Home / Romansa / DENDAM LUKA LAMA / 6. Luka Itu Tidak Gratis

Share

6. Luka Itu Tidak Gratis

last update Last Updated: 2025-07-17 00:00:31

DENDAM

- Luka Itu Tidak Gratis

"Dia mencarimu lagi di resort. Bertanya pada satpam di sana." Pria bernama Rendy itu memandang pria berjas gelap yang membelakanginya. Dia bos sekaligus teman baiknya. Rendy saksi bagaimana sosok itu bangkit setelah semuanya nyaris sirna.

Pria itu bergeming, tidak menoleh sama sekali. Tetap berdiri tegak dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Wajahnya lurus memandang kejauhan. Gedung-gedung tinggi pencakar langit menjulang di hadapan.

"Apa kamu tidak kasihan? Dia tak tahu apa-apa. Dia hanya gadis polos yang mencintaimu dengan tulus. Sama sekali tidak paham dengan segala apa yang kamu rencanakan." Rendy kembali bicara.

"Vania bukan Pak Setya, Bro." Rendy mendekat dan berdiri di sebelah sahabatnya yang berwajah dingin tanpa ekspresi. "Dia tidak bersalah dalam hal ini."

"Dia anaknya," tegas lelaki berjas hitam. "Dan pembalasan paling manis adalah menghancurkan apa yang paling disayangi Setya Winata."

"Aku tahu kamu nggak sekejam itu. Jangan pungkiri kalau kamu ada perasaan sama dia. Kasihan Vania. Ketulusannya kamu manfaatkan untuk membalas dendam," ucap Rendy. "Karma berlaku, Bro."

"Akan kuterima. Luka yang diberikan Setya dulu juga tidak gratis. Luka harus dibayar luka."

Rendy menarik napas panjang. "Kamu sudah melihat apa yang viral kemarin, kan? Bagaimana dia tetap berdiri tegak menghadapi hal paling memalukan dalam hidupnya. Apa kamu nggak ada penyesalan dan rasa kasihan sama sekali?"

"Jangan bicara tentang kasihan denganku. Lelaki itu juga tanpa belas kasihan menghancurkan hidup seorang gadis lima belas tahun yang lalu." Selesai bicara dia langsung berbalik dan memandang sahabatnya. "Aku ada pertemuan dengan dewan direksi. Kamu yang handle kantor seperti biasanya."

"Oke." Rendy memandang sahabatnya sampai hilang di balik pintu. Dia bisa merasakan sakit akhibat luka lama. Tapi kenapa harus Vania? Perempuan bermata bundar yang memandang kekasihnya dengan tatapan memuja. Betapa binar bahagia itu terpancar tiap kali memandang suaminya.

Senyum itu sangat tulus dan ikhlas. Dia baik, lembut, tapi juga tegas. Rasanya tidak adil kalau dia menjadi target pelampiasan dendam.

🖤LS🖤

Langkah Vania terseok di trotoar. Sungguh dia sangat lelah sebenarnya. Tidak hanya lelah secara fisik, tapi juga mentalnya. Apalagi semalaman nyaris tidak tidur.

Pelipisnya basah berkeringat. Vania duduk di sebuah halte. Kemudian mengangkat kaki untuk melihat tumit sepatu flat-nya yang tadi sempat tertusuk paku kecil. Untungnya tidak tembus sampai ke kaki.

Tubuhnya gemetar sambil memandang kantor cabang Buana Raya yang tampak di hadapannya. Di seberang jalan. Tujuannya memang ke sana. Vania menarik masker yang dipakainya ke bawah, agar bisa bernapas lega. Sejenak kemudian dipakainya lagi. Rasa sesak memenuhi dada.

Tidak seharusnya dia seperti ini. Hidupnya berkecukupan meski dia bukan termasuk anak manja, apalagi sombong. Vania anak tunggal yang mandiri. Dia dilimpahi kasih sayang dan perhatian. Orang tuanya pasangan yang harmonis dan menjadi kekaguman semua orang. Namun kenapa dia hancur oleh seorang lelaki bernama Sagara. Apa dosanya hingga menanggung beban yang begitu berat.

