Share

Makanya Pintar-Pintar Pilih Teman

Kutatap Dimitri dengan pandangan menyidik yang saksama.

Begini. Aku ini punya ingatan terlampau bagus.

Bahasa ilmiahnya ingatan fotografi. 'Teman'-ku menyebutnya ciri-ciri pendendam. Sedangkan aku mencatatnya dalam daftar 'hal-hal yang kukira berharga tapi tak bisa diuangkan'.

Jadi, ketika kubilang si Dimitri ini tak pernah ada, maka begitulah kenyataannya.

Belum lagi tentang sikap Irene yang tak pernah kuduga. Atau tubuh sialan ini yang staminanya terlampau lemah.

Bruk!

"Akh!" Ck! Siapa, sih, yang menabrakku barusan? Sengaja ya?

Aku meringis, menoleh, dan siap meledak.

Waduh! Sial!

Ingat ketika kubilang kalau di dunia ini kekuasaan dan garis keturunan adalah segalanya?

Well, sebenarnya ada satu faktor lain yang bisa memantati dua hal di atas dan membuatmu naik ke puncak bila menjadi yang paling unggul.

Sihir.

Media praktis untuk mempermudah manusia.

Merasa familier dengan kegunaannya?

Iya. Betul.

Pada kenyataannya, 'sihir' adalah konsep yang dibuat penulis yang malas riset tentang teknologi zaman uap.

Intinya, sih, di dunia ini, asal kau punya energi sihir cukup banyak, kau bakal jadi orang terpandang.

Tak peduli bangsawan atau rakyat jelata.

Tak peduli lelaki atau perempuan.

Dan di antara semua itu, terdapat sosok paling spesial yang namanya dinubuatkan dalam legenda dan ramalan. Sosok dengan sihir terkuat. Sosok yang dikatakan akan melibas semua kejahatan di muka bumi.

Dialah Yang Terpilih.

Dia yang hanya muncul seribu tahun sekali.

Dia yang kini tengah bertatapan denganku sekarang.

"Kamu gak apa-apa, Rachel?" Irene mengulurkan tangan dan memberi pandangan khawatir.

Aku mengernyit, masih bingung, tapi akhirnya menyambutnya juga sambil terus memperhatikan si pelaku kezaliman barusan.

Jeanette Folkstein mengibaskan debu yang menempel di tunik kulit kecoklatan lusuhnya dengan gaya acuh tak acuh.

Gayanya sama seperti yang kubayangkan di buku.

Mata sinis. Tulang pipi kaku. Rambut ikal tak tertata. Bahkan tanpa melakukan gerak berarti, aura protagonis rebel berhati mulianya seakan berkilau dalam cara yang bikin jengkel.

"Ck! Memang ya, seharusnya sekolah itu enggak diperuntukan untuk rakyat jelata. Tata krama umum saja enggak ngerti, apalagi mau nyimak pelajaran." Sara mendengkus angkuh, maksudnya menyindir Jeanette.

Orang arogan memang susah mengerti situasi, ya.

"Ayo." Kali ini aku yang ulurkan tangan ke Jeanette sambil pasang senyum murah hati.

Jeanette mengamati tanganku dan mukaku bergantian, ragu, lalu menepisnya kasar. "Terima kasih. Gak perlu."

"Hei! Gak sopan itu ada batasnya, ya? Dasar tak tau diuntug!" ucap Sara sewot.

Irene juga memandang Jeanette penuh permusuhan. Tapi, Jeanette terus melangkah dan menganggap protes-protes barusan cuma sekadar angin lalu.

Ck!

Persis gambaranku sembilan tahun lalu. Tak peduli apa pun. Tak menghargai apa pun. Perwujudan fantasi gadis yang berkeinginan merubah dunia dengan berharap berkah jatuh dari langit.

Bagus.

"Ra-Rachel. Ada apa? Nanti tertinggal, lho."

Aku tersadar dari lamunan dan menyengir. "Eh, iya, iya. Ayo."

Huft! Setidaknya, kalau nanti ini semua benar-benar jadi realita baruku, aku telah meninggalkan kesan pertama yang tak terlalu buruk untuk Jeanette.

Meskipun itu mustahil.

Haha.

...

Iya, kan?

*#*

Setelah tetek-bengek membosankan tentang etika dasar, tata upacara minum teh, dan gerak umum dalam berdansa selama hampir dua jam; akhirnya penderitaan itu berakhir juga.

"Ka-kamu kayaknya pucat banget, Rachel. Ka-kamu beneran gak sakit, 'kan?"

Kutatap Dimitri sekilas dengan pandangan malas.

