Maut itu lelucon tolol.Apa? Enggak senang? Terlalu edgy?Padahal begitu kenyatannya.Kau pikir sudah berapa kali aku berdoa supaya mati muda?Ratusan. Ribuan Puluhan ribu. Ratusan ri …Zzz …………Hoam!Ya ampun, kebanyakan menghitung, mataku jadi berat—nah, satu nasihat lagi, kalau otakmu kebanyakan diisi angka, matamu bakal cepat rabun.Kesimpulannya: doa itu sia-sia dan cuma buang-buang waktu.Jadilah, aku mengambil aksi nyata dan mulai mencari cara bunuh diri tanpa rasa sakit.Tapi, dari sana, halangannya malah makin berengsek.Mulai dari harga senjata api itu rupanya mahal—belum lagi kepengerusannya secara legal.Racun? Aku trauma setelah menonton efeknya di sinetron.Ada godaan untuk gantung diri saja, tapi prosesnya diasumsikan sebagai yang paling menyiksa.Kemudian, secara ironis, aku malah terperangkap dalam realitas konyol; disusahkan masalah yang sebenernya bukan urusanku; dan kini berhadapan dengan dua malaikat maut berwujud dua pangeran ingusan.Entah kenapa, kematian ja
Berprasangka buruk itu menyehatkan.Sejak dulu, manusia itu makhluk yang rumit.Karena begini, sebagai satu-satunya organisme yang cukup cerdas untuk mengolah hal teribet di alam semesta yang dinamakan bahasa, kita malah suka nyusahin diri sendiri.Satu kata bisa punya jutaan arti.Satu nada bisa merubah keseluruhan kalimat.Jadilah, yang gak diucapin itu jauh lebih penting daripada yang diucapin.Intinya sih, manusia itu sejak dini sudah dididik jadi munafik dan pembohong. Dan, makin tinggi status sosialmu di masyarakat, makin lihai dan mulus pula kepalsuan yang bakal kau temui.Semua jadi terselubung.Cemoohan. Sindirian. Pujian. Ekspresi hasrat.Bahkan, ancaman.&
Rasanya seperti masuk ke ruangan campuran antara perpustakaan, geladak kapal karam, dan kandang babi.Banyak barang yang berserakan di lantai.Perkamen bertulisan gak jelas, tabung kaca dengan permukaan keroak, bahkan kepingan tanah liat yang sepertinya dulunya tembikar atau hiasan.Aku mengambil satu pecahan tembikar.Mengilap. Dipoles dengan hati-hati. Aku yakin, dulunya ini adalah barang mahal yang estetik.Tapi, yang lebih mencolok di sini adalah baunya.Masam keringat. Busuk menyengat. Dan yang paling tercium di antara semuanya: keputusasaan.Di antara gunungan perabot rongsok yang menyerupai reruntuhan purba itu, Lucian masih asyik berkutat dengan perkamen lain—dengan warna lebih cerah, kuduga yang ini baru—dan tabung kaca baru pula.
Ibu tumbang, beberapa kali batuk darah.Dilihat bagaimanapun, dia akan tewas.Enggak. Enggak mungkin.Kenapa?Siapa?Air mata turun dari mataku dengan begitu deras. Aduh … aku kenapa, sih?Saat begini, aku gak boleh nangis. Aku mesti kuat. “Ibu ... Ibu … Ibu …” Aku berusaha berhenti, tapi makin ditahan, raunganku makin nyaring.Ibu mengulurkan tangan.Itu … entah kenapa terasa jauh.Aku berusaha menggapainya, dan saat itulah aku melihatnya.Tangan berlumuran darah. Sehitam ter dan lebih pekat dari kegelapan.Tangaku.Aku tak tahu kapan aku mulai berteriak dan bergetar tanpa ke
