Share

DENDAM
DENDAM
Penulis: Rias Ardani

Kematian

Part1

"Ada apa? Kenapa ada garis Polisi?" tanyaku pada Amira, karyawan yang bekerja di bagian informasi.

"Katanya ada pembunuhan. Barusan mayatnya dibawa pihak kepolisian."

"Inalilahi w* inailaihi roji'un."

Garis Polisi disamping gedung kantor pun menyisakan tanda tanya untukku. Terlihat buket bunga yang hancur dan seperti kue ulang tahun yang juga terlihat lenyek dilantai bercampur bekas darah.

"Korbannya laki-laki atau perempuan? Kok bisa disamping kantor kita?" tanyaku heran.

"Perempuan, rambutnya terlihat panjang. Cuma sempat lihat sekilas, sebelum dibawa mobil ambulan."

"Mana Satpam? Kok saya nggak ada liat dari tadi?" 

"Tadi beli sarapan bentar, katanya."

"Yasudah, kalian semua masuk dan bekerja seperti biasanya, minta Roland antar rekaman cctv hari kemaren ke ruangan saya!" titahku.

Mereka semua pun masuk, dan aku menunggu satpam datang.

Lima belas menit, akhirnya satpam kantor yang bernama Ucup pun datang, membawa kantong plastik yang berisi sarapan paginya.

"Pagi, Pak!" sapa Ucup.

"Pagi," jawabku tersenyum ramah. "Cup, siapa yang piket malam tadi?" tanyaku.

"Udin, Pak!" sahutnya. 

"Oh, yasudah! Kamu silahkan sarapan, tolong kamu dan Udin perketat lagi keamanan. Saya tidak mau, hal semacam ini terulang lagi dan kalian tidak tahu apa- apa." 

"Baik, Pak."

Aku pun melangkah menuju ke ruang kerjaku, aku menjabat sebagai Manager di perusahaan ini.

Aku meraih kursi, dan mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana, sambil duduk.

Aku mengernyit, ketika melihat ponselku ternyata mati, entah sejak kapan. 

Aku tersenyum simpul, membayangkan pergelutan panas antara aku dan mantan kekasihku tadi malam.

Kuhidupkan ponsel milikku, sambil membayangkan betapa seksinya Amira, pacar masa laluku itu, yang sudah dua bulan ini jadi simpananku.

Bunyi notifikasi pesan terus-menerus berdering. Aku mengernyit.

Terlihat begitu banyak panggilan telepon berulang yang tidak terjawab dari Alena, istriku.

Dan panggilan pagi ini dari Mamah, dan juga Papah.

Aku membuka pesan dari paling bawah yang Alena kirimkan padaku.

[Sayang, pulang jam berapa? Aku tunggu di rumah.] dikirim saat jam 20.35, saat aku meluncur menuju apartement Amira.

[Kamu pasti sangat sibuk! Semangat ya.] jam 23.00.

[Sayang! Aku di depan kantor, aku bawa motor kesini, keluar dong.] 23.00. 

[Sayang kok nggak aktif handphone-nya? Dari tadi aku di luar, mau pulang sepertinya ada yang memperhatikan dari tadi. Satpam kantor juga nggak ada lagi di pos-nya.] 23.45.

[Selamat satu tahun pernikahan Sayang! Selalu jadi imam terbaik ya, aku mencintai kamu, Suamiku.] 00.00

Perasaanku mendadak gusar, tepat di satu tahun pernikahanku dengan Alena, aku malah mengabaikannya.

[Sayang, ada dua laki-laki kini mendekat, aku bingung harus kemana? Gedung ini sepi, mereka menghadangku.] 00.10

Pesan terakhir dari Alena membuatku panik seketika, dan langsung terkejut, ketika panggilan atas nama Papah muncul dilayar ponsel.

Dengan sigap aku menjawab panggilan telepon itu.

"Hallo, Pah."

"Raka, keterlaluan kamu, kemana saja kamu sampai-sampai sulit di hubungi."

Teriakkan suara Papah menggema.

"Handphone Raka mati, Pah. Habis baterai, ada apa?" tanyaku lagi.

"Kemana saja kamu, tidak pulang malam tadi?"

"Lembur, Pah." Aku terpaksa harus berbohong.

"Cepat kamu pulang, istri kamu meninggal dunia, sebentar lagi jenazahnya akan sampai di rumah."

"Apa? Papah jangan becanda," kataku. Tiba-tiba aku merasa panik, namun cepat kutepis. Ini hari jadi pernikahanku yang ke satu tahun, mana tahu mereka semua lagi bercanda.

Mungkinkah ini bagian dari kejutan? Mungkin saja, aku harus berpikir positif.

"Papah serius! Cepat pulang." Panggilan telepon Papah matikan sepihak, membuat tubuhku terasa melemah. 

