Home / Romansa / DENDAM CINTA MASA LALU / BAB 5 MEMBENCI SEJARAH 

Share

BAB 5 MEMBENCI SEJARAH 

Author: Jemyadam
last update Huling Na-update: 2025-10-22 19:55:44

BAB 5 MEMBENCI SEJARAH

Yorkshire ....

Di sudut utara Inggris, tersembunyi sebuah lembah perbukitan tua yang setia memeluk keindahan abadi dari atmosfer berabad-abad silam. Nama Yorkshire terdengar melankolis seperti tajuk dari puisi sejarah, menggambarkan keindahan masa lampau dalam kanvas alam yang memukau tak tersentuh waktu. Membentang dari Yorkshire Dales yang berbukit lembut dengan domba-domba. Hingga North York Moors yang menyambut bersama hamparan semak ungu dan padang liar dramatis, tempat kabut pagi menari di atas bebatuan purba. Yorkshire bukan sekadar tempat. Ia adalah perasaan tenang, megah, dan dalam diamnya, menyimpan banyak cerita sejarah.

Tanah tua yang menjadi saksi dari banyak penaklukan. Waktu berlalu, dan sejarah membentuk karakter Yorkshire. Setiap wilayah membawa warna dan nadanya sendiri, namun tetap berpadu dalam harmoni khas Inggris lama. Di desa-desa kecil, kehidupan tetap berjalan pelan, setia pada ritme alam dan musim seperti jendela ke masa lalu. Burung-burung berkicau pelan di antara dinding-dinding tua yang telah ada lebih lama dari ingatan siapa pun yang sekarang hidup di sana. Nuansa pedesaan yang tenang, tidak tergesa-gesa oleh waktu.

Yorkshire tidak hanya cantik, ia juga tua dan bijak.

Dan seperti setiap kisah yang terlahir dari tanah dengan sejarah panjang, Yorkshire akan mengubah siapa pun yang berani membuka hatinya. Bahkan seseorang yang belum pernah mengenal Yorkshire akan segera jatuh cinta.

Yorkshire bukan sekadar latar belakang cerita. Ia adalah tokoh utama dan ia sedang menunggu seseorang untuk kembali pulang.…

******

Aron berdiri, berbalik, menatap lanskap luar jendela. Dedaunan hijau muda bergetar dalam cahaya sore. Mata birunya menatap jauh, tapi tidak fokus. Seperti menyaksikan sesuatu yang tak ada di depan mata.

Yorkshire membuat waktu berlalu lambat. Suasana terlalu sunyi untuk pria secepat dan setegas Aron Loghan. Tidak ada suara dering telepon berulang, tak ada rapat digital, tak ada laporan keuangan yang harus disetujui sebelum matahari tenggelam. Hanya ada keributan suara burung, dinding batu tua, dan kebencian pada langit yang mulai dirayapi awan gelap.

Sepertinya hujan akan turun dan Aron tidak menyukai hujan.

Sepanjang hari Aron lebih banyak menghabiskan waktu berdiri diam di depan jendela ruang baca lantai dua. Pandangannya jauh menembus padang luas dan perbukitan Yorkshire yang seperti tak pernah berubah sejak ia masih anak-anak. Namun sekarang matanya tidak menyimpan kekaguman. Hanya dingin. Hanya sunyi. Hanya tatapan kosong seorang pria yang menyaksikan kebencian tak kasat mata.

Dari balik pintu yang setengah terbuka, Geby memperhatikan dalam diam.

“Dulu dia anak yang periang,” bisiknya lirih.

Jeremy yang tengah duduk di kursi di belakangnya, mengangkat kepalanya pelan.

“Dia suka berbicara dengan siapa saja. Bahkan tukang kebun sekalipun.” Geby mengingat masa kecil Aron yang manis.

“Dia suka duduk bersama para pelayan di dapur, mengobrol tanpa batasan. Kau ingat itu?” Suara Geby nyaris seperti gumaman rindu yang hancur oleh waktu.