Setelah cukup istirahat dan menenangkan diri, Vania menyeberang jalan. Dia melangkah ke pos penjagaan.

"Selamat sore, Pak," sapa Vania pada seorang satpam yang baru selesai menghabiskan kopi.

"Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Oh, begini. Saya ingin menemui salah seorang manager proyek Buana Raya. Namanya Pak Sagara."

Dahi satpam itu mengernyit heran. "Maaf, di sini tidak ada yang bernama Sagara, Mbak. Pimpinan di sini bernama Aditya."

"Mungkin dia pimpinan sebelumnya, Pak?"

"Mungkin Mbak salah alamat. Sejak dulu pimpinan kantor cabang di sini ya Pak Aditya. Mungkin Sagara itu salah satu manager di kantor pusat atau di kantor cabang lainnya."

Vania terdiam sesaat. Dia tahu kalau Buana Raya memiliki beberapa cabang. Lantas apa dia akan mencarinya ke tempat itu satu per satu?

Belum sempat kembali bicara, ponsel di tas ranselnya berdering. Saat diambil, nama ibunya tertera di layar. Vania agak menjauh untuk menerima panggilan. "Assalamu'alaikum, Ma."

"Kamu di mana sekarang? Mama telepon nggak kamu angkat. Kata Mbak Mar kamu keluar ngerjain tugas."

"Iya. Sebentar lagi aku pulang. Mama, jam berapa sampe rumah?"

"Mama meneleponmu untuk mengabari, Van. Papa dan Mama belum bisa pulang malam ini. Kami sekalian mampir ke rumah tantemu. Besok baru pulang."

"Oh iya, Ma. Nggak apa-apa."

"Kalau sudah beres, kamu lekas pulang, ya. Nanti masih shift malam, kan?"

"Iya."

"Kamu pasti nggak tidur seharian ini?"

Benar. Vania tidak tidur sama sekali. Membuat tubuhnya terasa lemas dan limbung. Sumpah dia lelah sekali rasanya. Sebelum ke Buana Raya, Vania sudah pergi ke kafe, di mana ia dan Sagara beberapa kali ke sana. Lalu ke taman juga. Namun jejak lelaki itu tidak ada sama sekali.

"Van."

"Iya, Ma."

"Lekas pulang biar kamu bisa istirahat."

"Sebentar lagi aku pulang."

"Ya udah. Hati-hati di jalan. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Vania kembali melangkah gontai ke pos satpam. Dia harus pamitan. Jika ada waktu lagi, dia akan mencari di tempat lain. "Pak, saya minta alamat kantor cabang yang lain, ya."

"Iya, Mbak. Ini." Satpam memberikan selembar leaflet yang berisi informasi tentang Buana Raya dan alamat cabangnya.

"Terima kasih, Pak. Saya pamit dulu. Selamat sore."

Satpam menjawab salam sambil mengangguk. Dan Vania kembali melangkah pergi. Dia kembali duduk di halte sambil memesan taksi online. Beberapa menit kemudian sebuah mobil datang.

"Mas, nanti kalau sudah sampai alamat rumah saya, tolong bangunkan, ya." Vania berpesan pada sopir taksi setelah memberitahu alamat pasti rumahnya. Membuat lelaki muda itu kaget dan memandang Vania dari spion tengah. Apa gadis itu tidak takut kalau dibawa kabur.

"Mas, saya capek sekali. Tolong ya, bangunin saya nanti." Mata Vania sudah terasa berat. Bicara pun serasa tak sanggup lagi.

"Iya, Mbak." Saat sopir taksi menjawab, Vania sudah tidak mendengar. Gadis itu bersandar lemah dan terlelap.

