LOGINBAB 4 RENCANA GEBY
Geby menyambut putranya di ambang pintu. Ia tidak berlari memeluk, tidak menangis dramatik, cukup berdiri anggun dengan senyum tenang yang hanya bisa dilakukan oleh wanita sekuat dan seanggun dia. “Kau pulang,” ucapnya lembut, seolah nada itu menyimpan sepuluh tahun penantian. “Karena kau yang minta,” jawab Aron singkat. Suaranya datar. Dingin seperti angin Yorkshire yang menerpa dari balik jendela kaca besar. “Kau tidak perlu menunggu aku sakit untuk kembali ke rumahmu sendiri.” Aron memandangi ibunya, cukup lama untuk menyadari bahwa tak ada tanda-tanda sakit serius. Tidak ada wajah yang mengerut lebih dalam. Tidak ada kantung mata letih atau tubuh yang melemah. Geby tetap sama, cantik, kuat, dan berbahaya dalam kecerdasannya. "Kau terlihat lebih sehat daripada suara di telepon.” ucap Aron, nada suaranya datar. Geby menatap tajam. “Karena aku tidak pernah benar-benar sakit, Aron.” Aron mendengus kecil, ekspresi di wajahnya nyaris tidak berubah. “Jadi ini semua hanya untuk memancingku pulang?” Geby menyilangkan tangan di depan dada. “Untuk menyelamatkanmu.” “Dari apa? Diri sendiri?” “Dari kesepian, dari ketakutan yang kau sembunyikan di balik pekerjaan, dari keputusan sembrono yang hendak kau ambil demi seorang bayi.” Aron terdiam. Kali ini, diamnya bukan karena dingin, tapi karena tidak siap mendengar bahwa ibunya tahu segalanya. “Aku berbicara dengan Chatrine,” lanjut Geby. “Aku tahu rencanamu, Aron. Kau ingin anak laki-laki. Tanpa pernikahan. Tanpa komitmen. Kau ingin memotong seluruh proses manusiawi dan menggantinya dengan kontrak hukum.” “Karena pernikahan bukan jaminan kedamaian,” jawab Aron. “Lebih mudah membeli komitmen dengan sejumlah uang.” Geby menatap putranya dalam diam. “Itu kalimat dari pria yang egois, bukan dari pria yang siap menjadi ayah.” Aron berjalan ke arah jendela besar, memandangi perbukitan dan langit yang terhampar luas. “Aku tidak butuh drama dalam hidupku. Aku butuh kejelasan. Struktur. Kendali.” “Dan kau pikir seorang bayi bisa tumbuh sehat di dalam rahim yang dipilih dari hasil seleksi wawancara seperti mempekerjakan sekretaris?” “Justru karena itu aku butuh yang terbaik.” “Kau tidak sedang memilih pendonor ginjal, Aron. Ini tentang kehidupan. Tentang darahmu sendiri.” Aron membalikkan badan, menatap ibunya. “Mom... aku tidak akan menikah. Aku tidak membutuhkan pernikahan cuma untuk memberikan pewaris laki-laki untuk keluarga ini. Bayi bisa dihasilkan dari laboratorium, jauh lebih mudah dan aman." Geby melangkah perlahan mendekati putranya, menatapnya lembut, tapi tetap kuat. “Karena itu aku ingin kau pulang. Agar kau ingat memiliki rumah, ingat memiliki keluarga, ingat memiliki ayah dan ibu. Bukan laboratorium rumahsakit seperti yang kau rencanakan sebagai jawaban utuk anakmu kelak ketika dia bertanya tentang ibunya." Aron tertunduk. Entah karena lelah, atau karena akhirnya merasa kalah dalam debat yang tidak pernah ia niatkan. Dari sudut ruangan, Jeremy mengamati percakapan mereka. Dia tidak ikut campur, seperti janjinya. Tapi Jeremy ikut mendengar semua. Geby menoleh pada Jeremy. “Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?” Jeremy menghela napas. “Kau yang ingin menjebak putramu dengan drama, sekarang jalankan misi besarmu.” Ia menatap Aron sebentar, kemudian menambahkan, “Tapi jangan lupa, pria Loghan selalu punya caranya sendiri untuk memberontak.” Geby mengabaikan komentar Jeremy, lalu kembali fokus pada putranya. “Dengarkan aku, Aron. Kau butuh keseimbangan dalam hidup. Semua kendali yang kau punya di dunia, tidak akan bisa menggantikan sentuhan seorang istri. Atau senyum