Sara sialan itu bilang kalau aku tak sopan ketika tak mengingat nama tokoh yang asalnya antah-berantah ini, tapi apa dia tidak tahu kalau keluarga Dawver sejak lahir punya kulit seperti vampir?

"Iya. Gak apa-apa, kok. Abis ini jeda istirahat, 'kan?" kataku sesabar mungkin.

"Bicara apa kamu? Ini baru pelajaran pertama, tapi sudah mengeluh." Sara yang menyahut dari belakang. Masih dan terus menempel ke Irene bak kembar siam. "Lagian, sehabis ini kan pelajaran paling penting. Pelajaran favorit calon raja dan ratu masa depan kita." Dia melirik Irene yang kali ini benar-benar tersipu.

"Pelajaran apa memangnya?"

Perhatian Sara kini benar-benar terfokus kepadaku dengan tatapan seolah mengatakan, 'Kamu serius?'

"Nona Livingsworth?" Sebentuk suara yang lebih asing menginterupsi perbincangan urgen kami.

Aku menoleh, sama terkejutnya dengan ketiga gadis lain.

Zachary Donovan—sang putra mahkota—memberi senyum sapaan yang sopan kepada kami semua tanpa terkecuali. "Selamat pagi, nona-nona semua. Maaf menggangu waktu kalian."

Sara yang pertam kali sadar diri. Dia langsung berdiri, dan memberi penghormatan pantas. "Selamat pagi, Pangeran Zack. Sebuah kehormatan bisa bertegur sapa dengan anda."

Aku dan Dimitri mengikuti dengan suara sekaku robot korslet.

"Haha. Gak perlu seformal itu. Kalian bebas menyapa dan ngobrol sama aku kapan saja. Lagian, kita semua berada di beberapa kelas yang sama, 'kan?" Zack mengalihkan pandangan kepada Irene yang masih membeku—terlalu berbunga-bunga sepertinya. "Aku ada urusan sebentar dengan Nona Livingsworth, bisa tolong tinggalkan kami?"

Sara menjawab mewakili kami. "Kalau begitu, sampai jumpa lagi. Pangeran Zack. Nona Irene."

Kuikuti saja langkahnya hingga keluar sambil memperhatikan Irene dan Zack yang sepertinya membicarakan sesuatu yang lumayan seru.

Mimik Irene nampak berubah-ubah.

Awalnya, gadis itu semringah. Penuh senyum. Ramah. Anggun.

Tapi, ketika Zack mengatakan sesuatu—entah apa, senyum itu hilang.

Rahang Irene perlahan jadi kaku, nadanya jadi tinggi, dan dahinya berkerut-kerut. Murka sepertinya.

Beberapa menit kemudian, dia berlari kemari dengan pandangan gelap dan langkah gontai.

Sempat kukira, dia bakal menghampiri sambil menghardik, tapi begitu dekat, Irene justru menangis tanpa suara.

Sara mendekapnya penuh kasih sayang yang—sepertinya—kali ini terasa tulus.

"Kenapa?" Aku sendiri kaget ketika aku yang mulai bertanya.

"Dia ... Yang Mulia. Kenapa, sih? Apa yang kurang dariku?"

Kau itu yang kenapa? Ngomong yang jelas sedikit, dong.

Ketika aku meminta penjelasan lebih lanjut, Sara mencegah dengan protektif.

Karena Irene tak kunjung bersuara—dan sepertinya takkan bersuara—, Sara akhirnya berinisiatif menjelaskan. "Sepertinya Pangeran Zack enggan jadi partner Nna Irene nanti. Sejak lusa lalu, dia selalu bilang ingin mengajak si rakyat jelata itu karena sepertinya gak akan ada yang mau jadi partnernya. Aku berusaha ngebujuk untuk mengurungkan niat gak masuk akal itu. Tapi, sepertinya percuma."

Eh? Partner? "Sehabis ini pelajaran praktek dansa?"

Sara menghela napas. Melihatku bak mendapati campuran orang tolol nan menyusahkan.

Dimitri rupanya yang berbaik hati memberitahu fakta mengejutkan itu. "Bu-bukan, Rachel. Setelah ini, kita ada pelajaran Olah Sihir."

Hah?

"Pekan lalu kan Tuan Dyland sudah berpesan kalau kita mesti mencari masing-masing satu orang untuk ikut serta dalam latih tanding berpasangan. Kamu enggak menyimak, ya?"

Hah?

Waduh!

Mampus!

Subjek pelajaran olah sihir. Bisa dibilang, sih, mata pelajaran P.E. alias penjaskes alias olahraga versi dunia ini—dengan kegiatan saling tembak laser dan men-summon makhluk mitologi legendaris alih-alih marathon keliling lapangan sebagai ujian praktik.

