Huft … Enggak sia-sia rasanya aku ikut seminar mingguan kantor. Meski topiknya bikin bosen setengah mampus dan pengisi acaranya cuma motivator ecek-ecek, aku dapat beberapa pelajaran berharga. Salah satunya adalah gimana cara bikin orang mau melakukan apa yang kita mau. Cerita menarik: ternyata mudah. Giring pemikiran mereka hingga mereka berpikir kalau itu keinginan mereka. Anakmu enggak mau belajar? Sita fasilitasnya dan mulai biasain dia jogging lima kilo sehari. Karyawanmu males-malesan dan enggak produktif? Kasih dia seminar gak guna yang durasinya lama dan sensasi boseninnya bahkan lebih buruk dibanding dikurung di neraka. ‘Temenmu’ enggak mau ngelakuin tugas mereka? Well, kasih tau kalau pilihan yang menanti cuma dropout, menggelandang, dan jadi pecundang. Ada gunanya juga konsep dualisme moral gini, ya. “.… Kebangaan, keagungan, dan kemuliaan abadi. Tentu aku anggap semboyan negeri kita tercinta ini sangat tangguh. Perkasa. Mencerminkan negeri sakti yang takkan pernah
Dan begitulah awal mula aku digiring menuju medan pertempuran asing yang bahkan lebih menyiksa dibanding perang asli ini.Tentu aku suka bergaul—hei, jangan samakan aku dengan sifat kutu buku dan pecudangmu itu, ya.Tapi, sekali lagi, untuk tujuan jelas.Tujuanku di dunia ini satu-satunya adalah untuk menjamin supaya masa depan yang menanti—kalau amit-amit aku mesti membusuk di sini selamanya—dan lebih giat lagi nyari tahu apa eksistensi Nadia Yolanda benar adanya.Hm … setelah kuliat-liat lagi, pesta ini enggak sekuno yang kubayangkan.Nah, beberapa dari kalian tentu pernah liat tayangan serial televisi amoral dari platform streaming negeri barat seputar kehidupan remaja.Pasti enggak jauh-jauh dari pesta pora. Narkoba. Dan seks—emang dasar bocah-bocah ingusan, punya hak apa coba mereka sok-sokan ngelakuin ini.Dan gambaran pesta ini enggak jauh dari yang divisualisasikan media mainstream.Hanya aja lebih halus. Lebih tenang. Dan lebih munafik.Aku tahu, pasti di beberapa sudut yang
“Anda bener-bner bikin saya khawatir, Nona. Bisa tolong jelaskan ke mana anda semalaman ini?”Entah multitasking adalah bagian dari kualifikasi pelayan abad ini, atau emang Rose ini manusia setengah robot.Ya … apa pun itu, dandanin sambil ngeinterogasi orang secara bersamaan seperti sekarang bukan pekerjaan mudah. “Enggak.”“Nona …”Huft …Bener juga.Gara-gara bergaul dengan Sean, aku jadi ketularan kebiasaan buruknya yang seakan bicara tanpa berpikir. “Seorang teman ngajak aku menginap semalam.”“Menginap? Tanpa izin terlebih dulu?”Duh … dia ini berisik banget, sih.Emangnya, dia siapa?Ibuku, kah?Well, dalam beberapa aspek, ya, sedangkan menurut aspek lain enggak.Lagian, ya, yang harusnya nanya-nanya begini adalah ‘keluarga’-ku.Tapi, Alfie sama Lucian anteng-anteng aja—dan agaknya kurang biasa.Entah mereka makin enggak peduli, atau ada kejadian lebih penting yang mesti dipikirkan.Oh. Kalau dipikir-pikir ada.Krisis ekonomi kami yang sampe sekarang masih mengarah ke jalan bun
Nah, bukannya aku enggak bisa bersyukur atau malah tamak. Tapi kadang sesuatu yang enggak biasa bisa bikin dirimu enggak nyaman.Tau tentang teori pembentukan kebiasaan selama 21 hari?Iya, iya.Tuh teori dah basi, dan enggak akurat juga—toh pencetusnya juga malah seorang ahli bedah alih-alih psikolog (ibaratnya seorang dokter gigi tanpa latar belakang olahraga apa pun tiba-tiba ditunjuk sebagai pelatih klub sepakbola).Namun, itu kayaknya yang paling pas diaplikasikan ke sini.Nasib buruk beruntun yang datang nyiptain semacam persepsi kalau aku bakal terus gagal.Meski di beberapa kesempatan langka, aku berhasil, tapi itu merupakan peluang yang udah kuprediksi.Ya … ini juga salah satunya, sih.“Jadi kamu bener-bener berhasil, Dik.”Meskipun tengah berada dalam kondisi yang bikin diri biasaku langsung muak—kembali sekereta bersama Lucian.Tapi, well … karena ini hari yang enggak biasa, jadi kurasa … oke …? “Sayang banget kelompokku enggak menang. Tapi, itu nyaris, mesti kuakuin.”Apr