Next ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (16)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
Sagara ternyata bos ya gak kariyawan biasa..duh Sagara jngn sampai km jilat ludah km Lo ya..km yg dah nyakitin n nyia2n vania.moga ja Vania berjodoh ma dokter raka
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
eee alah ternyata Pak Setya yg dah bikin slah ya..mng 15 th yg Lalau pak Setya dah nyakitin kakaknya Sagara atau siapa ya gadis yg di masut
goodnovel comment avatar
Yanyan
yg salah pak Setya yg jadi korban anaknya Vania ..gebleg dasar sisagara ..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DENDAM LUKA LAMA   224. Mengambil Sikap 4

    Sosok dewasa itu turun dari mobilnya setelah Cici muncul di depan pintu. Surprise sekali bagi Cici. Tak menyangka Angkasa rela nyetir sendirian dari Jogja demi mencari rumahnya di Kediri. Orang tua Cici menyambut dengan ramah. Pertemuan dimulai dengan perkenalan. Dan ini sungguh mengejutkan, Cici dan orang tuanya baru tahu kalau Angkasa bukan dari keluarga biasa. Hampir semua keluarganya berprofesi dokter. Pemilik sebuah klinik yang dikelola bersama. Dan lewat video call, Cici berkenalan dengan kedua orang tua Angkasa."Minggu depan, kami sekeluarga akan berkunjung ke rumah Bapak dan Ibu untuk melamar Nak Ciciana." Ucapan mamanya Angkasa sungguh mengejutkan.Tanpa bertanya pada Cici, mamanya langsung bilang. "Kami tunggu, Bu."Penantian Cici pada dokter Raka 2,5 tahun, akhirnya terbayar manis dengan kehadiran dokter spesialis bedah jantung yang baru dikenalnya belum lama.🖤LS🖤Semua proses menuju pernikahan begitu cepat. Orang tua Angkasa datang melamar dan langsung membicarakan ha

  • DENDAM LUKA LAMA   223. Mengambil Sikap 3

    "Mas, makasih banyak. Nggak nyangka kita bisa jadi teman selama dua hari ini." Cici memandang Angkasa."Nggak hanya dua hari. Kita bisa jadi teman seterusnya. Saya akan mengunjungimu ke Blitar nanti."Cici tersenyum. Lalu mengulurkan tangan karena ia harus segera naik ke kereta. "Hati-hati. Nanti sesampainya di Blitar kabari.""Ya." Cici kemudian mengikuti porter yang berjalan di depannya. Lalu menoleh sejenak pada Angkasa sebelum ia menjauh.🖤LS🖤Hari-hari berikutnya, Cici makin tertekan. Raka jarang sekali menghubungi. Sekalinya bicara, hanya tentang pekerjaan dan keluh kesah tugas. Tidak pernah menyinggung soal masa depan mereka.Sementara Angkasa semakin gencar mendekati. Ia menanyakan kabar lewat pesan dan telepon. Padahal sebagai dokter bedah, dia juga sangat sibuk. Bahkan mengirim bunga ke kosan Cici,Di titik itu, hati Cici makin terombang-ambing. Angkasa bicara secara terbuka, kalau ingin mengenal lebih jauh dengan Cici. Sedangkan Raka tak memberikan perkembangan apapun. Pa

  • DENDAM LUKA LAMA   222. Mengambil Sikap 2

    "Itu Mbah saya. Beliau sudah nungguin. Sudah sepuh banget beliau, Mas. Umurnya hampir 90 an. Agak pikun, tapi alhamdulillah masih sehat." Cici bicara sambil memperhatikan ke arah rumah."Alhamdulillah. Boleh saya ikut turun?""Eh, jangan, Mas. Saya nanti diomelin sama beliau. Walaupun sudah sepuh, beliau peka sekali hal begini.""Oke. Saya minta nomer ponselnya, ya." Angkasa mengambil ponsel dari konsol box. Cici menyebut nomernya. Setelah itu bersiap untuk turun. "Makasih banyak untuk dinner di angkringannya, Mas."Angkasa tersenyum lebar. Dia menyukai cara Cici berbicara dan bercanda. Asyik dan menyenangkan meski baru juga kenal. Seru gadis itu. Pria itu memperhatikan sampai Cici kembali memandang ke arahnya dan melambaikan tangan. Baru ia meninggalkan tempat itu.Cici mencium tangan neneknya yang duduk menunggu. "Kamu dari mana saja?" tanya sang nenek."Dari Malioboro, Mbah. Jalan-jalan. Yuk, kita masuk." "Siapa mobil yang mengantarmu tadi?" Sambil dibimbing melangkah masuk rumah