anakmu yang lahir karena cinta, bukan rencana.” Aron tidak menjawab. Geby lalu mengangkat dagunya sedikit, penuh tekad. “Kau akan tinggal di sini sementara waktu. Aku akan mengatur pertemuan. Bukan dengan dokter, tapi dengan wanita sungguhan. Aku akan mengadakan pesta, mengundang beberapa sahabat lama dengan putri mereka. ” Aron tertawa pendek. Kering. “Dan kau ingin aku menjadikannya pesta audisi perjodohan?” “Bukan. Aku hanya ingin kau duduk, berbicara, dan merasakan sesuatu yang nyata. Untuk sekali ini saja demi ibumu!" Aron menatap ibunya. Tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya Aron Loghan menemukan tatapan keras yang tidak dapat dia kalahkan. "Atur saja semuanya, aku mau istirahat." Aron berpaling pergi begitu saja. Kebiasaan yang agak menyebalkan, tapi dia memang putra Jeremy seutuhnya. Caranya marah, caranya mengintimidasi orang lain dan caranya tak acuh seratus persen mewarisi genetika Jeremy. Langkah kaki Aron mengisi lorong batu kastil tua dengan irama berat. Tidak ada suara dari bibirnya, hanya gema sepatu kulit mahal yang menyentuh lantai granit dan kenangan yang diam-diam merangkak naik seperti kabut lembab dari tanah leluhur. Aron Loghan tidak menyukai sejarah, tidak menyukai masa lalu, dan sangat pendendam. *****BAB 7 TIDAK MUDAH DITEBAK Ruang makan keluarga Loghan tidak hanya megah, tapi juga hangat. Lilin-lilin tinggi menyala di atas meja kayu ek tua, memantulkan cahaya ke perabot makan perak antik dan kristal mahal yang tersusun rapi di sekeliling meja panjang. Aroma panggangan domba rosemary bercampur dengan kayu manis dari pai apel buatan dapur keluarga, menyatu seperti nostalgia masa kecil yang nyaman.Geby duduk di ujung meja, mengenakan gaun hitam sederhana tapi elegan. Wajahnya terlihat lebih muda malam ini. Bahagia. Pandangannya bolak-balik antara Aron dan Chatrine, lalu sesekali bertemu dengan mata Jeremy yang ikut menyimak pasangan muda di hadapan mereka.Malam ini Aron Loghan nampak berbeda. Ia tidak membisu seperti biasanya. Ia tidak menghilang setelah makan suap pertama. Bahkan, ia beberapa kali menoleh ke arah Chatrine. Memberi komentar ringan. Bahkan hampir tersenyum.“Jadi, apa kau tidak keberatan ikut tinggal di sini selama beberapa hari?” tanya Aron, suaranya tenang namun
BAB 6 DENDAM BERKOBAR Gerimis terus turun perlahan saat Range Rover melaju menyusuri jalanan sempit Yorkshire yang sepi. Di kursi kemudi, Aron terdiam. Sorot matanya kosong menatap jalan, namun pikirannya tak berada di sana.Kilatan wajah itu... mata kelabu dan rambut gelap yang begitu ia kenal kembali membakar lapisan ingatan yang telah berusaha Aron kubur bertahun-tahun.Eva.Nama itu menghantam dadanya lebih keras daripada suara hujan di atap mobil.*****Dua puluh tiga tahun lalu – Yorkshire, InggrisAron Loghan masih remaja, tapi bahkan pada usia 15 tahun, dia sudah dibesarkan dengan disiplin keras dan ekspektasi tinggi.Sebagai calon pewaris keluarga Loghan, Aron harus mendapat segalanya yang terbaik termasuk pendidikan. Namun pada usia itu, dia justru memberontak. Aron meminta untuk bersekolah di sekolah lokal. Sebuah institusi yang sebenarnya dimiliki oleh yayasan keluarganya sendiri.Aron tidak ingin fasilitas khusus. Tidak ingin kendaraan mewah. Tidak ingin pengasuh, pengaw
