Jenny.Erlangga menarik napas panjang, menahan rasa kesal yang mendidih di dadanya. Kembali diletakkan ponsel di meja. Yang dia butuhkan sekarang ini kabar dari Vania, bukan Jenny.Mungkin Jenny dan keluarganya sudah mengetahui keputusannya tadi malam. Erlangga tidak peduli semurka apa mereka. Tidak mungkin juga pihak mereka akan memutuskan kerjasama yang bernilai fantastis, hanya karena gagal dalam perjodohan.Erlangga tahu kalau hubungannya dengan Vania tidak akan mudah. Terjal, penuh batu sandungan, dan mungkin akan membuat keduanya berdarah. Tapi ia siap. Ia akan menggenggam erat tangan Vania melewati semua itu.🖤LS🖤"Besok biar kamu di antar saja sama Pak Agil, Van. Jangan naik bis lagi," ujar Bu Endah saat mereka duduk bertiga di ruang santai sore itu. Ngobrol seperti tak terjadi apa-apa antara Vania dan papanya."Nggak usah, Ma. Aku nyaman juga naik bis," tolak Vania. "Atau di antar Papa saja, biar Papa tahu klinik tempatku internship. Tahu kosanku juga. Selama ini kan hanya
Pak Setya merasa dunia mengecil. Udara terasa bertambah pengap. Semua dosa yang berusaha ia kubur, kini menyeruak seperti digali kembali. Ia tidak mungkin lupa tentang noktah hitam itu. Dia ingat bagaimana Alina menyumpahinya. Makanya itu, ia sangat protektif pada Vania. Supaya anak gadis kesayangannya tidak membayar hutang-hutangnya.Namun siapa mengira, Vania membayar tunai hutangnya. Sumpah Alina menjadi kenyataan. Ia ingat bagaimana memberikan restu pada Sagara yang ingin mendekati putrinya saat itu. Padahal dia sangat selektif terhadap lelaki yang ingin dekat dengan Vania. Pak Setya akhirnya bersandar ke kursi. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa ia lontarkan sebagai pembelaan."Apa Mama tahu tentang pengkhianatan, Papa?"Pak Setya menggeleng. Ia berhasil menutup rapat rahasia itu bertahun-tahun.Vania menangis tanpa suara. Hanya air mata yang terus merambat deras di pipinya. "Sehancur apa hati Mama kalau tahu hal ini.""Van, jangan kasih tahu Mama," pinta Pak Setya dengan tatapa
DENDAM - Aku Tahu Semuanya Pak Setya terkejut saat nama Alina disebut oleh putrinya. Namun di tengah rasa kagetnya, dia berharap bahwa ini Alina yang berbeda. Bukan Alina Fitria.Vania melihat wajah sang papa yang mendadak tegang dan pucat. Seolah terpaku di tempat. Namun sesaat kemudian, dia berdehem lirih supaya terlihat biasa dan Vania tidak curiga.Hening. Semilir angin siang itu serasa membawa hawa panas. Tak lagi segar seperti tadi. Pak Setya memandang kaku ke depan sana. Vania pun diam menata hati dan merangkai kalimat yang hendak diucapkan. Ini kesempatan bicara mumpung mamanya tidak ada di rumah."Pa." Panggilan itu seolah menghentikan detak jantung Pak Setya. "Aku sudah tahu semuanya," lanjut Vania pelan. Tapi seperti pisau yang langsung menusuk tepat ke jantungnya. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya yang gemetar."Tahu apa, Van?" tanya Pak Setya dengan gestur gelisah meski berusaha tetap tenang."Tahu tentang hubungan Papa dengan Alina Fitria. Tentang pernikahan si
"Oke, tidak apa-apa.""Mas, nggak marah?"Erlangga menggeleng. "Kalau ada apa-apa kabari. Aku tunggu di Palm Hotel.""Ya." Vania turun setelah keningnya dikecup Erlangga beberapa saat.Wanita itu melangkah dan masuk mobilnya Tara. Setelah kendaraan itu melaju meninggalkan terminal, Erlangga juga pergi ke hotel yang sudah ia pesan tadi malam.Dalam perjalanan, Vania menceritakan bagaimana persahabatannya dengan Alina, juga pertemuannya dengan Bu Ambar. "Mereka semua orang baik, Tar.""Perjalanan kalian nggak akan mudah, Van.""Kami tahu."Tara tidak banyak berkomentar tentang perasaan Vania. Sebelum Sagara pergi saat itu, dia tahu betul kalau sahabatnya memang mencintai Sagara. Kalau mereka sekarang kembali bersama, mungkin takdirnya memang seperti itu.Mobil Tara berhenti di depan pagar. Vania memperhatikan rumah yang membuatnya kangen. Orang tuanya pasti terkejut atas kepulangannya."Kamu nggak mampir dulu?" tanya Vania."Nggak. Sore atau besok aku ke sini lagi. Aku harus nganterin i
"Apa sebaiknya kita jujur saja. Tara mungkin marah, tapi dia lebih tahu tentang kita daripada Cici," saran Erlangga."Apa aku harus cerita juga tentang papaku?""Tidak perlu. Cerita saja kalau kita kembali bersama."Keduanya terdiam sejenak. Vania mempertimbangkan saran suaminya. Kalau dia cerita, resikonya dimarahi Tara, dinasehati supaya dia sadar. Kenapa harus kembali pada pria yang sudah memberinya luka dan rasa malu. Tentu Tara tak habis pikir dengan keputusannya. Menganggapnya bodoh, diperbudak cinta, atau apalah omelannya nanti. Kecuali Tara tahu cerita yang sebenarnya."Kita ngajak Tara cerita di mana, Mas? Kakau di luar, banyak kenalan papaku. Nanti mereka mengenaliku.""Di mobil saja."Vania termangu, kemudian mengangguk. Mobil bergerak sesuai arahan Vania, karena Vania yang lebih paham sudut terminal itu.Mobil Erlangga berhenti tepat di depan bangku semen di sisi trotoar. Di atas bangku itu Tara duduk sambil mengetuk-ngetukkan kaki, tatapannya awas menyapu penjuru terminal
DENDAM- Pulang Surabaya makin jauh di belakang dan mereka memutuskan untuk beristirahat di rest area pertama di Mojokerto.Mereka masuk sebuah kafe yang masih sepi. Erlangga memesan nasi pecel dan kopi, sedangkan Vania memesan soto ayam beserta teh hangat.Semilir angin pagi terasa menyegarkan. Erlangga bernapas lega, di sini mereka mendapatkan kebebasan. Tidak perlu takut ketahuan dan bisa duduk tenang bersama Vania. Pada akhirnya dia ingin seperti ini, bebas membawa Vania ke mana pun. Dan bisa tinggal di rumah sendiri.Namun berbeda dengan Vania yang diam tapi gelisah. "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Erlangga menatap lekat wanita cantik di hadapannya."Membayangkan percakapanku nanti dengan papa," jawab Vania lirih sambil menyuap.Erlangga yang tadi bisa bernapas lega, kini turut cemas. Rasa takut kehilangan kembali menyeruak. Kalau rasa itu sudah menguasai diri, ingin sekali mendekap erat Vania. Membenamkan wanita itu ke dalam dirinya dan membawa pergi jauh dari orang-orang yang