DENDAM
- Mancarimu "Jujur saja sama aku. Aku bisa nyimpen rahasiamu. Lagian nggak ada yang salah. Kamu dan dia sudah sah sebagai suami istri." Vania menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis. Andai di sekitarnya tidak ada CCTV, dia akan meledakkan tangisnya saat itu juga. "Ya," jawab Vania lirih. Nyaris tak terdengar. Kemudian ia menarik napas panjang. "Tapi kamu nggak hamil kan, Van?" "Nggak. Aku sempat khawatir juga sebenarnya. Setelah kejadian pertama kali, aku langsung minum pil kontrasepsi. A-aku sendiri masih ingin meraih gelar dokterku, Tar. Aku nggak ingin gagal dan harus mengulang. Tapi aku sempat takut juga, nggak ada kontrasepsi yang bisa menjamin 100%. Berkali-kali aku cek, hasilnya negatif semua." "Syukurlah. Bebanmu nggak semakin berat. Tapi beneran kamu masih ingin mencarinya?" "Iya." "Ke mana?" "Ke mana saja. Sampai dia ketemu." "Kamu memang harus bertemu dia untuk menyelesaikan statusmu, Van." Keduanya berbincang sampai beberapa saat kemudian. Setelah itu Vania kembali masuk ke IGD karena hawa di luar semakin dingin. Tara juga sudah mengantuk. Ada kesempatan Vania untuk memejam sejenak, tapi tidak bisa. Insomnia begitu mengganggunya akhir-akhir ini. Semua kenangan tentang Sagara bermain di benak. Terutama tentang satu hari yang mungkin akan sulit sekali untuk dilupakannya. Sesuatu yang begitu manis dan indah itu, kini tinggal kepahitan yang teramat sangat. Vania kembali membuka galeri ponselnya. Siapa tahu masih ada gambar yang tersisa. Ternyata tetap tidak ada. Dia baru sadar kalau semuanya sudah dihapus. "Kenapa kamu begitu kejam? Apa salahku, Mas?" Dada Vania seperti diremas-remas. 🖤LS🖤 Pagi menjelang. Matahari mulai menerangi halaman Rumah Sakit Harapan Sentosa. Sudah pergantian shift, Vania berjalan pulang melewati koridor yang masih sunyi. Sepatunya berderap lelah. Di ujung lorong, suara langkah lain menyusul. "Vania," panggil Raka. Dengan langkah lebar, pria itu mengejar Vania. Senyum terbit di bibir dokter muda yang menenteng jasnya. "Kamu dijemput?" "Enggak, Dok. Papa dan Mama saya ada acara ke Surabaya pagi ini. Nanti saya naik taksi atau ojek saja." Setelah kegagalan pernikahannya, Vania pergi dan pulang dari rumah sakit dijemput oleh papanya atau sopir mereka. "Ku antar." "Terima kasih. Rumah kita arahnya berbeda. Saya nanti ngrepoti dokter Raka." "Tidak juga." "Tidak usah, Dok. Terima kasih banyak. Saya masih mampir minimarket juga nanti." Vania mencari alasan. Sudah cukup orang-orang menggunjingnya tentang kegagalan kemarin. Dia tidak ingin menambah lagi gosip baru kalau pulang di antar oleh Raka. "Oke. Kamu sudah pesan taksi?" "Belum. Di depan biasanya ada ojek. Saya bisa naik itu saja." "Kalau gitu hati-hati, ya." Vania tersenyum sambil mengangguk. Mereka sudah sampai parkiran. Dua orang teman koas Vania menghampiri dan menyapa Raka. Dokter laki-laki itu akhirnya pamit dan melangkah ke arah mobilnya. "Cie, semalaman bareng dokter Raka, ya?" goda salah seorang dari temannya. "Kami banyak pasien tadi malam," jawab Vania. "Dia masih single kok, Van. Ganteng pula itu." "Ada-ada saja kamu, Ci," sergah Vania sambil memandang temannya yang bernama Cici. Sedangkan satu rekan disebelahnya terlihat tidak peduli. Bisa dikatakan tidak suka. Sebab sejak koas di rumah sakit itu, dokter Raka memang menarik perhatiannya. "Aku pulang dulu, ya. Selamat bekerja untuk kalian." Vania melangkah pergi. Dia keluar gapura dan menghampiri lelaki setengah baya yang menunggu penumpang. "Pulang ke mana, Dok?" "Antar saya ke resort, Pak." "Wah, tapi jauh, Dok. Nggak apa-apa to naik motor?" "Nggak apa-apa." "Baiklah. Ini helm-nya." Motor bergerak meninggalkan rumah sakit. Melaju ke arah resort yang ada di pinggiran kota. Resort yang sudah selesai pembangunannya dan tinggal peresmian saja. Sebenarnya Vania pesimis mendapatkan kabar Sagara di sana. Sebab sudah berulangkali dia atau orang suruhan papanya datang ke sana untuk mencari suaminya. Namun tak mendapatkan keterangan