Share

1 - Akhir Bulan Madu

Empat tahun sebelumnya …

“Bila kita punya anak, akan kita beri nama apa?”

Gamma membuka mata dan mendapati seraut wajah manis dengan rambut acak-acakan menatapnya hangat. Gamma merapikan anak rambut wanita di hadapannya lalu mengangkat dagu lancipnya dengan telunjuk. Sudah dua puluh hari mereka berbulan madu, rasanya dia tak pernah puas memainkan dagu lancip Mala, menggelitik lehernya dan mengecup tahi lalat di pangkal leher. Ada tato berbentuk mawar tepat di bawah rahang. Gamma yang menyuruh Mala mentato bagian itu, sehari setelah menikah.

Karena di tato Mawar itulah, Gamma menandai titik paling sensitif istrinya.

“Aku belum berencana punya anak,” ucap Gamma lembut. “Aku ingin kita berdua saja beberapa lama, mungkin lima atau sepuluh tahun lagi. Bagaimana menurutmu, sayang?”

“Aku tidak mau menunggu selama itu,” ucap wanita yang dipanggil sayang sembari mengecup ujung hidung Gamma dan menggigitnya lembut. “Aku akan kesepian.”

“Kau tidak akan kesepian. Kita akan berbulan madu selama selama sepuluh tahun. Kau tahu kan, kalau aku tidak tahan …”

“Aww …” Mala memekik manja. Gamma mulai memainkan tangannya di bawah selimut. Mala menarik diri menjauh, namun tentu saja tangan Gamma lebih lihai untuk menguncinya kembali. Dia belum ingin berpisah dengan Mala pagi ini.

“Ini sudah siang, aku lapar.” Mala berusaha melepas tangan Gamma yang mendekapnya kuat.

“Siang? Ini masih gelap,” gumam Gamma, kembali mengangkat dagu Mala dengan jemarinya dan Mala menyerah. Gamma sudah mengenali setiap inchi dirinya, termasuk tahi lalat di pangkal lehernya. Dia sudah mengklaim bahwa tahi lalat itu hanya dia yang boleh menyentuh. Setiap Gamma mengangkat dagunya dengan jemarinya, bibirnya akan berakhir di tahi lalat sebesar kacang hijau itu.

Terdengar dering ponsel Gamma–entah ada di mana. Suara sayup-sayupnya membuat Mala punya alasan untuk melepaskan diri dari Gamma. 

“Biarkan. Semua orang di Nashville sudah tahu kalau kita sedang bulan madu,” keluh Gamma kesal. Siapapun yang mengganggunya akan menerima hukuman bila dia pulang nanti. Dia hanya menerima telepon dari Vicky, itupun untuk urusan yang maha penting saja. Tidak boleh ada yang membuat hasratnya terputus di tengah jalan.

Mala sudah membalut diri dengan piyama dan rupanya dia berhasil menemukan ponsel Gamma, di kolong meja. Semalam memang Gamma melemparnya sehabis Vicky menelpon. Meski berdering lagi, dia tak mau mengangkatnya karena sudah disibukkan dengan Mala.

“Dari Vicky.” Mala menjulurkan ponsel. “Sepertinya penting, ada tujuh belas panggilan.”

Gamma mengernyit. Tujuh belas panggilan, itu artinya amat sangat penting. Gamma sengaja tidak memberitahu di hotel mana dia dan Mala menginap–agar tak ada seorang pun yang mengganggu bulan madunya. Bahkan setiap pekan mereka berpindah hotel, agar Vicky–asisten pribadinya yang sangat piawai dalam segala hal–tidak bisa menemukannya dengan mudah.

“Ada apa? Kuharap sangat penting karena kau sudah membuat aku kehilangan hasratku!” bentak Gamma sembari bangkit dari ranjang dan membelit badannya dengan selimut. 

Mala mengulum senyum, mendekati Gamma dan mendaratkan kecupan di pipi suaminya. “Aku mandi dulu.” 

Gamma hendak menarik Mala dalam pelukannya agar punya alasan untuk melempar ponselnya lagi, tapi Mala sudah keburu lari ke kamar mandi. Mau tak mau, Gamma menuju jendela besar, menyibak tirai dan mendapati pantai Maldives di hadapannya.

 Mala benar, ini sudah siang. Matahari sangat terik di luar sana, membuat pantai terlihat berkilau menyilaukan.

“Maafkan aku, Gamma. Kurasa kau harus pulang sekarang.” Suara Vicky di seberang berusaha dibuat setenang mungkin, meski nada panik bisa ditangkap jelas oleh Gamma.

Gamma merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Aku pulang sepuluh hari lagi.”

“Sekarang, Gamma.”

“Ada apa?” Gamma melirik ke arah kamar mandi. Terdengar suara gemericik air. Dia tak ingin membuat Mala kecewa karena harus mengakhiri bulan madu mereka.

“Papa Moreano.”