Jeremy mendengus ringan, tanpa komentar.

“Lalu tiba-tiba dia jadi seperti ini...” ada penyesalan menggantung pada suara seorang ibu.

“Kapan tepatnya dia berubah?” tanya Geby, setengah kepada dirinya sendiri.

Jeremy menggeleng tenang tapi mulai ikut berpikir.

“Mungkin saat dia ke universitas. Atau mungkin sebelumnya." Geby melanjutkan penyesalannya. "Kita terlalu sibuk membanggakan keberhasilannya sampai lupa menanyakan hatinya.”

Geby menoleh Jeremy, lalu menarik napas dalam. “Aku ingin putraku kembali seperti dulu.”

Dan untuk itu, Geby telah menyusun rencana cadangan.

Sore itu, ketika awan mulai menebal dan gerimis tipis menyapu Yorkshire, ponsel Aron bergetar di atas meja marmer tua.

Nama yang muncul di layar membuat alisnya bergerak sedikit. Chatrine.

“Ya?” Aron menjawab singkat.

“Mr. Loghan...” suara Chatrine terdengar canggung, tapi tetap tenang. “Saya... sedang berada di Yorkshire atas undangan ibu Anda. Saya kira sudah sampai, tapi rupanya saya tersesat. GPS tidak bisa membaca jalur pedesaan. Supir taksi dari bandara membawa saya di sebuah pertigaan, hanya ada ladang dan domba.”

Aron diam sejenak, dia terkejut.

Tentu saja. Ibunya pasti akan membuat kejutan dan kali ini dia mengundang Chatrine ke tempat terpencil seorang diri.

“Kau pergi ke mari dengan penerbangan komersil?” Suara Aron masih terjaga, dingin, tenang.

“Ibu Anda memberi undangan mendadak dan saya harus datang segera.”

Geby menyukai wanita seperti Chatrine, cantik, cerdas, dan sangat mandiri. Sedikit banyak Chatrine mengingatkan diri Geby sendiri ketika masih muda dan bekerja untuk James.

“Minta supir taksi utuk membawamu ke perkotaan terdekat. Aku akan suruh supir menjemputmu.”

Namun begitu Aron menutup telepon, suara Geby menyela dari balik bahunya.

“Kenapa bukan kau saja yang menjemputnya?”

Aron menoleh tajam. “Aku? Di luar sedang hujan.”

“Hanya gerimis. Lagipula, kau tidak alergi air.” Geby tersenyum manis, tapi sorot matanya tajam dan cerdik. “Bayangkan wanita seperti Chatrine sedang panik sendirian ditempat asing.”

“Mom, kau yang mengundangnya tanpa konfirmasi." Aron mengingatkan tindakan ibunya yang kali ini dia anggap ceroboh.

“Aron.” Suara Geby melembut tapi tetap mengikat. “Dia datang karena undanganku. Sekretaris mu bukan cuma wanita cerdas dan cekatan, dia wanita yang setia. Karena mematuhi perintahku dia sampai tersesat. Apa kau tidak bisa menjemputnya sebagai permintaan maaf dari ibumu?"

Aron mulai bisa membaca arah dukungan Geby.

"Jemput dia sebagai laki-laki, bukan sebagai tuan besar.”

Aron menghela napas berat. Dia ingin membantah. Tapi Aron tahu, ini bukan tentang Chatrine. Ini tentang harga dirinya yang sedang ditantang.

Walaupun enggan dengan hujan, Aron pergi mengambil kunci mobil, mengambil jaket kulit, dan melangkah keluar dari zona dinginnya demi Chatrine.

Mobil Range Rover hitam menggilas jalanan berbatu yang masih basah oleh gerimis sore. Wiper menyapu perlahan, memperlihatkan pemandangan ladang yang perlahan diselimuti kabut tipis.

