DENDAM
- Jawab Jujur Tangan Vania gemetar saat membuka bungkus testpack ketiga. Yang dua kali hasilnya samar. Karena memikirkan hal itu, ia menghabiskan dua malam dengan dada sesak. Takut sekali kalau hamil. Sekarang di toilet rumah sakit, Vania menatap alat mungil di tangannya dengan jantung berpacu hebat. Seolah sedang menunggu takdir selanjutnya seperti apa. Jarum jam dipergelangan tangannya terasa begitu lama berputar. Tiga menit. Itu waktu yang akan menentukan, apakah hidupnya akan berubah atau tetap seperti sekarang ini. Vania menahan napas dan memandang benda kecil itu. Negatif. Ia mengembuskan napas lega. Air matanya jatuh. Kelegaan yang tak bisa ditampung dengan kata-kata. Ia tidak hamil. Tuhan masih memberinya waktu dan kesempatan untuk menjadi dokter dan mengejar cita-citanya setelah dihancurkan oleh seorang pria yang kini entah di mana. Sagara. Nama itu menoreh hatinya bagai luka bakar yang panas, menyakitkan, dan membekas begitu dalam. Sagara menggantungnya dalam ketidakpastian sebuah status. Setelah diam beberapa saat, Vania menarik napas dalam-dalam. Memperhatikan wajahnya di pantulan cermin dan membenahi hijabnya. Dia harus tetap siaga di IGD. Rumah sakit tidak pernah mau tahu dengan orang-orang yang sedang patah hati. Sebab tidak ada obatnya di sini. Kecuali berlanjut stres dan butuh psikiater. Vania tidak ingin seperti itu. "Dok, pasien baru," suara suster Eni menyambutnya dengan terburu-buru. "Kejang, perempuan, 28 tahun." Vania bergerak cepat. Adrenalin langsung bekerja, menenggelamkan seluruh kerumitan masalah pribadinya. Dunia di IGD adalah tempat di mana detik bisa jadi pembeda antara hidup dan mati. Di ranjang IGD, seorang wanita muda menggelinjang hebat. Mata terbalik ke atas, busa keluar dari mulutnya. Seorang laki-laki panik di sampingnya, menggenggam tangan sang pasien dengan gemetar. "Pasien epilepsi, katanya kambuh setelah pulang kerja." Suster Eni menjelaskan. "Ambil diazepam, 10 mg, lewat rektal," ujar Vania cepat. Tiba-tiba seseorang menyusul masuk. Vania menoleh. Dokter Raka yang terkenal cekatan segera membantunya. "Tekanan darah?" tanya Raka. "110/70. Nadi cepat," jawab Vania. "Dia bisa hipoksia. Oksigen mask, segera!" Tangan Vania cekatan memasang selang infus, sementara Raka mengatur posisi kepala pasien. Bekerja di IGD seperti berpacu melawan waktu. Setelah beberapa menit, kejangnya mereda. Napas pasien melambat dan tubuhnya lemas. Laki-laki di samping ranjang langsung memeluknya, menangis lega. "Terima kasih, Dok. Terima kasih." Vania tersenyum lalu berjalan menjauh setelah suster bertindak melakukan perawatan lanjutan. Saat adrenaline mulai turun, tubuhnya terasa limbung. Ia duduk di kursi paling pojok, menunduk, dan mencoba menarik napas perlahan. "Vania." Suara Raka terdengar di sampingnya. "Kamu oke?" "Ya, Dok. Saya tidak apa-apa." Raka mengangguk. Sejenak dia memperhatikan gadis cantik yang terlihat penuh beban di hadapannya. Ingin sekali menghiburnya, tapi bagaimana hendak memulai. Vania termenung. Iri dengan pasien tadi. Meski kejang dan hampir mati, dia punya seseorang yang memeluk dan menungguinya di samping ranjang dengan tatapan khawatir. Sementara dirinya, cantik, calon dokter, tapi dicampakkan. Ah, bisa jadi selera pria tampan seperti Sagara bukan dirinya lagi. "Van," panggil Raka memecah hening. "Ya, Dok." "Nikmati sakitmu, sembuhkan, lalu bangkit." Raka mengambil sesuatu dari saku kemejanya dan memberikan pada Vania. "Makasih, Dok." Vania tersenyum menerima sebatang coklat dari Raka. 