"Rahasiakan dulu pernikahan ini. Jangan beritahu Mbak Alina. Waktu untuk menjelaskan padanya harus tepat. Alina juga menyukaimu sebagai temannya, Vania. Semoga akan tetap begitu setelah tahu siapa kamu yang sebenarnya."Vania mengangguk. "Saya minta maaf, Bu," kata Vania dengan suara bergetar. "Papa saya kesalahannya terlalu besar. Mungkin tak akan termaafkan. Saya mohon maaf pada, Ibu, pada Mbak Alina, juga pada Mas Sagara." Vania menunduk, jantungnya seperti hendak lepas menahan rasa malu yang teramat sangat. Ini ulah papanya, tapi ketika ini, dia berdiri di samping Erlangga sebagai istrinya."Ini bukan salahmu, Nak. Kalian sudah menjadi suami istri, kalian saling mencintai, jalani hubungan kalian dengan baik. Memang berat bagi saya, mungkin berat juga bagi kalian, tapi mari kita hadapi masalah ini bersama-sama." "Kami pasti bisa melewati ini semua, Ma." Erlangga bicara begitu yakin. Dia akan berusaha karena tidak ingin berpisah dari Vania."Dan satu lagi, saya tidak akan melarang
Selesai shift, Vania tergesa pulang. Dia langsung mandi dan bersiap-siap. Tadi sudah bilang ke Erlangga supaya dijemput di kosan saja. Ketika mengenakan jilbab, Erlangga menelepon."Ya, Mas.""Aku sudah di depan kosan.""Oh iya. Sebentar." Vania bertambah gugup dan berdebar-debar. Namun ia harus bergerak cepat. Pesan dari Tara yang baru masuk, diabaikannya.Sambil menghadap cermin, ia menarik napas panjang. "Kamu bisa, Van."Setelah itu Vania keluar kamar. Melangkah cepat ke mobil yang berhenti di pinggir jalan. Aroma mint yang maskulin menguar dari raga Erlangga, pria yang tersenyum menyambutnya. Sosok itu berpakaian kasual. Kaus hitam berkerah yang dilapisi jaket kulit.Erlangga senang dengan baju yang dikenakan istrinya. Itu baju yang dikirimnya untuk Vania."Mas, aku nervous banget," ucap Vania setelah duduk di samping kemudi.Erlangga tersenyum sambil meraih jemari Vania yang dingin. "Jangan khawatir, mamaku bukan tipe orang yang berpura-pura. Lain di depan lain pula di belakang
DENDAM- Pertemuan di Apartemen Gelisah. Kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan apa yang Vania rasakan sejak membuka mata subuh tadi.Bahkan semalaman, Vania nyaris tak bisa tidur dengan tenang. Bayangan wajah Bu Ambar, terus muncul di kepalanya. Seseorang yang katanya akan menerimanya sebagai menantu, semua itu justru membuat Vania semakin gugup. Ia percaya Erlangga tidak membohonginya, tapi perasaan cemas tetap saja ada.Kesalahan papanya bukanlah sesuatu yang bisa dimaafkan begitu saja. Tapi kenyataannya, ibu mereka justru mau menerimanya sebagai menantu. Apa Bu Ambar hanya berusaha menjaga perasaan Erlangga? Pertanyaan itu berputar di benak Vania."Hei, melamun?" tegur Cici yang baru masuk ruangan saat melihat Vania bengong. Mereka akan pergantian shift pagi itu. "Aku khawatir kamu kena pelet deh, Van? Kemarin kelihatan pucat, lalu keliatan ceria, sekarang manyun pula," tambah Cici yang disambut senyum lebar Vania. "Ada-ada saja kamu, Ci," jawab wanita berhijab ma
"Aku jadi deg-degan. Nervous sekali.""Jangan khawatir, mamaku paham bahwa kamu tidak tahu apa-apa. Atau kita bicarakan sambil ketemuan malam ini. Kujemput, ya.""Nah, nah, lupa sama yang kita bahas kemarin malam, kan? Jangan sering ketemuan dulu." Vania yang cemas berubah sewot pada suaminya."Cici kan shift malam, Van. Dia tidak akan tahu.""Mas, jangan melanggar perjanjian, ya. Bukankah kita sudah sepakat.""Hmm, iya," jawab Erlangga pelan. "Bentar. Ada panggilan masuk dari Mama. Kujawab dulu, ya.""Oke, Sayang."Vania menyudahi panggilan. Erlangga meletakkan ponsel di meja sampingnya. Saat itu dia masih duduk di balkon kamar.Padahal sudah tidak tahan untuk segera bertemu lagi. Kemanisan semalam, membuatnya tak bisa tenang dan ingin mengulangnya kembali. Selama ini, mereka berhubungan selalu di kamar hotel. Sembunyi-sembunyi seperti selingkuhan saja. Padahal mereka pasangan sah. Erlangga menghela napas panjang. Banyak sekali persoalan yang harus diberantasi. Termasuk menemui sa
Erlangga meraih tangan ibunya yang sedikit bergetar. "Aku tahu Setya bukan orang yang bisa Mama maafkan. Tapi Vania juga hancur saat tahu semua ini.""Kamu yakin bisa menghadapi Setya sebagai mertuamu?""Aku sudah memikirkannya, Ma. Walaupun ini sangat rumit. Mungkin kali ini Mama kecewa padaku. Aku minta maaf."Bu Ambar memejamkan mata sejenak. "Setya sudah tahu siapa kamu?""Mungkin saja sudah."Netra Bu Ambar berkaca-kaca. Ia bisa merasakan bagaimana perasaan Erlangga pada Vania. Sudah sedalam itu. Di sisi lain ia juga masih ingat, separah apa luka putrinya."Baik. Kalau memang itu yang kamu pilih dan membuatmu bahagia. Mama beri restu," ucap Bu Ambar dengan suara bergetar.Erlangga menunduk, mencium tangan ibunya dengan penuh haru. "Terima kasih, Ma."Bu Ambar memeluk Erlangga erat-erat. Dia selalu memikirkan tentang kebahagiaan putranya. Sebab Erlangga sudah begitu banyak berkorban pada keluarga. Mengambil peran sebagai pengganti papanya.Kalau saja Erlangga hanya sekedar pacaran
DENDAM- Ingin Bertemu Keterkejutan Bu Ambar meledak berkali-kali lipat dari rasa kagetnya yang tadi, hingga napasnya serasa terhenti sesaat."Vania putri tunggalnya Setya dan Bu Endah, Ma. Dia perempuan yang baik dan tidak glamor walaupun dari keluarga berada. Dan sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dosa masa lalu papanya. Justru dia yang menjadi korbanku."Bu Ambar tidak bisa berkata-kata. Air mata luruh tak terbendung. Disaat keluarga mereka tidak ingin mencari tahu lagi tetang Setya Winata, berusaha berdamai dengan rasa sakit yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Kini dari Erlangga mereka tahu keberadaan laki-laki itu. Namun dengan cerita yang sangat mengejutkan."Rahasiakan ini dulu dari Mbak Alina, Ma. Aku tak ingin dia terluka lagi, tapi aku juga tidak ingin kehilangan Vania. Sampai sekarang dia masih istriku. Hubungan kami saat ini kembali membaik. Selama aku opname, dia yang menemaniku tiap malam di rumah sakit.""Sampai kapan kamu sanggup merahasiakan ini dari ka