Benarkah yang Papah katakan? Namun semua terasa berkaitan, apa jangan-jangan yang dibunuh di samping kantor itu istriku.

Tanpa bisa banyak berpikir lagi, aku berlari cepat meninggalkan kantor. Tidak kuperdulikan lagi para karyawan yang menatap heran dan penuh tanda tanya kepadaku. 

Aku masuk ke dalam mobil, kulajukan mobil menuju rumahku dengan kecepatan tinggi, bahkan beriringan dengan mobil ambulan yang juga satu arah dengan tujuanku.

Sesampainya aku di depan rumah, aku seolah tidak percaya, melihat rumah yang kini ramai dengan para pelayat dan juga ada bendera kematian.

Mobil ambulan yang tadi beriringan denganku juga parkir di samping mobilku. Membuat langkahku urung, kulempar pandangan kepada perawat yang keluar dari mobil.

Dari belakang Mamah dan Ibu Mertua keluar dengan isak tangis mewarnai wajahnya.

Seketika tungkaiku menjadi lemah tidak berdaya, melihat dua perawat yang mendorong brankar.

Di atas brankar terlihat tubuh yang tertutup kain putih.

Aku membeku, ketika Mamah menatap sinis dan penuh amarah kepadaku. Sedangkan Ibu mertua, ia enggan melihatku, bahkan seolah menganggap aku tidak ada.

Aku berjalan melewati para pelayat dan mengikuti dua perawat yang membawa jenazah Alena.

Tubuh kaku tidak bernyawa itu dibaringkan di atas kasur yang sudah disediakan.

Aku terduduk lemah di depan wajah yang biasanya begitu ceria itu, namun kini terbujur kaku dan dingin.

Aku menghela napas berat, mengingat dalam dua bulan ini, aku sering mengabaikannya.

Semua menatapku sendu, ada yang terlihat kasihan, ada juga yang terlihat mencibir.

"Istrinya meninggal di depan kantornya, membawa buket bunga dan kue juga. Tapi dia nya malah nggak tahu apa-apa, miris." 

"Percuma menangis, sudah tidak ada gunanya lagi."

Terdengar bisik ibu-ibu di belakangku, membuat hatiku rasanya semakin hancur. Aku memang laki-laki tidak berguna. 

'Istriku terancam bahaya dan kehilangan nyawa, sedangkan aku saat itu asik bercinta. Betapa jahatnya aku, Tuhan pantas menghukumku.'rutukku, menyesali segala perbuatanku.

Aku mendekat ketubuh yang kini terbujur kaku itu, kubuka perlahan penutup wajahnya. Kutatap lekat wajah cantiknya, ada kedamaian terlihat dari rona wajah pucat itu.

"Alena, bangun sayang! Katanya kamu mau kita liburan, katanya mau jalan-jalan, ayo sayang!" Aku berkata dengan suara serak dan hampir tercekat, menahan gejolak sesal yang teramat dalam.

kukecup kening wanita yang setahun ini mengukir cerita di kehidupanku.

Hening, hanya suara isakkan tangis para kerabat yang terdengar menggema, bukan, bukan suara mereka yang aku harapkan. 

"Sayang .... jawab! Kamu jangan diam begini, aku bisa gila kalau seperti ini." Aku menjerit, rasa tidak kuasa menahan diri, menerima takdir setragis ini.

"Raka .... hentikan," Papah menarik tubuhku menjauh dari tubuh kaku dan dingin Alena.

"Lepaskan aku, Pah. Alena tidak mati, dia hanya tidur," bentakku ke Papah. Aku rasanya hilang kendali.

Rasanya aku tidak percaya dengan semua ini, mereka pasti lagi bercanda. Mana mungkin ini terjadi? Mustahil rasanya secepat ini. 

Alenaku mati, apalagi mati dibunuh, dia istri penurut yang tidak pernah keluar rumah tanpa izinku.

Semua menjadi riuh, isak tangis Mamah semakin nyaring, membuatku semakin merasa seolah dihimpit batu besar, sesak.

"Dasar bodoh!" teriak Mamah kepadaku, sembari menunjuk-nunjuk, dengan mata melotot. 

'Mengapa Mamah memakiku seperti ini? Ini bukan salahku sepenuhnya.'

Aku pun tidak ingin ini terjadi? Oh Ya Allah, ini hanya mimpi kan? Ya ini mimpi.

Aku menangis sambil tertawa. Rasanya kini seakan takdir mempermainkanku. Di bahagiakan mantan, namun kehilangan istri selama- lamanya, ini bukan yang aku inginkan.

Rasanya aku ingin sekali berteriak dan protes pada takdir, ini sangat tidak adil.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Istri msh hidup dicuekin malah selingkuh sama mantan. Giliran meninggal aja meraung2 menganggap bkn kenyataa. Cuih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status