🖤LS🖤 Pukul 01.15. IGD mulai sepi. Pasien tinggal dua, dan keduanya sudah tertangani dengan baik. Vania berdiri di balkon belakang, memandang langit kelam. Bintang tampak berkelip di kejauhan. Ia merapatkan sweater yang dikenakannya. Angin malam menggerakkan helaian jilbab yang dipakainya. Di benak terputar satu kenangan. Di gazebo halaman rumah orang tua Vania. Masih segar dalam ingatannya. Malam pertama mereka 'jadian'. Bukan kencan di kafe kekinian atau tempat romantis yang viral. Hanya halaman rumah, di bawah lampu taman yang temaram. Sebab Pak Setya tidak mengizinkan putrinya diajak ke luar. Dia ayah yang sangat protektif. Namun makin lama, dia begitu percaya pada Sagara. Baru Sagara satu-satunya pria yang dipercaya dekat dengan putrinya. Setangkai mawar merah diberikan Sagara sebagai tanda mereka menjadi sepasang kekasih. Kemudian macam-macam hadiah diberikan lelaki itu pada Vania. Dia kekasih yang royal dan memanjakan pasangannya. Biasanya kalau Vania ada jadwal jaga malam, Sagara menemaninya begadang dari rumah. Kalau Vania sudah selesai dengan pasien, mereka akan saling berbalas pesan. Bahkan pernah sampai pagi. Namun sekarang yang tersisa hanya sunyi. Telepon di saku Vania bergetar. Membuat gadis itu berdebar hebat. Sagara kah itu? Oh, rupanya Tara. "Hallo." "Kamu sibuk?" tanya Tara. "Enggak. Jam segini kamu belum tidur?" "Sudah tadi. Ini kebangun dan ingat kalau kamu jaga malam. Aku khawatir kamu mikir hal-hal konyol, Van." Vania tersenyum getir. "Konyol bagaimana? Aku nggak akan mencelakakan diriku sendiri, Tar. Jangan cemas. Aku masih waras, kok." "Aku percaya sama kamu," jawab Tara lirih. Sebenarnya dia juga dimintai tolong oleh Bu Endah, agar sesering mungkin mengajak Vania ngobrol. "Van, apa kamu dan Sagara sempat ribut sebelum dia menghilang?" "Kami nggak pernah ribut. Malah terlalu manis semua rasanya." Vania tersenyum pahit dan bibirnya bergetar menahan air mata. "Aku akan mencarinya, Tar." "Untuk apa?" Nada suara Tara meninggi. "Aku harus tahu alasannya kenapa dia pergi. Membuatku hancur dan mempermalukan keluargaku. Dia harus bertanggungjawab memberikan penjelasan. Aku ingin tahu dia pergi karena alasan apa. Karena ada wanita lain? Atau karena tidak mendapatkan restu keluarganya." "Kamu bilang, papanya Gara sudah meninggal. Sekarang tinggal sama ibu dan kakaknya saja. Dan alamat yang dikasihnya ke kamu sudah kosong. Bisa jadi itu alamat palsu, Van." Tatapan Vania menerawang. "Pasti aku akan menemukannya, Tar. Entah kapan waktunya. Dia menggantungku dalam hubungan ini." "Aku akan menemanimu mencarinya." "Kamu kan kerja, Tar." "Aku bisa ambil cuti. Aku nggak sabar ingin membejek-bejek pria sialan itu. Beneran, aku dah gatal ingin menghajarnya. Untuk urusan nikah sirimu dengannya, kamu bisa mengurus isbat nikah dan mengajukan gugatan cerai." "Masalahnya aku nggak punya bukti untuk mengurus isbat nikah." "Sama sekali nggak ada yang tersisa, Van?" "Ya. Semuanya hilang." "Bagaimana dengan dua orang saksi dari pernikahan kalian? Itu bisa dijadikan bukti untuk mengajukan permohonan pencatatan perkawinan ke KUA. Supaya