Chatrine mengirim pesan, sebuah nama restoran di kota kecil pinggiran.

*******

Mobil Range Rover hitam berhenti di depan sebuah restoran batu tua dengan jendela kayu kecil yang hangat menyala dari dalam. Terletak di pinggir jalanan sempit desa tua Yorkshire, tempat itu tampak seperti rumah peristirahatan musim dingin yang tertinggal dari cerita abad ke-18. Aroma kayu basah dan embun tua merayap di udara, menggambarkan betapa jauh Chatrine telah tersesat dari peta moderen.

Di bawah atap teras kayu, Chatrine berdiri memeluk tubuhnya sendiri. Rambut pirangnya agak kusut karena angin, mantel krem-nya basah di bagian bawah. Dia tampak mencolok di antara latar bangunan klasik. Cantik dan modern, tapi kedinginan dan bingung.

Aron turun dari mobil, menghampiri wanita cantik itu dengan langkah cepat tanpa banyak bicara. Jaket kulit yang dikenakannya segera ia lepas dan disampirkan di pundak Chatrine tanpa permisi.

“Kau akan beku berdiri di luar seperti ini.”

Chatrine mendongak, terkejut bukan main. "Anda datang sendiri?"

“Masuklah ke mobil. Pemanasnya menyala.” Suara Aron tetap datar, tapi gesturnya menghangatkan.

Chatrine menurut patuh tanpa perdebatan, tapi matanya masih menyimpan keterkejutan. Selama Chatrine bekerja dengan Aron Loghan, belum pernah sekalipun pria itu menunjukkan perhatian personal. Tak ada senyum basa-basi, tak ada sentuhan manusiawi. Aron selalu dingin. Profesional. Tertutup.

Tapi sore ini, ada celah kecil yang terbuka.

Begitu Chatrine masuk ke dalam mobil, Aron melangkah masuk ke dalam restoran. Ia ingin menyelesaikan pembayaran Chatrine yang tertunda akibat kepanikan.

Bangunan restoran kecil itu bernuansa pedesaan hangat. Dinding batu, rak kayu berisi pot teh tua, dan aroma pie apel menyebar dari dapur kecil di belakang.

Aron menuju meja kasir. Seorang pelayan wanita datang menyambut dengan catatan tagihan di tangannya.

Seketika waktu seakan berhenti.

Wanita itu memiliki rambut panjang berwarna gelap, diikat rapi. Mata kelabunya memancarkan kecantikan yang sangat familiar.

“Ini tagihannya, Sir,” ucapnya ramah.

Aron membeku. Suara wanita itu, senyumnya, matanya tidak pernah berubah. Tapi dia menatap Aron seperti orang asing. Tidak ada pengakuan, tidak ada kegugupan. Hanya seorang pelayan yang melayani pelanggan baru.

Aron menyerahkan uang tunai lebih banyak dari yang seharusnya, nyaris berlebihan.

"Ambil semua sisanya."

Wanita itu tertegun. “T-Terima kasih... Anda terlalu murah hati.”

Aron menatapnya untuk detik terakhir. Matanya tidak membenci, tidak mencintai... hanya kosong. Tapi Aron Loghan tetap tidak dikenali.

Aron segera berbalik, melangkah cepat keluar restoran.

Begitu ia masuk ke mobil, Chatrine menoleh.

"Anda baik-baik saja?"

Aron menyalakan mesin. “Kenapa tidak?”