  • DENDAM LUKA LAMA   221. Mengambil Sikap 1

    DENDAM - Mengambil Sikap "Hai, Mas." Cici menoleh pada pria jangkung di sebelahnya. Tidak menyangka bertemu lagi dengan dokter itu."Nggak nyangka ketemu sama dokter di sini.""Jangan panggil saya dokter, panggil nama saja," kata Cici.Angkasa tersenyum. "Cici, sendirian?"Cici mengangguk. "Boleh saya ikut duduk.""Silakan!" Cici bergeser. Memberi tempat untuk Angkasa. "Mas, juga sendirian?""Ya," jawab Angkasa dengan raut wajah segar. Dia baru selesai salat Maghrib di mushola yang tak jauh dari tempat Cici berada.Tapi jujur saja, dokter tampan itu memang sengaja jalan-jalan. Siapa tahu bertemu dengan gadis yang ditemuinya kemarin malam. Entah kenapa dia tertarik. Padahal sama sekali tak mengenalnya. Belum tahu juga Cici ini sudah punya kekasih apa belum. Sudah bertunangan atau justru istri orang.Walaupun tidak yakin akan bertemu. Apalagi Malioboro sangat luas dan ramai pengunjung. Terlebih akhir pekan begini. Namun keberuntungan berpihak padanya. Ia bertemu Cici dalam situasi sa

  • DENDAM LUKA LAMA   220. Menanti Janji 3

    Kereta melaju kencang melintas beberapa kota. Sawah, rumah-rumah, dan pepohonan berganti cepat di balik kaca. Ia mengalihkan pandangan, menenggelamkan diri pada pemandangan senja. Jogjakarta baginya bukan sekadar kota asing. Dia sering datang ke sana mengunjungi neneknya.Kali ini ia kembali ke sana, siapa tahu di kota itu ia bisa menemukan jawaban atas dilema dalam hatinya.Tepat jam delapan malam, kereta akhirnya berhenti di Stasiun Tugu. Hiruk-pikuk penumpang yang turun bercampur aroma khas stasiun, bau besi, keringat, dan jajanan kaki lima langsung menyambut. Cici menenteng ranselnya, berjalan keluar bersama arus orang banyak.Udara malam Jogja menyapa dengan hangat. Lampu jalanan berkelip. Namun, baru beberapa langkah keluar stasiun, keributan kecil menarik perhatiannya. Seorang ibu-ibu jatuh dari motor, menabrak pembatas trotoar. Orang-orang berkerumun tapi hanya memandang tanpa berani menyentuh.Cici spontan berlari mendekat.Wanita itu tidak sadarkan diri. Dengan cepat ia memp

  • DENDAM LUKA LAMA   219. Menanti Janji 2

    "Dok, kenapa keliatan suntuk seharian ini?" tanya seorang perawat yang sangat akrab dengannya. Bahkan mereka memang sudah dekat semenjak Cici masih koas di Harapan Sentosa.Cici tersenyum hambar. "Nggak apa-apa.""Jangan bohong. Biasanya kamu cerewet. Pasti ada yang dipikirin.""Kita ke kafe depan sana, yuk. Minum dulu sebelum pulang.""Yuk," jawab perawat bernama Dinda itu.Mereka menyeberang jalan. Kemudian memesan sandwich dan dua gelas jus melon. "Ada apa tiba-tiba dokter pulang kemarin sore?" tanya Dinda."Jangan panggil dokter. Biasa aja kalau di luar.""Oke. Ada masalah apa yang membuatmu murung begitu?""Ada pria yang ingin melamarku, Din.""Dokter Raka?" Dinda memang tahu kedekatan tak biasa antara Cici dan dokter itu.Cici menggeleng. "Bukan. Orang lain, Din.""Lalu ....""Entahlah." Cici diam sejenak, lalu kembali bicara. Kali ini agak lirih dan memandang lurus ke temannya. "Din, menurutmu wajar nggak kalau cewek duluan nanyain kejelasan hubungan?""Ya, wajar aja. Zaman se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status