kamu bisa ngajuin gugatan cerai." "Dua orang saksi itu satunya teman Sagara, dan satunya teman papaku yang meninggal sebulan lalu." Hening. Pernikahan siri itu memang tidak dihadiri banyak orang. Tujuannya hanya untuk menjaga mereka dari perbuatan zina. Dan Pak Setya sangat percaya pada Sagara. Toh tidak lama lagi mereka juga akan menikah secara resmi di KUA. "Ruwet banget masalahmu, Van. Tapi kamu harus tetap semangat. Aku selalu ada buatmu. Insyaallah aku akan selalu membantumu. By the way, aku ingin tanya. Jawab jujur, ya. Kamu dan dia belum pernah berhubungan, kan? Tahu kan maksudku. Berhubungan dalam tanda kutip." Next ....Sosok dewasa itu turun dari mobilnya setelah Cici muncul di depan pintu. Surprise sekali bagi Cici. Tak menyangka Angkasa rela nyetir sendirian dari Jogja demi mencari rumahnya di Kediri. Orang tua Cici menyambut dengan ramah. Pertemuan dimulai dengan perkenalan. Dan ini sungguh mengejutkan, Cici dan orang tuanya baru tahu kalau Angkasa bukan dari keluarga biasa. Hampir semua keluarganya berprofesi dokter. Pemilik sebuah klinik yang dikelola bersama. Dan lewat video call, Cici berkenalan dengan kedua orang tua Angkasa."Minggu depan, kami sekeluarga akan berkunjung ke rumah Bapak dan Ibu untuk melamar Nak Ciciana." Ucapan mamanya Angkasa sungguh mengejutkan.Tanpa bertanya pada Cici, mamanya langsung bilang. "Kami tunggu, Bu."Penantian Cici pada dokter Raka 2,5 tahun, akhirnya terbayar manis dengan kehadiran dokter spesialis bedah jantung yang baru dikenalnya belum lama.🖤LS🖤Semua proses menuju pernikahan begitu cepat. Orang tua Angkasa datang melamar dan langsung membicarakan ha
"Mas, makasih banyak. Nggak nyangka kita bisa jadi teman selama dua hari ini." Cici memandang Angkasa."Nggak hanya dua hari. Kita bisa jadi teman seterusnya. Saya akan mengunjungimu ke Blitar nanti."Cici tersenyum. Lalu mengulurkan tangan karena ia harus segera naik ke kereta. "Hati-hati. Nanti sesampainya di Blitar kabari.""Ya." Cici kemudian mengikuti porter yang berjalan di depannya. Lalu menoleh sejenak pada Angkasa sebelum ia menjauh.🖤LS🖤Hari-hari berikutnya, Cici makin tertekan. Raka jarang sekali menghubungi. Sekalinya bicara, hanya tentang pekerjaan dan keluh kesah tugas. Tidak pernah menyinggung soal masa depan mereka.Sementara Angkasa semakin gencar mendekati. Ia menanyakan kabar lewat pesan dan telepon. Padahal sebagai dokter bedah, dia juga sangat sibuk. Bahkan mengirim bunga ke kosan Cici,Di titik itu, hati Cici makin terombang-ambing. Angkasa bicara secara terbuka, kalau ingin mengenal lebih jauh dengan Cici. Sedangkan Raka tak memberikan perkembangan apapun. Pa
"Itu Mbah saya. Beliau sudah nungguin. Sudah sepuh banget beliau, Mas. Umurnya hampir 90 an. Agak pikun, tapi alhamdulillah masih sehat." Cici bicara sambil memperhatikan ke arah rumah."Alhamdulillah. Boleh saya ikut turun?""Eh, jangan, Mas. Saya nanti diomelin sama beliau. Walaupun sudah sepuh, beliau peka sekali hal begini.""Oke. Saya minta nomer ponselnya, ya." Angkasa mengambil ponsel dari konsol box. Cici menyebut nomernya. Setelah itu bersiap untuk turun. "Makasih banyak untuk dinner di angkringannya, Mas."Angkasa tersenyum lebar. Dia menyukai cara Cici berbicara dan bercanda. Asyik dan menyenangkan meski baru juga kenal. Seru gadis itu. Pria itu memperhatikan sampai Cici kembali memandang ke arahnya dan melambaikan tangan. Baru ia meninggalkan tempat itu.Cici mencium tangan neneknya yang duduk menunggu. "Kamu dari mana saja?" tanya sang nenek."Dari Malioboro, Mbah. Jalan-jalan. Yuk, kita masuk." "Siapa mobil yang mengantarmu tadi?" Sambil dibimbing melangkah masuk rumah