Rose berengsek.Lucian berengsek.Semua orang itu berengsek.Jalan keluar? Aku malah cuma nemu jalan buntu.Tahu apa yang terjadi malam itu? Aku dikibuli habis-habisan. Entah oleh dua orang tolol itu. Atau oleh asumsiku sendiri.Suhu tubuhku meninggi drastis, tapi aku malah menggigil.Sendi-sendiku pegal semua.Dan ada satu momen di mana sepertinya aku sudah melihat surga—kalau itu ada, atau kalau aku bisa masuk ke sana.Kayaknya bener kalau si Lucian membubuhkan racun. Pantas dia panik begitu.Dasar orang sinting!Meracuni saudara sendiri untuk cari perhatian bapaknya? Oke.Tapi, kenapa mesti ketika aku mendiami tubuh celaka ini, sih?“Jadi … em ..., siapa namau tadi, Nona?”Ya … seenggaknya, setelah bertapa sesaat dan merenungi kehidupanku yang kian nista, akhirnya aku menemukan fakta mengejutkan: cerita ini gak bakal berakhir secepat itu.Dan, untuk menjamin keberlangsungan riwayatku di sini—yang sebenarnya sudah morat-marit, aku butuh satu komponen penting.Faktor yang paling dibu
Tahu, tidak?Aku menyerah!Well.Kamu ngira, sebagai sosok tokoh utama rupawan-cerdik nan baik hati, semua kelumitan kisah ini bakal berakhir dalam naungan bahagia yang anggun; wangi; dan nyaman?Biar kuberitahu sesuatu:Itu enggak bakal kejadian.Malah.Kini, aku malah terjerumus dalam lahan kotor penuh lendir dan lumpur.Bener.Sebuah kandang babi.“Ya. Jangan lewatkan semuanya! Lemari-lemari, laci, perkamen. Lihat dokumen yang kira-kira penting juga.”Ah!Aku keceplosan bilang ini kandang babi, ya?Tolong, lupain aja.Kadang, orang emosi itu punya persepsi yang keliru.Pemandangan kamar Lucian yang diobrak-abrik oleh cecunguk-cecunguk suruhanku ini merupakan lansekap mahakarya enggak bernilai.Mona Lisa?Kalah jauh. “Kumpulkan semuanya ke tempat yang sudah kubilang.”Well, iya, kami masih—dan sepertinya akan selalu—bangkrut.Jadi, satu-satunya upaya supaya orang-orang ini mau patuh dan tetap tutup mulut adalah merogoh kocek lebih dalam—dan itu bukan sekadar kiasan belaka, aku benar
Satu alasan lain supaya gak lagi bepergian dengan kuda:Gampang kena begal.Padahal, rasanya baru beberapa menit aku keluar rumah dan menuju Goodwood apalah itu dengan kecepatan penuh, tapi iring-iringanku sudah berhenti.“Ada apa?”Yang menjawab justru sahut-sahutan marah, jengkel, dan heran.Ketika penasaran dan kejengkelanku makin memuncak, pelaku inisden menyusahkan ini malah memunculkan diri tanpa diminta.Taylor memamerkan senyum santun itu lagi ketika kami bertemu pandang.Seharusnya aku enggak heran.Sejak ketidaksengajaanku menguping agenda politis para pangeran tempo lalu, rumahku kerap diawasi dua puluh empat jam.“Salam, Nona,” sahutnya sambil berjalan masuk, menunduk hormat, lalu duduk di depanku. “Anda ingin bertolak ke mana?”Ke pemakaman umum. Menggali lubang kuburan paling sempit untuk menimbun belulangmu—itupun kalau masih bersisa.Tapi, kali ini aku masih punya akal sehat. “Cuaca lagi bagus, jadi aku ingin jalan-jalan.”“Ke sekolah?”“Aku lagi izin hari ini. Kayakny
Ini mencurigakan.Aku tahu.Tanggul? Terjebak hujan? Dan, aku berhenti bertepatan dekat sebuah desa?Bukannya ini premis familier banget sama film horor?Belum lagi, ada suatu persengkongkolan yang pengen aku tewas.Jadi, bukan enggak mungkin kalau aku digiring ke sini untuk disembelih“Aku bener-bener kaget. Terakhir kali James bawa perempuan ke sini, itu gak lebih cantik dari kambing pesakitan peliharaanku dulu. Sekalinya bawa ke sini lagi, yang datang malah seorang dewi.”Apaan, sih, kakek-kakek sok kenal ini?Seenggaknya, untuk figuran mencurigakan yang mengaku sebagai tetua paling dihormati di sini, dia ini enggak punya tata krama.Entah, deh, itu bermakna baik atau—karena, setelah kuteliti secara insentif dan melalui proses crosscheck yang serius melalui film-film slasher kelas B, psikopat itu biasanya baik di luar dan mengerikan di dalam.“Hush! Jaga bicaranya, Kek. Dia itu Nona Dawver, lho,” seru James sambil menyuguhkan teh beraroma rempah yang warnanya hijau keruh.Iya.Tanp