Namanya saja hampir sama.

Dasar tidak kreatif!

Tapi, eh, tapi. Sebentar.

Si Zack itu berinisiatif untuk menjadikan orang terkuat di sini sebagai pasangan tanding?

Dasar! Dia itu memang konspirator picik yang diam-diam mengetahui potensi Jeanette atau cuma bajingan beruntung?

"Nona Irene. Aku ada ide." Aku berusaha menyembunyikan senyum, lalu kembali berucap dengan nada murah hati dan penuh kesetiakwanan tulus. "Biar aku saja yang berpasangan dengan rakyat jelata itu."

"Kamu gila, ya?" tanya Sara sedramatis yang sudah kusangka.

Aku mengangguk yakin. "Aku udah membuat Nona Irene tersinggung tadi pagi dengan perbuatan gak sopanku. Anggap saja ini sebagai permintaan maaf."

"Enggak boleh!" Sara berdecak. "Kamu tahu si orang udik gak tahu malu itu gimana, 'kan? Kalau kamu datangin dan memperlakukan dia baik-baik setelah dia ngerendahin kamu kayak tadi, kamu bakal dianggap gak punya harga diri, Rachel. Kamu mau teman-teman kamu dianggap begitu juga? Nona Irene dianggap begitu juga?"

Duh! Ngeribetin saja. "Terus? Kamu punya pilihan lain? Atau malah mau membiarkan rakyat jelata itu berpartner sama Pangeran Zack dan makin mempermalukan Nona Irene?"

"Kamu ini enggak ngerti omonganku sama sekali, ya. Bukan begitu maksudku."

"Ka-kalau begitu biar aku saja yang berpartner dengan Jeanette."

Kami memandang Dimitri serempak. Gadis itu masih terus gemetar dan menundukkan kepala ketika kembali bicara.

"Ka-kakak laki-lakiku pernah bilang kalau aku punya hawa keberadaan yang samar. O-orang gak pernah memperhatikanku, jadi ada dan tiadanya aku itu gak akan pernah dipermasalahkan. B-buktinya, pagi tadi saja Rachel bahkan lupa denganku. Ja-jadi kalau aku yang berpartner dengan Jeanette, kalian takkan merasa malu."

Uwah!

Kakak lelaki yang jujur. Aku jadi ingin berkenalan.

Tapi ini bukan waktunya kagum, apalagi mengasihani. "Eh, enggak begitu maksudnya, aku—"

"Iya. Enggak boleh, Dimitri. Bagaimanapun, kamu itu bagian dari kita. Enggak peduli apa kata orang."

Wow! Itu ucapan yang tak pernah kusangka datang dari mulut seorang Sara. "Jadi apa rencanamu? Atau justru kamu yang mau gantiin untuk berpasanagn dengan rakyat jelata itu?"

"Hah? Bahkan enggak dalam mimpi terburukku." Sara menggigit bibir. Terpojok! Nah, makanya jangan cari gara-gara. "Ck! Pokoknya jangan salah satu dari kita."

Tapi, Sara tidak menyerah. "Ah. Bagaimana dengan Yohn? Keluarganya baru jadi bangsawan satu generasi lalu dan cuma punya wilayah kecil. Sebelumnya mereka cuma prajurit biasa. Rakyat jelata juga. Kalau kita minta dia untuk berapsangan dengan sesama—"

"Sara! Kamu sudah keterlaluan!" sela Irene tiba-tiba. Tatapannya tajam dan nadanya meninggi, tapi susah juga melihatnya sebagai objek menakutkan dengan bekas air mata yang masih belum mengering.

"Earl Darnwill adalah orang terhormat, begitu juga putranya, begitu juga keluarganya. Mereka gak sama dengan orang-orang udik tanpa sopan santun seperti gadis itu," kata Irene. Dingin.

Aku mendengkus diam-diam. "Kalau begitu biar aku sa—"

"Enggak, Rachel. Perkataan Sara benar. Kamu cuma akan mempermalukan dirimu sendiri saja kalau kamu melakukan itu." Irene menatap kami satu per satu.

Sara berkeringat paling banyak.

"Kalian semua enggak perlu merendahkan diri seperti itu demi aku," ujar Irene berapi-api. "Biar aku sendiri yang tunjukkan si rakyat jelata siapa yang dia hadapi. Biar kuajari kalau kita gak sepadan dan gak akan pernah sepadan. Biar kubuat dia gak bertingkah lagi."

Eh, tunggu. Itu artinya ...

"Biar aku yang berpasangan dengan Jeanette Folkstein."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status