berlari memeluk, tidak menangis dramatik, cukup berdiri anggun dengan senyum tenang yang hanya bisa dilakukan oleh wanita sekuat dan seanggun dia.“Kau pulang,” ucapnya lembut, seolah nada itu menyimpan sepuluh tahun penantian.“Karena kau yang minta,” jawab Aron singkat. Suaranya datar. Dingin seperti angin Yorkshire yang menerpa dari balik jendela kaca besar.“Kau tidak perlu menunggu aku sakit untuk kembali ke rumahmu sendiri.”Aron memandangi ibunya, cukup lama untuk menyadari bahwa tak ada tanda-tanda sakit serius. Tidak ada wajah yang mengerut lebih dalam. Tidak ada kantung mata letih atau tubuh yang melemah. Geby tetap sama, cantik, kuat, dan berbahaya dalam kecerdasannya."Kau terlihat lebih sehat daripada suara di telepon.” ucap Aron, nada suaranya datar.Geby menatap tajam. “Karena aku tidak pernah benar-benar sakit, Aron.”Aron mendengus kecil, ekspresi di wajahnya nyaris tidak berubah. “Jadi ini semua han
BAB 3 PULANG KE YORKSHIRE Musim semi selalu berhasil membangkitkan Yorkshire dari tidur panjang musim dingin dengan cara yang megah dan memukau. Langit membentang bersih, jernih seperti kaca safir. Awan-awan putih menggantung ringan seperti bulu domba. Ladang-ladang membentang luas bak permadani hijau, dibingkai oleh tembok batu kering yang sudah berdiri sejak berabad-abad lalu. Bunga bluebell dan primrose bermekaran liar di sepanjang jalan menuju tanah kelurga Loghan. Semburat warna ungu dan kuning yang kontras dengan hijau rumput, menghampar seperti permadani raksasa di bawah naungan langit. Di kejauhan, lembah-lembah terbuka dilintasi aliran sungai kecil berkelok yang jernih memantulkan kilau mentari. Domba-domba putih tersebar seperti kapas hidup di padang hijau, melenguh tenang, tak terusik waktu. Langit, tanah, dan udara berpadu menjadi satu harmoni yang menenangkan, nyaris seperti lukisan pastoral yang tak pernah pudar. Mobil hitam melaju mulus membelah satu- satunya jal
BAN 2 GEBYProses seleksi berjalan intens. Chatrine duduk tegak di ruang rapat pribadi lantai 85, di hadapannya deretan wanita berpenampilan mengesankan. Semuanya cantik, cerdas, dan memiliki latar pendidikan mengesankan. Beberapa berasal dari keluarga diplomat, lainnya doktor muda dari universitas Ivy League. Kriteria yang Aron tetapkan dijaga ketat.* Tidak boleh terlalu muda.* Tidak boleh terlalu ambisius.* Tidak boleh terlalu haus sorotan.Namun, semakin banyak yang duduk di hadapannya, semakin hampa perasaan Chatrine.Tak satu pun dari mereka yang cukup memenuhi kriteria.Chatrine sedang memeriksa berkas salah satu kandidat saat pintu lift pribadi berbunyi. Seorang wanita elegan muncul, berjalan anggun dengan aura yang langsung menyita perhatian seluruh ruangan.Gabriela Loghan.Rambut gelapnya disanggul rapi, matanya kelabu tajam penuh wibawa. Meski usianya sudah mendekati enam puluh, Geby tetap terlihat menawan dengan mantel krem panjang dan syal sutra halus di leher. Geby t