Tatapannya tajam ke depan, namun wajahnya lebih gelap dari hujan yang mulai turun deras.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nadya Karima
mulaii seruuuu
goodnovel comment avatar
Princess Syeila
pas di sini ku kira mau peluk Chaterine ooh ternyata ada dendam kesumat dr masa lalu.. cerita kak jem emang ga bisa di tebak,seru menantang
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • DENDAM CINTA MASA LALU    BAB 72 BIMBANG DAN LELAH

    BAB 72 BIMBANG DAN LELAHBegitu pintu lift lobi hotel terbuka dengan suara desis lembut. Chatrine sudah berdiri menunggu di ujung lobi.Wanita itu tampak rapi, profesional, dengan mantel abu-abu pas di badan dan sepatu hak tinggi hitam mengilat. Rambut pirangnya disanggul rapi, bibirnya mengulas senyum tenang yang sudah terlalu terbiasa dengan krisis pagi bagi lelaki berbahaya.Wajah tajam Aron Loghan masih seperti biasa, tapi kali ini terlihat lebih lelah. Rambutnya sedikit kusut, matanya sembab namun tetap menyimpan sorot dingin yang tak pernah bisa ditebak.Tanpa banyak bicara, Chatrine langsung menghampiri bosnya dengan cekatan. Wanita cantik itu menyodorkan jaket kulit hitam dan sebuah kacamata hitam dari Dior yang dia keluarkan dari dalam tas tangan.“Terlalu banyak cahaya di luar untuk kepala yang sedang berdenyut.”Nada bicaranya halus, namun padat. Suara sekretaris pribadi yang sudah terlatih mengendalikan semua kekacauan pria sekelas Aron Loghan.Aron menerima jaket dan kaca

  • DENDAM CINTA MASA LALU    BAB 71 KECEMASAN EVANA

    BAB 71 KECEMASAN EVANAMalam terasa beku menikam ke dada Eva dalam kecemasan. Aron belum pulang hingga lewat tengah malam. Ponselnya sama sekali tidak bisa dihubungi.Eva masih duduk menunggu di ujung sofa ruang tengah, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, rambutnya digulung acak sembarangan, dan matanya terus menatap pintu lift yang belum juga terbuka.“Aku akan terus menunggu sampai kau pulang…”Suara Eva hampir tak terdengar. Jemarinya mencengkeram gelas berisi air mineral yang sejak tadi sudah kosong. Ponsel di genggaman tangannya menunjukkan pukul 01.37 dini hari. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan masuk. Tidak ada kabar.Eva mulai tidak bisa membedakan ini cemas… atau mulai ketakutan. Dengan ragu, dia akhirnya menelpon Chatrine.Nada sambung cukup lama. Tapi akhirnya suara lembut Chatrine menjawab di seberang sambungan telefon.Eva menahan napas. Suaranya nyaris pecah."Aron belum pulang. Semua komunikasinya mati. Kau tahu ke mana dia pergi?"Hening sejenak dari seberang."Aku

  • DENDAM CINTA MASA LALU    BAB 70 SEMUA KACAU

    BAB 70 SEMUA KACAUEvankan mengejar punggung Chatrine di tengah keramaian pejalan kaki di sepanjang trotoar. Begitu Evankan sudah cukup dekat, tiba-tiba sosok Chatrine justru menghilang.“Sh*t,” bisik Evanka pelan.Dadanya masih bergemuruh naik turun, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, menelusuri setiap wajah yang lalu lalang. Tapi Chatrine sudah benar-benar lenyap.Beruntung Chatrine sudah masuk ke dalam mobil."Ayo, aku ingin buru-buru pulang!" Evana sudah duduk menunggu di dalam mobil selama Chatrine menyelesaikan pembayaran."Kita bisa langsung pulang, atau pergi ke salon untuk mewarnai rambut." Chatrine memberi pilihan alternatif."Kau serius, aku di ijinkan untuk mengecat rambut?" Eva nyaris tidak percaya karena mengingat kemurkaan Aron tempo hari.Chatrine mengangguk. "Warna merah pun juga boleh."Mustahil Chatrine berbohong."Oke, kita pergi ke salon!"Mobil hitam berlogo Denton Global melesat dari tepi trotoar sebelum Evanka Collins sempat menyadari keberadaan adiknya.Deng