Papa Moreano? Bahkan Papanya berjanji tidak akan mengganggu bulan madunya. Dia yang menyarankan Gamma membawa Mala ke Maldives dan berjanji tidak mengusik dengan apapun. Bahkan bila ada gempa bumi di Maldives, dia akan menghentikannya agar Gamma dan Mala bisa berbulan madu tanpa gangguan.

“Ada apa dengan Papa? Dia menyuruhku pulang?” tanya Gamma semakin yakin ada kejadian yang lebih dahsyat dari gempa bumi.

“Papa Moreano … tewas semalam. Seseorang telah membunuhnya.”

***

Gamma berdiri kaku sejak sepuluh menit yang lalu. Di hadapannya terbujur kaku lelaki bernama Lowkey Moreano. Lelaki itu kini menyusul istri tercintanya yang tewas dengan cara yang sama, dua tahun yang lalu.

“Lima tusukan pisau di perut, dan satu tepat di jantung. Itu yang fatal.” Vicky berusaha menjelaskan apa yang telah dialami oleh Papa Moreano–lelaki nomor dua terkaya se-Nashville.  

Gamma masih belum bersuara. Dia bahkan tidak menitikkan air mata melihat Papanya yang sudah terbujur kaku. Dia masih belum percaya dengan apa yang sudah dilihatnya. Petugas Kamar Mayat sudah membuka penutup mayat dan memperlihatkan kondisi luka yang dialami Moreano. Gamma bisa menghitung enam luka di tubuh tambun ayahnya. Rasanya baru kemarin lelaki yang kini terbujur kaku itu memeluk dan melepas kepergiannya berbulan madu dengan Mala, kini dia tak bisa lagi menyentuhnya.

Tangan Moreano sudah dingin, tak lagi hangat seperti sebelumnya. Mereka masih belum melakukan otopsi, karena Gamma belum memberikan persetujuan.

“Gamma …” Vicky menyentuh bahu Gamma pelan. Dia tahu, Gamma berusaha menahan amarah di dadanya, jadi jangan sampai dia salah bicara.  “Polisi sudah bertindak cepat. Kau tidak bisa kembali ke rumah, karena sedang dalam penyidikan polisi. Aku sudah menyiapkan rumah sementara ….”

“Apa polisi sudah menemukan tersangkanya?”

Vicky tidak menjawab.

“Katakan padaku siapa dia!” bentak Gamma sembari menghempas tangan Vicky dari bahunya.

“Polisi sudah menahan beberapa orang untuk dimintai keterangan. Semua pelayan di rumahmu dan …”

“Tuan Gamma Moreano?” Seseorang mengenakan jas memasuki ruangan, dengan dua orang berseragam polisi. Dia menunjukkan lencananya dan memberi kode pada petugas kamar mayat untuk menutup mayat Moreano. “Aku Detektif Taylor.”

Vicky memundurkan langkah, memberi ruang Gamma dengan detektif Taylor. Ekspresi wajah Gamma masih belum berubah, bahkan rahangnya tampak semakin mengeras. Vicky menyadari, bila detektif itu salah bicara, bisa-bisa dia yang terjengkang karena tinju Gamma yang sedang menahan amarah.

“Kami harap anda bisa bekerja sama dengan kami. Otopsi harus segera dilaksanakan, agar bukti-bukti tidak hilang karena berjalannya waktu.”

“Silakan,” ucap Gamma, di luar dugaan Vicky. “Tapi syaratnya, bawa aku pada tersangkanya. Kalian sudah menangkapnya, kan?”

Vicky menoleh ke arah Detektif Taylor dan Gamma menangkap ada bahasa mata yang berusaha disembunyikan oleh Detektif Taylor dan Vicky.

“Ada apa?” bentak Gamma.

“Kami tidak bisa melakukan hal itu. Tersangka harus menjalani penyelidikan terlebih dulu dan mereka punya hak untuk dilindungi.”

Gamma mengacungkan telunjuk ke muka Detektif Taylor. “Kau berani menyembunyikan pembunuh ayahku?”

“Gamma, sebaiknya kita mentaati semua prosedur. Tidak usah terburu-buru agar mereka bisa menemukan pelakunya tanpa melakukan kesalahan.” Vicky mencoba menenangkan Gamma. Lelaki ini bisa meledak dan nekat melakukan apa saja. Bulan madunya diakhiri saja sudah membuatnya meradang, apalagi ditambah ayahnya tewas terbunuh. Bukan hal yang setiap hari terjadi.

“Baik,” Gamma sedikit melunak. “Tapi aku ingin Tuan Jeff Hopkins ikut membantu penyelidikan.”

“Tuan Jeff Hopkins?” tanya Detektif Taylor sembari menatap Vicky dengan bahasa mata yang sama dengan sebelumnya. “Kurasa … itu tidak bisa kami lakukan.”

“Dia mertuaku, sahabat baik Papaku. Dia jauh lebih mampu melakukan pekerjaan ini daripada kalian!” seru Gamma tak sabar.

Detektif Taylor menghela napas panjang, lalu melirik Vicky. Vicky mengangguk menyetujui sesuatu.

“Masalahnya adalah, Tuan Hopkins adalah tersangka utama pembunuhan Tuan Moreano.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status