apapun. Setelah turun dari motor, Vania meminta bapak ojek untuk menunggu. Baru ia melangkah mendekati pos satpam. Seorang lelaki yang berjaga di sana menyambutnya. Sepertinya dia tidak mengenali Vania, karena gadis itu juga mengenakan masker. "Mau cari siapa, Mbak?" "Pak, bisakah saya bertemu manager proyek di sini." "Pak Adit maksud, Mbak?" "Iya." Adit adalah manager yang menggantikan Sagara setelah pria itu pergi. "Tapi beliau sudah jarang ke sini sekarang." "Berapa hari sekali biasanya beliau datang, Pak?" "Nggak tentu, Mbak." Vania diam sambil memperhatikan bangunan megah di dalam sana. Tempat ini termasuk penyumbang kenangan pahit baginya. Lalu Vania kembali memandang Pak Satpam. "Maaf, Pak. Bisakah saya minta nomer teleponnya Pak Adit?" "Maaf, saya nggak punya, Mbak," jawab lelaki berseragam biru itu. Bukan tidak punya, tapi tidak berani memberikan pada Vanya. "Baiklah, Pak. Terima kasih." Vania menangkupkan tangan kemudian melangkah pergi. Dia tidak menyadari ada seseorang yang memperhatikan dari jendela kaca kantor di lantai tiga. Vania pulang dengan hampa. Baru sekali ini dia bertemu dengan lelaki yang begitu baik tapi juga kejam dalam waktu yang bersamaan. Sesampainya di rumah, Vania mandi dan ganti pakaian. Ada satu tempat yang ingin di datanginya. Tidak peduli mata mengantuk, tubuh lelah, ia tetap ingin pergi. Karena ini kesempatan, mumpung kedua orang tuanya sedang ke Surabaya. "Mbak Mar, ada kerjaan yang harus saya selesaikan dengan teman koas. Nanti kalau Papa atau Mama telepon, bilang begitu, ya." Vania berpesan pada ART-nya. "Iya, Mbak. Tapi Mbak Vania mau naik apa? Bapak melarang Mbak nyetir mobil." "Saya naik taksi." "Oh iya. Hati-hati, Mbak." Vania mengangguk lantas melangkah pergi. Duduk di gazebo depan menunggu taksi datang. Jika ada kesempatan, dia akan terus mencari Sagara sampai ketemu. Walaupun sampai sekarang ini, orang-orang suruhan papanya juga masih terus mencarinya. Namun lelaki ini seperti hilang ditelan bumi. Ketika tengah melamun, ada dua orang laki-laki berdiri di luar pagar dan memanggilnya. Vania menghampiri. "Selamat pagi, Mbak," sapa mereka. "Pagi juga. Mas berdua mencari siapa?" tanya Vania berbicara dari celah pintu pagar. "Kami dari Trust Media. Ingin bertemu Mbak Vania. Untuk sedikit wawancara kalau bersedia. Mengenai berita yang sempat viral di media sosial beberapa hari kemarin. Mbak ini, Mbak Vania, kan?" Salah satu dari mereka bicara sangat ramah. "Maaf, Mas. Masalah saya bukan untuk jadi bahan berita. Viral juga bukan keinginan saya. Ini hal yang menyedihkan bagi saya." "Maaf, maaf banget. Bukan bermaksud memanfaatkan keadaan. Tapi biar menjadi inspirasi bagi orang-orang yang merasa putus asa karena mengalami nasib seperti Mbak Vania." Wartawan di luar tetap bersikap manis meski sudah ditolak. "Semoga nggak akan ada lagi perempuan yang dipermalukan seperti saya, Mas. Maaf, saya nggak bisa ngasih informasi apapun." Selesai bicara, Vania menjauh. Next ....DENDAM- Mancarimu"Jujur saja sama aku. Aku bisa nyimpen rahasiamu. Lagian nggak ada yang salah. Kamu dan dia sudah sah sebagai suami istri."Vania menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis. Andai di sekitarnya tidak ada CCTV, dia akan meledakkan tangisnya saat itu juga. "Ya," jawab Vania lirih. Nyaris tak terdengar. Kemudian ia menarik napas panjang. "Tapi kamu nggak hamil kan, Van?""Nggak. Aku sempat khawatir juga sebenarnya. Setelah kejadian pertama kali, aku langsung minum pil kontrasepsi. A-aku sendiri masih ingin meraih gelar dokterku, Tar. Aku nggak ingin gagal dan harus mengulang. Tapi aku sempat takut juga, nggak ada kontrasepsi yang bisa menjamin 100%. Berkali-kali aku cek, hasilnya negatif semua.""Syukurlah. Bebanmu nggak semakin berat. Tapi beneran kamu masih ingin mencarinya?""Iya.""Ke mana?""Ke mana saja. Sampai dia ketemu.""Kamu memang harus bertemu dia untuk menyelesaikan statusmu, Van."Keduanya berbincang sampai beberapa saat kemudian. Setelah itu Vania
