Share

Menyerah Sajalah

Enggak jarang aku berpikir kalau hidup itu bagaikan permainan Russian Roultte.

Kau cuma diberi dua pilihan.

Mati. Atau menderita lebih lama.

Sebagai orang terdidik dengan otak mumpuni yang telah teruji, tentu aku pilih yang pertama.

Konsep brilian itulah yang coba kuterapkan di kehidupan asing nan ajaib ini, tapi—bahkan dalam dunia yang secara harfiah ciptaanku sendri—nasibku memang tak pernah mulus.

Aku melayangkan pandangan penuh kebencian ke Jeantte dan Irene yang ada di barisan tengah.

Apa inisiatifku terlalu jelas ya sampai Irene tahu niat asliku?

"Mo-mohon bantuannya, ya, Rachel."

Ini salah satu alasan kenapa aku benci Tuhan.

Aku bermaksud berpartner dengan orang terkuat, tapi yang kudapat adalah yang—kemungkinan—terlemah di sini.

Aku berdeham seadanya.

"Salam. Tuan-tuan dan nona-nona. Calon pemimpin masa depan. Saya merasa terhormat diberi kesempatan berada di sini untuk memberi bimbingan kepada anda-anda semua di hari yang baik ini ..."

Dan blablabla. Semua omong kosong yang disebut tata krama umum dalam berbicara itu keluar dalam rentang waktu yang lama.

Satu-satunya hal yang bikin aku tidak mati bosan adalah hal yang Tuan Dylan lakukan kepada kumisnya yang menawan. Pria setengah baya itu kerap mengelus-elus si benda hitam-panjang-melintang seakan-akan bisa terbang kalau sedetik saja dilepaskan.

".... Baik. Sebagai calon pemimpin, kita mesti tahu apa yang membuat orang mau mengikuti kita. Kecerdasan? Kebijaksanaan? Kejujuran? Simpati?"

"Gimana dengan kemampuan untuk tidak membuat orang bosan setengah mati," sahutku cuek. Sumpah. Dia mau pidato sampai kapan?

Dimitri memeringatiku dengan panik. Sara memelototiku. Sementara Irene cuma menoleh heran.

Tuan Dylan memperhatikanku seksama dan mengelus kumisnya lebih intens. "Jawaban bagus, Nona. Tapi, itu masih keliru. Semua yang tadi itu keliru. Apa yang membuat seorang jadi pemimpin hebat hanya satu: kekuatan."

Pria itu mendengkus bangga. "Kita, manusia, tidak terlalu beda dengan hewan lain. Kita makhluk yang mengagungkan kekuatan. Itulah awal dari munculnya patriotisme. Kepahlawanan. Jiwa kesatria. Mereka yang terkuat akan mendapatkan semua kejayaan dan kehormatan. Jadi, tuan-tuan dan nona-nona, saya ingin melihat seluruh kemampuan kalian di sini. Tak peduli bila kalian harus berdarah-darah, babak belur, atau bahkan hampir mati."

Lord Dylan berhenti mengelus kumis, melihat kami satu-satu, lalu memaang senyum penuh arti. "Untuk kebanggaan, keagungan, dan kemuliaan abadi."

"Untuk kebanggaan, keagungan, dan kemuliaan abadi."

*#*

Huft!

Itu akhirnya berakhir.

Lagian, apa-apaan itu tadi?

Ceramah dadakan? Proses doktrinisasi?

Mengerikan!

Apa otakku memang dulu agak kurang beres atau orang-orang zaman dulu itu punya kebiasaan mendidik yang tak sehat?

Setelah menerima pidato panjang lebar nyaris tak berarti, akhirnya kami digiring ke panggung utama.

Itu ... jauh lebih mengangumkan daripada yang kudeskripsikan.

Alih-alih arena serupa colloseum versi kecil yang mononton, tempat ini lebih mirip stadion bola.

Itu kondominium yang dipenuhi aksen hijau olive. Dindingnya penuh tapestri, ornamen keemasan, dan hieroglif yang menceritakan karikatur para kesatria dari zaman lampau. Atapnya adalah bundaran kaca dari mika yang dapat memantulkan tiap cahaya.

Tuan Dylan menggiring kami menuju tribun penonton—deretan bangku kayu bersambung yang diposisikan melingkari sebuah ceruk.

Gelanggang utama ada di bawah sana.

Kosong, muram, gelap—mungkin kalau tidak ada bantuan matahari, di bawah sana bakal sangat gulita.

Sumpah! Ini area untuk mengedukasi generasi muda atau bekas tempat eksekusi mati?

"Seperti yang saya instruksikan, kita akan latih tanding berpasangan kali ini. Saya harap anda-anda semua memilih pasangan yang tepat. Karena di tangan merekalah, nyawa anda akan bergantung. Dan di tangan anda juga, nyawa mereka bergantung." Tuan Dylan tersenyum, lalu menyuruh perwakilan dari pasangan kami untuk mengambil nomor.

Aku menghela napas, berdecak putusasa, lalu menunjukkan kertas bertuliskan angka giliran tampil kami.

Ketiga.

Dimitri memasang wajah luar binasa—setengah kecewa, setengah pupus harapan.

Yamaap kalau sejak dulu nasibku selalu kurang mujur.

"Ki-kita lakukan apa yang kita bisa ya, Rachel. Te-tetep semangat."

Hebat juga dia bisa mengatakan itu dengan ekspresi pesimis yang kental.

Oke.

Sepertinya, sepulang dari sini, aku bakal menghitung berapa banyak lebam dan luka yang bakal kuperoleh.

Seperti dulu.