BAB 5 MEMBENCI SEJARAH Yorkshire .... Di sudut utara Inggris, tersembunyi sebuah lembah perbukitan tua yang setia memeluk keindahan abadi dari atmosfer berabad-abad silam. Nama Yorkshire terdengar melankolis seperti tajuk dari puisi sejarah, menggambarkan keindahan masa lampau dalam kanvas alam yang memukau tak tersentuh waktu. Membentang dari Yorkshire Dales yang berbukit lembut dengan domba-domba. Hingga North York Moors yang menyambut bersama hamparan semak ungu dan padang liar dramatis, tempat kabut pagi menari di atas bebatuan purba. Yorkshire bukan sekadar tempat. Ia adalah perasaan tenang, megah, dan dalam diamnya, menyimpan banyak cerita sejarah. Tanah tua yang menjadi saksi dari banyak penaklukan. Waktu berlalu, dan sejarah membentuk karakter Yorkshire. Setiap wilayah membawa warna dan nadanya sendiri, namun tetap berpadu dalam harmoni khas Inggris lama. Di desa-desa kecil, kehidupan tetap berjalan pelan, setia pada ritme alam dan musim seperti jendela ke masa lalu. Buru
BAB 4 RENCANA GEBYGeby menyambut putranya di ambang pintu. Ia tidak berlari memeluk, tidak menangis dramatik, cukup berdiri anggun dengan senyum tenang yang hanya bisa dilakukan oleh wanita sekuat dan seanggun dia.“Kau pulang,” ucapnya lembut, seolah nada itu menyimpan sepuluh tahun penantian.“Karena kau yang minta,” jawab Aron singkat. Suaranya datar. Dingin seperti angin Yorkshire yang menerpa dari balik jendela kaca besar.“Kau tidak perlu menunggu aku sakit untuk kembali ke rumahmu sendiri.”Aron memandangi ibunya, cukup lama untuk menyadari bahwa tak ada tanda-tanda sakit serius. Tidak ada wajah yang mengerut lebih dalam. Tidak ada kantung mata letih atau tubuh yang melemah. Geby tetap sama, cantik, kuat, dan berbahaya dalam kecerdasannya."Kau terlihat lebih sehat daripada suara di telepon.” ucap Aron, nada suaranya datar.Geby menatap tajam. “Karena aku tidak pernah benar-benar sakit, Aron.”Aron mendengus kecil, ekspresi di wajahnya nyaris tidak berubah. “Jadi ini semua han
BAB 3 PULANG KE YORKSHIRE Musim semi selalu berhasil membangkitkan Yorkshire dari tidur panjang musim dingin dengan cara yang megah dan memukau. Langit membentang bersih, jernih seperti kaca safir. Awan-awan putih menggantung ringan seperti bulu domba. Ladang-ladang membentang luas bak permadani hijau, dibingkai oleh tembok batu kering yang sudah berdiri sejak berabad-abad lalu. Bunga bluebell dan primrose bermekaran liar di sepanjang jalan menuju tanah kelurga Loghan. Semburat warna ungu dan kuning yang kontras dengan hijau rumput, menghampar seperti permadani raksasa di bawah naungan langit. Di kejauhan, lembah-lembah terbuka dilintasi aliran sungai kecil berkelok yang jernih memantulkan kilau mentari. Domba-domba putih tersebar seperti kapas hidup di padang hijau, melenguh tenang, tak terusik waktu. Langit, tanah, dan udara berpadu menjadi satu harmoni yang menenangkan, nyaris seperti lukisan pastoral yang tak pernah pudar. Mobil hitam melaju mulus membelah satu- satunya jal
BAN 2 GEBYProses seleksi berjalan intens. Chatrine duduk tegak di ruang rapat pribadi lantai 85, di hadapannya deretan wanita berpenampilan mengesankan. Semuanya cantik, cerdas, dan memiliki latar pendidikan mengesankan. Beberapa berasal dari keluarga diplomat, lainnya doktor muda dari universitas Ivy League. Kriteria yang Aron tetapkan dijaga ketat.* Tidak boleh terlalu muda.* Tidak boleh terlalu ambisius.* Tidak boleh terlalu haus sorotan.Namun, semakin banyak yang duduk di hadapannya, semakin hampa perasaan Chatrine.Tak satu pun dari mereka yang cukup memenuhi kriteria.Chatrine sedang memeriksa berkas salah satu kandidat saat pintu lift pribadi berbunyi. Seorang wanita elegan muncul, berjalan anggun dengan aura yang langsung menyita perhatian seluruh ruangan.Gabriela Loghan.Rambut gelapnya disanggul rapi, matanya kelabu tajam penuh wibawa. Meski usianya sudah mendekati enam puluh, Geby tetap terlihat menawan dengan mantel krem panjang dan syal sutra halus di leher. Geby t