“—dia … Nadia … Nadia …”“Hm? Hah? Kenapa?”Ibu dalam balutan gaun corduroy mocca kekikinannya tersenyum. “Kok kamu berhenti, tadi kamu mau bilang apa?”Bilang apa?Ah. Benar.Aku sedang di tengah jamuan makan malam super glamor di restoran bintang lima.Ayah berinisiatif mengajak kami ke sini sebagai semacam self-reward bersama setelah berhasil ngejatuhin rival bisnisnya dalam pergolakan pasar saham yang ketat.Itu pertarungan yang alot, menegangkan, dan sangat beresiko.Perusahaan Ayah emang merupakan korporasi multinasional yang memonopoli hampir semua bidang.Jaringan berita, platform streaming, parawisata.Untuk meyakinkan para pemegang saham mayoritas, Ayah bahkan mesti merogoh kocek dalam-dalam untuk mengakuisi beberapa startup potensial, menciptakan citra baik di publik, dan membuat ‘aliansi’ dengan beberapa bekas rival bisnisnya.Meskipun kami mesti kehilangan banyak, tapi kami berhasil melalui itu.Sebagai keluarga.Sebagai suatu kesatuan yang kuat.Menuju akhir bahagia.“Ak
Aku baru aja jadi pembunuh dan rasanya melegakan.Jangan salah.Aku bukan psikopat atau sejenis orang sinting yang bakal menjustifikasi kalau tindakanku beralasan.Well, meski emang beralasan, sih.Tapi, apakah aku bener-bener membunuh?Pada akhirnya, semua kejadian aneh barusan cuma mimpi.Bagian dari imajinasi yang terlalu liar.‘Tapi, apa benar begitu?’ Aku seakan masih mendengar suara-Nya berbisik dari kejauhan.Entah wujud siapa yang Dia pakai.Kalau gitu, semua yang terjadi barusan itu nyata?Aku bakal di sini selamanya?“Nona? Nona? Nona?” Terdengar tiga ketukan di pintu.Aku menyuruhnya masuk tanpa berpikir.Untung yang datang ternyata cuma Rose—ada apaan, sih, denganku sejak bangun ini?Mana kewaspadaan yang kubangga-banggakan itu?“Nona, Tuan Lucian meminta anda untuk—” Rose memekik. “Oh, demi Yang Maha Tinggi. Nona, anda enggak apa?”Hah?Em …Ya ... setelah ngalamin hal luar biasa seperti tadi, pasti setiap orang bakal kacau, ‘kan.Otakku panas. Dan akal sehatku dipertanya
Malam ini, aku bukan diriku.Huft …Aku udah bersikeras untuk menolak, tapi sepertinya sudah jadi naluri alami bangsawan untuk pura-pura enggak dengar.Maksudku, coba lihat kaca sekarang.Yang mewujud di sana bukanlah seorang gadis biasa yang pernah berkata kalau dia bukanlah siapa-siapa, melainkan seorang titisan putri dari kahyangan.Pangeran Zack memang bilang akan memberiku suatu hadiah, “Anggap aja ini hadiah selamat atas keberhasilan kalian.”Satu setel gaun maroon dan alas kaki tertutup yang permukaannya cukup tipis berwarna hitam.Ketika mendapatinya pertama kali, itu merupakan pakaian yang sederhana.Sebuah gaun enggak akan melukai siapa pun, ‘kan?Tapi, ketika kini benar-benar mengenakannya, itu nampak sangat glamor.Aku enggak tahu kalau di dadanya terdapat semacam bros harimau mengaum keemasan, serta beberapa pernak-pernik pelengkap lain.Dasar bangsawan. Mereka semua berlebihan.“Hei … mau sampai kapan dandannya?” Bisa kudengar Ayah mengetuk dengan cukup jengkel.Dibila
Aku pernah baca tentang negeri yang luluhlantak.Konon, dulunya itu adalah tempat asri di mana semua orang berbagi kebahagiaan.Tempat di mana tawa tercipta. Air mata berakhir. Dan keajaiban dimulai.Hingga pada suatu hari, seorang pangeran bebal merusak semuanya.Konon, di sana, terdapat sebuah pedang penuh misteri yang tertancap di batang pohon. Ada beragam misteri yang mengelilinginya.Ada yang bilang, seseorang yang menariknya akan menjadi pimpinan sejati. Tapi, ada beberapa—yang disebut dongeng ini sebagai kaum paranoid—yang menganggapnya bakal merusak keseimbangan dunia.Pada akhirnya, pedang itu ditarik, dan kaum paranoid-lah yang benar.Bencana berdatangan. Tsunami menghantam. Gempa merobohkan semua bangunan. Longsor mengubur semua orang.Yang tersisa hanyalah reruntuhan. Juga sang pangeran yang terdiam dan merenung penuh penyesalan.Lupakan.Itu cuma semacam pengalih sementara untuk situasi kaos saat ini.Tugas seebagai seorang komandan pengawal utama Pangeran Devon mengharus