Tunggu. Kalau aku sampai pingsan di sini, bukannya aku bakal balik ke kehidupanku sebelumnya?

Jadi, bukankah ini skenario yang lumayan bagus?

"Baik. Dua pasangan pertama, bisa turun ke arena."

Empat orang itu tidak pernah kukenal.

Pasangan pertama adalah seorang laki-laki pirang yang mengenakan kaus latihan hijau dan seorang gadis berambut coklat dengan muka agak kemerahan yang mengenakan kaus hitam. Melawan pasangan kembar perempuan yang sama-sama mengenakan kaus merah muda.

Mereka sepertinya tokoh figuran tanpa nama di bukuku dulu, atau bangsawan tanpa status tinggi di sini—toh, bahkan setelah menampilkan pertarungan yang cukup sengit, jarang yang bersorak-sorai.

Pertandingan dimenangkan oleh pasangan kembar.

Mereka seperti monster.

Dengan peguasaan sihir mumpuni dan kombinasi dinamis yang kompak. Satunya punya sentuhan yang bisa menambah beban semua objek, sedangkan yang satunya adalah seorang summoner—tipe sihir yang bisa berkomunikasi dan memanggil sekumpulan hewan-hewan kuno.

Keduanya menghabisi pasangan lawan tanpa ampun hingga tak sadarkan diri.

Itu pertandingan yang sebentar.

Rasanya kurang dari dua puluh menit.

Ini sudah pertandingan kedua.

Giliran kami hampir di depan mata.

Dan aku masih tak tahu apa jenis sihirku!

Karena begini, si Rachel ini bahkan cuma muncul sesekali, sebagai tokoh yang tugasnya hanya mengompor-ngompori.

Selain kembaran lelaki mencurigakan dan fakta kalau aku adalah dedengkot Irene, aku tak punya informasi lebih tentang tokoh ini.

"Sebuah pertarungan yang impresif. Mari beri selamat dan apresiasi sebesar-besarnya Nona Myr dan Nona Dyr dari Dankhill."

Tepuk tangan mengudara meriah.

Aku sibuk meneguk ludah dan berusaha mengingat-ingat.

Oke.

Mari mulai dengan sistematika sihir di dunia ini.

Ya ... meskipun dibilang sihir, sebenarnya alih-alih penyihir atau ahli magis, orang-orang di sini lebih pantas disebut manusia super.

Basis kekuatannya selalu dari dalam tubuh. Panca indera, otot, sensor motorik, sistem verbal.

Argghh!

Sial! Itu mah terlalu banyak.

"Tanpa berlama-lama dan membuang waktu kita semua yang tentunya berharga, kita akan langsung menuju pertandingan babak dua—"

Pintu ruang itu digebrak terbuka dan Tuan Dylan menghentikan ocehannya.

Seorang pelayan pria berambut keperakan yang tadi kulihat, masuk dengan tergopoh-gopoh, membisikkan hal-hal mencurigakan yang sepertinya sekeji bisikan setan.

Karena buktinya, pria berkumis menawan itu melirik-lirikku dengan pandangan penuh arti, lantas mengangguk-angguk.

Aku meneguk ludah.

Ck! Apaan lagi ini?

Dylan menuju tribun paling kiri, tempat seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut sehijau alpukat masak tengah bertukar tawa bersama gadis jangkung yang mengenakan pakaian hitam penuh pernak-pernik tajam—persis cewek emo campur rock di dunia nyata, kalau kau ganti gaun dan rendanya jadi kaus dan jeans ketat robek-robek.

Dylan membisikkan sesuatu.

Si gadis berambut hijau menutup mulut, lalu keluar air mata.

Dylan memberinya pelukan hangat.

Huh! Dasar tua bangka itu!

Pintar juga cari kesempatan.

Lagian, apa, sih, yang mereka perbincangkan?

Setelah chitchat tak jelas selama beberapa saat sebentar—yang dalam periode waktuku terasa seperti hampir seumur hidup—gadis itu keluar ruangan ditemani teman ngobrolnya.

Dylan kembali lagi ke tempatnya—sisi tribun paling tengah, paling sentral, di mana semua orang bisa melihat. Wajah pria itu sendu—atau setidaknya berusaha terlihat begitu.

"Semua yang berawal akan berakhir. Semua yang hidup kelak akan menemui maut. Sangat berat sebenarnya ketika saya menyampaikan ini. Baru pagi tadi, Count Brightheart, ayahanda dari Nona Sonia Bright baru saja berpulang ke sisi Dia Yang Maha Perkasa."

Suasana berubah jadi makin suram.

Semua orang menunjukkan wajah melas, menyesal, dan bahkan ada yang manis. Bahkan Sara yang awalnya kukira hatinya sebeku permukaan Antartika.

Aku meneguk ludah.

Rasanya agak tak beres.

Oke.

Ayo, katakan maksudmu sebenarnya, Pak Tua!

Enggak mungkin kan menghentikan acara begini cuma untuk pengumuman figuran tak dikenal yang mati di sudut antah-berantah negeri?

"Karena itulah pertandingan selanjutnya akan ditunda hingga akhir, bila Nona Brightheart masih berkenan untuk datang—atau pekan depan, oh semoga Dia Yang Maha Perkasa menguatkan gadis malang itu."

Eh?

"Maka dari itu, kita akan berangkat ke pertandingan selanjutnya."

Ini pasti enggak mungkin.

"Hm ... siapa ini? Ah. Ya. Antara pasangan Lord—maksud saya—Pangeran Devon dan Lord Arsenault, melawan Lady Dawver dan Lady Eastborne."

Mampus, dah!

"Silakan, pasangan yang dipanggil segera menuju arena."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status