DENDAM - Mengambil Sikap "Hai, Mas." Cici menoleh pada pria jangkung di sebelahnya. Tidak menyangka bertemu lagi dengan dokter itu."Nggak nyangka ketemu sama dokter di sini.""Jangan panggil saya dokter, panggil nama saja," kata Cici.Angkasa tersenyum. "Cici, sendirian?"Cici mengangguk. "Boleh saya ikut duduk.""Silakan!" Cici bergeser. Memberi tempat untuk Angkasa. "Mas, juga sendirian?""Ya," jawab Angkasa dengan raut wajah segar. Dia baru selesai salat Maghrib di mushola yang tak jauh dari tempat Cici berada.Tapi jujur saja, dokter tampan itu memang sengaja jalan-jalan. Siapa tahu bertemu dengan gadis yang ditemuinya kemarin malam. Entah kenapa dia tertarik. Padahal sama sekali tak mengenalnya. Belum tahu juga Cici ini sudah punya kekasih apa belum. Sudah bertunangan atau justru istri orang.Walaupun tidak yakin akan bertemu. Apalagi Malioboro sangat luas dan ramai pengunjung. Terlebih akhir pekan begini. Namun keberuntungan berpihak padanya. Ia bertemu Cici dalam situasi sa
Kereta melaju kencang melintas beberapa kota. Sawah, rumah-rumah, dan pepohonan berganti cepat di balik kaca. Ia mengalihkan pandangan, menenggelamkan diri pada pemandangan senja. Jogjakarta baginya bukan sekadar kota asing. Dia sering datang ke sana mengunjungi neneknya.Kali ini ia kembali ke sana, siapa tahu di kota itu ia bisa menemukan jawaban atas dilema dalam hatinya.Tepat jam delapan malam, kereta akhirnya berhenti di Stasiun Tugu. Hiruk-pikuk penumpang yang turun bercampur aroma khas stasiun, bau besi, keringat, dan jajanan kaki lima langsung menyambut. Cici menenteng ranselnya, berjalan keluar bersama arus orang banyak.Udara malam Jogja menyapa dengan hangat. Lampu jalanan berkelip. Namun, baru beberapa langkah keluar stasiun, keributan kecil menarik perhatiannya. Seorang ibu-ibu jatuh dari motor, menabrak pembatas trotoar. Orang-orang berkerumun tapi hanya memandang tanpa berani menyentuh.Cici spontan berlari mendekat.Wanita itu tidak sadarkan diri. Dengan cepat ia memp
"Dok, kenapa keliatan suntuk seharian ini?" tanya seorang perawat yang sangat akrab dengannya. Bahkan mereka memang sudah dekat semenjak Cici masih koas di Harapan Sentosa.Cici tersenyum hambar. "Nggak apa-apa.""Jangan bohong. Biasanya kamu cerewet. Pasti ada yang dipikirin.""Kita ke kafe depan sana, yuk. Minum dulu sebelum pulang.""Yuk," jawab perawat bernama Dinda itu.Mereka menyeberang jalan. Kemudian memesan sandwich dan dua gelas jus melon. "Ada apa tiba-tiba dokter pulang kemarin sore?" tanya Dinda."Jangan panggil dokter. Biasa aja kalau di luar.""Oke. Ada masalah apa yang membuatmu murung begitu?""Ada pria yang ingin melamarku, Din.""Dokter Raka?" Dinda memang tahu kedekatan tak biasa antara Cici dan dokter itu.Cici menggeleng. "Bukan. Orang lain, Din.""Lalu ....""Entahlah." Cici diam sejenak, lalu kembali bicara. Kali ini agak lirih dan memandang lurus ke temannya. "Din, menurutmu wajar nggak kalau cewek duluan nanyain kejelasan hubungan?""Ya, wajar aja. Zaman se