  • DENDAM CINTA MASA LALU    BAB 69 WANITA YANG CEMBURU

    BAB 69 WANITA YANG CEMBURU Ketika dua orang saling bertikai dengan keras kepala, maka ingat baik-baik satu prinsip dasar ini. 'Tidak ada yang sepenuhnya salah, dan tidak ada yang sepenuhnya benar. Tiap individu bisa membuat porsi kesalahannya masing-masing.' Saat itu usia Evankan baru tiga belas tahun, dua tahun lebih muda daripada Aron. Wajarnya memang dia yang ketakutan ketika seorang pemuda yang lebih dewasa memiliki hasrat yang begitu besar terhadap tubuhnya. Tapi Evankan juga telah melampaui batas dengan tindakan bully yang sangat jahat di usia mereka yang sama-sama remaja. "Tunjukkan wanitamu padaku!" Evanka Collins balas menantang Aron Loghan. Kemudian langsung berpaling angkuh untuk melangkah pergi. Beberapa menit setelah langkah anggun Evanka Collins menghilang di balik pintu, Aron Loghan masih berdiri membatu. Sorot matanya kosong menatap jendela, seperti ingin menghancurkan bayangan masa lalu yang telah menyerbu tanpa peringatan. Pertemuan tidak terduga dengan

  • DENDAM CINTA MASA LALU    BAB 68 EVANKA COLLINS VS ARON LOGHAN

    BAB 68 EVANKA COLLINS VS ARON LOGHANEvanka berdiri di depan jendela kaca yang luas, memandangi siluet gedung-gedung New York di bawah langit cerah. Hari yang cerah, pertemuan yang mengejutkan beserta memori yang kembali tergali."Kau masih mencintaiku, Aron?"Sepertinya Evankan juga terkejut dengan pikiran itu.Aron Loghan tidak bergerak, tapi sorot matanya menusuk. Tatapan yang menyimpan ribuan alarm bahaya. Wanita itu benar-benar bisa kembali menghancurkan hidupnya.Evanka kembali menyentuh kaca yang masih sejuk diterpa sinar matahari pagi. Suaranya lembut, namun tegas menyisip tajam.“Aku tidak menyangka... ternyata kau juga yang membeli rumah ibuku.”Aron bangkit berdiri angkuh di balik meja panjang, jemarinya menggenggam tepiannya dengan kendali sempurna. Aron Loghan menjaga nada suaranya tetap tenang.“Itu hanya aset."Evankan tidak boleh tahu jika dia telah membeli rumah itu untuk menjebak adiknya."Properti dengan nilai tinggi di wilayah yang strategis.”Evanka menoleh perlah

  • DENDAM CINTA MASA LALU    BAB 67 KEMBALI

    BAB 67 KEMBALILangit New York sore itu bergerak agak kelabu. Hujan gerimis turun ringan, memantulkan cahaya lampu kota di permukaan jalanan basah. Aron dan Eva kembali ke kota melanjutkan malam dalam pelukan hangat tanpa jeda bercinta.Pagi bangkit dengan energi mentari baru yang segar, sisa-sisa gairah dari akhir pekan panjang bersama di Hampton masih melekat di kulit dan pikiran mereka masing-masing. Aron mengecup kening Eva yang tertidur di pelukannya hingga pagi. Aroma rambut Eva yang sedang bergairah terus menempel di hidung Aron. Rasanya ingin terus dia hirup."Hmm..." Eva melenguh terbangun karena ciuman panas di kulit leher.“Kau mau pergi?” Eva bertanya dengan suara serak malas.Sebenarnya Eva juga terkejut melihat Aron Loghan sudah sangat rapi, segar dan sedang mendesakkan ciuman yang sangat panas.“Hanya sebentar. Aku harus menyelesaikan pertemuan yang kemarin tertunda.”Eva hanya mengangguk pelan, separuh kesadarannya masih melayang."Kau boleh keluar, Chatrine bisa mene

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status