DENDAM- Jawab Jujur Tangan Vania gemetar saat membuka bungkus testpack ketiga. Yang dua kali hasilnya samar. Karena memikirkan hal itu, ia menghabiskan dua malam dengan dada sesak. Takut sekali kalau hamil.Sekarang di toilet rumah sakit, Vania menatap alat mungil di tangannya dengan jantung berpacu hebat. Seolah sedang menunggu takdir selanjutnya seperti apa. Jarum jam dipergelangan tangannya terasa begitu lama berputar. Tiga menit. Itu waktu yang akan menentukan, apakah hidupnya akan berubah atau tetap seperti sekarang ini.Vania menahan napas dan memandang benda kecil itu.Negatif.Ia mengembuskan napas lega. Air matanya jatuh. Kelegaan yang tak bisa ditampung dengan kata-kata. Ia tidak hamil. Tuhan masih memberinya waktu dan kesempatan untuk menjadi dokter dan mengejar cita-citanya setelah dihancurkan oleh seorang pria yang kini entah di mana.Sagara. Nama itu menoreh hatinya bagai luka bakar yang panas, menyakitkan, dan membekas begitu dalam. Sagara menggantungnya dalam ketidak
DENDAM - Apa salahku? "Saya ...." Vania berhenti lalu menunduk menahan isak. Kemudian kembali mengangkat wajahnya. "Saya sangat sedih untuk hari ini. Tapi mungkin memang tidak ada jodoh di antara kami. Saya terima dengan lapang hati "Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh tamu undangan yang tetap hadir di sini, meskipun sebagian sudah tahu, kalau pernikahan ini sebenarnya telah batal. Terima kasih banyak untuk semuanya." Vania menangkupkan tangan sambil memandang dokter-dokter senior yang duduk di barisan depan. Lalu melakukan hal yang sama pada semua undangan yang datang. Kemudian ia mundur ke belakang. Suara tepuk tangan menggema bersama dengan ucapan penyemangat. Sebagai penghormatan untuk keberanian seorang gadis yang sudah dihancurkan dan dipermalukan. Setelah itu ganti Pak Setya yang memberikan sambutan. Intinya sama, ucapan terima kasih dan permintaan maaf. Setelah Vania turun dari panggung, para dokter senior, teman-teman koas, dan rekan-rekan la
DENDAM- Dia Tidak Akan Datang "Aku akan keluar kota. Seminggu lagi aku akan menjemputmu untuk kenalan sama keluargaku sebelum resepsi pernikahan kita." Vania masih teringat saat Sagara hendak pamit sore itu. Ketika mereka makan di sebuah kafe.Namun sampai menjelang hari pernikahan, pria itu menghilang tanpa kabar. Jejaknya pun tidak ada. Sedangkan orang-orang yang masih bekerja di resort, kalau ditanya jawabannya tidak tahu semua. Memang tidak semua orang kenal secara langsung pada Sagara. Para pekerja kasar tahunya kalau pria itu adalah bos mereka. Sementara para atasan, semuanya bungkam."Vani, kamu kenapa, Nak. Ayo, berdiri!" Bu Endah membantu putrinya untuk bangkit dari lantai, lalu memapahnya duduk di sofa ruang keluarga. "Aku sudah mendengar semuanya, Ma."Bu Endah mengangguk dengan bibir bergetar karena menahan tangis. Dia tidak sanggup berkata-kata untuk beberapa saat. Tidak terbayangkan betapa hancur hati putri tunggalnya. Sedangkan tubuh Vania terguncang karena terisak.
DENDAM- Terancam Gagal"Van, dibatalkan saja resepsi pernikahan ini."Vania, gadis yang tengah tegang menatap layar ponselnya itu kaget dan lemas mendengar ucapan papanya. Rasa cemas terpancar dari wajah ayunya yang sekarang terlihat pucat. Tangannya gemetar, lelaki yang akan menikahinya seminggu lagi, tiba-tiba menghilang tanpa kabar berita. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Alamat rumahnya dicari memang ada, tapi di sana kosong.Pak Setya sendiri tidak tega melihat putrinya yang terlihat terpuruk. Dalam hati mengutuk lelaki yang tiba-tiba pergi tanpa jejak. Tidak menyangka pria yang begitu sopan, ramah, gagah, dan tampan itu tega menipu keluarganya. Padahal sejauh mereka saling kenal, tak ada gelagat mencurigakan. Makanya dengan sangat bersemangat, Pak Setya tidak keberatan pria itu dekat dengan putrinya. Ada apa sebenarnya dibalik kejadian ini? Kenapa Sagara yang baik itu mempermainkan mereka."Bagaimana, Nduk?" tanya Pak Setya dengan tatapan cemas.Vania menarik napas panjang untu