Beberapa luka tidak berdarah.
Tapi terasa… setiap kali seseorang datang terlalu dekat. Mesin mobil sport meraung memecah keheningan malam. Jalanan berbatu dan hutan lebat di kiri-kanan hanya disinari lampu mobil yang berkedip tak stabil. Di dalam, suasana tak kalah panas dibanding ledakan barusan. Kevin menggenggam setir dengan satu tangan, tangan satunya membersihkan darah dari pelipisnya. Di sebelahnya, Helena duduk bersandar dengan napas berat, bahunya berlumuran darah pengawal-bukan miliknya, tapi tetap terasa membakar. "Kau pikir aku minta diselamatkan, Xavier?" gumamnya tajam, tanpa menoleh. Kevin melirik cepat, bibirnya menyungging sinis. "Kalau aku tahu kau sekeras kepala ini, mungkin aku biarkan peluru yang bicara." "Dan kalau aku tahu kau seenaknya seperti ini, mungkin kupilih mati." Helena menjawab dingin, matanya menatap keluar jendela. "SayangMalam itu, Velmora mencatat: binatang luka mulai memburu. Ronald Xavier berdiri di depan peta besar yang menempel di dinding beton markasnya. Sisa pecahan gelas berserakan di lantai; bau alkohol, asap rokok, dan amarah memenuhi udara. Napasnya berat, bahunya naik-turun seperti binatang yang menahan amuk. Matanya menatap peta jalur suplai yang kini tercabik. “Dua tempat... dalam satu malam... Montavaro dan Dresvane...” gumamnya, nyaris seperti erangan. Seorang anak buah mendekat, tangan gemetar sambil menyerahkan tablet kecil. “T-Tuan... ini... rekaman dari mata-mata kita... drone yang sempat merekam...” bisiknya takut. Ronald menyambar tablet itu. Matanya membelalak saat sorot tajam Kevin Xavier muncul di layar — dingin, presisi, mematikan. Gambar Kevin menghabisi satu per satu pasukan Ronald terputar tanpa amp
Ada malam yang hanya lahir untuk mencatat darah. Dan malam ini... Dresvane menulis namanya dengan bayangan. Hujan mengguyur Dresvane seperti air mata langit yang lelah melihat darah. Malam itu, tanah basah menanti cerita baru: siapa yang hidup, siapa yang terkubur. Hujan makin deras. Dresvane basah kuyup, bau mesiu bercampur tanah basah memenuhi udara. David Morgan bernafas berat di balik tembok runtuh, peluru terakhir di magazinnya sudah dia lepaskan. Satu demi satu pasukannya tumbang, tersisa hanya segelintir, terhimpit di sudut gudang tua. Dendy Alexander memantau lewat layar taktis. Wajahnya keras, rahang terkunci. “David… aku turunkan pasukan. Kau mati di sana, ini jadi dosa aku.” Suara Dendy terdengar serak di earpiece David. “Tahan, Dendy.” David menyeka darah di pelipisnya. “Jangan biarkan Dresv
Malam di Dresvane tak lagi hitam. Ia berpendar merah, dibakar ambisi dan dendam yang menunggu dituntaskan. Ravenstale Ruang Taktis bawah tanah— Pintu baja geser terbuka pelan, berderit rendah. Dendy Alexander melangkah masuk ke ruang taktikal bawah tanah Ravenstale—langkahnya tenang, tapi setiap jejaknya seperti dentang palu di ruang hening. Jaketnya masih berbau debu Montavaro. Mata elangnya langsung menyapu layar holografik yang memantulkan peta Dresvane. Para operator hanya menunduk dalam, tak ada yang berani menyapa. Mereka tahu: raja mereka baru saja pulang dari sarang musuh dan kini membawa badai. Udara ruang itu pengap, bercampur aroma logam, sisa minyak pelumas, dan kertas tua. Cahaya redup dari layar memantulkan bayangan peta dan jalur suplai yang kini terancam. Di depannya, David Morgan berd
Malam menelan Montavaro dalam sunyi yang mencurigakan. Dendy Alexander berjalan perlahan di antara bangunan tua yang dindingnya penuh retakan dan bercak karat. Bau solar basi dan debu menyengat. Langkahnya nyaris tanpa jejak di aspal pecah-pecah. “Tempat ini mati, atau pura-pura mati,” batin Dendy, matanya tajam menyapu setiap sudut. Montavaro dulunya markas jalur suplai bawah tanah Ronald Xavier. Gudang logistik, bengkel senjata, dan terowongan lama yang kini sebagian runtuh. Tapi malam ini... terlalu banyak jejak segar untuk sebuah wilayah yang seharusnya sunyi. Salah satu loyalis berbisik ke rekannya, cukup keras untuk terdengar Dendy, “Raja turun tangan sendiri... pasti takut kekuasaannya runtuh.” Dendy tak menoleh, seolah bisikan itu cuma desir angin yang lewat di telinga.
Ada warisan yang tertulis di surat wasiat. Ada pula warisan yang tertanam di tulang—terbawa mati, meninggalkan luka yang diwariskan tanpa kata. Malam tak pernah sekelam ini, bahkan bagi seorang raja bayangan. Ruang kerja itu menyesakkan.Bau kayu tua, debu, dan kertas usang memenuhi udara, bercampur dengan aroma logam dari pistol di sudut meja.Lampu meja redup, cahayanya goyah tertiup angin dari jendela yang tak rapat. Bayangannya menari di dinding, seperti hantu masa lalu yang datang mengejek setiap napas David. Di hadapannya: potret lama Helena kecil, tersenyum polos, mata beningnya tak tahu dunia macam apa yang telah diwariskan padanya. Tangannya menggenggam ponsel. Layar hitam yang kosong menantang: kau tahu yang harus kau lakukan. David menarik napas panjang, kasar. Bahunya serasa memikul beban yang tak akan pernah selesai. "Helena
Malam itu, tak ada yang berburu kehormatan. Tak ada yang memburu tanah. Malam itu, mereka memburu demi nama yang tak pernah mereka ucap... tapi selalu mereka lindungi dengan nyawa. Hujan belum turun. Tapi udara sudah mengandung ancaman. Bau oli dan besi tua memenuhi lorong bawah Ravenstale—bekas markas keluarga Alexander. Malam ini, lorong itu jadi benteng terakhir untuk pertemuan yang tak boleh terdengar siapa pun. David Morgan duduk bersandar di kursi kulit tua. Jari-jarinya mengetuk pelan meja logam, dentingnya memantul seperti detik bom waktu yang hampir jatuh tempo. Matanya menatap peta digital di meja—peta Ravenstale yang kini penuh tanda merah: jalur makanan terputus, suplai medis terhenti, satelit pengawas buta. Sabotase sempurna. Sabotase yang tak sekadar mengancam. Ini peringatan. Dan malam itu seolah ikut berkonspirasi, menutup mulutnya pada dunia l