Beberapa perang dimulai bukan karena kebencian... tapi karena cinta yang gagal jadi pengampunan.
Mereka dulu sahabat. Arthur Xavier dan Charles Morgan. Dua anak muda yang mengira dunia bisa mereka taklukkan bersama. Tapi dunia mafia... tak pernah mengizinkan dua raja duduk di tahta yang sama. Velmora, dua dekade silam. Di sebuah bar tua di distrik Ravenstale, dua pemuda duduk berdampingan, minum dari botol yang sama, tertawa pada nasib dunia yang mereka pikir bisa mereka ubah. Arthur Xavier muda—tajam, cerdas, dan percaya bahwa kekuatan bisa dibagi. Charles Morgan muda—dingin, penuh strategi, dan yakin bahwa kekuatan hanya milik satu orang. Mereka bertaruh nyawa bersama, menyusup kartel asing, menyuap kepolisian internasional, hingga menumbangkan satu keluarga mafia yang lebih tua dari keduanya. Dan setiap kemenangan mereka rayakan dengan tawa, bukan peluru. “Kita bangun kekaisaran bersama, Char,” ujar Arthur, mengangkat botol. “Dua kepala, satu dinasti.” “Itu hanya mimpi, Art,” jawab Charles, menatap pantulan dirinya di cermin bar. “Pada akhirnya... akan tinggal satu raja.” Tawa Arthur bertahan. Tapi malam itu, Charles mulai diam. Namun ketika keluarga masing-masing menuntut wilayah, ketika ambisi mulai mengganti tawa dengan kecurigaan— Mereka berhenti menyebut satu sama lain saudara. Mereka membangun kekaisaran. Tapi bukan bersama. Melainkan... saling mengintai dari balik moncong senapan. Malam itu—di antara runtuhan sejarah, darah sahabat, dan janji yang tak pernah ditepati— Dua pemuda yang dulu pernah percaya pada dunia yang bisa mereka bagi... Akhirnya saling membunuh demi dunia yang tidak akan mereka tinggali. Langit malam menyelimuti Velmora seperti jubah kematian. Hujan tak turun, tapi udara menggantung berat, seperti menahan napas untuk menyaksikan kehancuran dua dinasti. Kota Velmora menyaksikan duel terakhir dua penguasa tua, tapi darah mereka bukan akhir. Itu hanya bab pembuka… untuk generasi yang lebih ganas. Di tengah reruntuhan markas tua distrik netral—bangunan yang dulu menjadi tempat kompromi terakhir Morgan dan Xavier—Charles Morgan berdiri sempoyongan. Darah merembes deras dari perutnya, membasahi jas abu-abu yang dulunya lambang kekuasaan—kini hanya kain penutup kematian. Napasnya mencabik-cabik paru-paru. Tapi matanya belum padam. Di hadapannya, Arthur Xavier masih berdiri, tubuh tegak tapi ringkih, pistol di tangan. Jemarinya gemetar, tapi sorot matanya tak goyah. Seperti dua binatang buas tua yang menolak mati lebih dulu—dan terlalu bangga untuk mundur. “Jadi begini akhir kita, Charles?” Arthur menyeringai pahit. “Berpuluh tahun saling mengintai… dan tetap saja, yang kita bunuh bukan dunia, tapi diri sendiri.” Charles menatapnya. Mata yang dulu tajam seperti peluru kini retak seperti kaca—tapi tidak buta akan dendam. “Kita memang tidak diciptakan untuk berdamai, Arthur,” gumamnya parau. “Tapi jangan pernah bilang aku kalah.” Tak ada aba-aba. Charles menerjang. Sangkurnya menembus dada Arthur dalam satu gerakan liar—tepat di bawah tulang selangka. Tapi sebelum Arthur roboh, pelurunya lepas. Menembus sisi bawah perut Charles. Darah meledak bersamaan. Keduanya tumbang—bersama. Tubuh mereka jatuh di tanah yang sudah lebih dulu dibanjiri darah prajurit. Tangan mereka masih saling mencengkeram, seperti menolak dilepaskan oleh sejarah yang mereka tulis bersama. Nafas tersisa terdengar seperti siulan angin terakhir dari menara kekuasaan yang runtuh. Darah bercampur. Tapi mata mereka menolak memejam. “Jangan... biarkan darahnya menyentuh darahku...” desis Charles. Napasnya lepas satu-satu, seperti pasir dalam jam retak. “Satu Morgan terakhir... cukup,” balas Arthur dengan sisa suara yang tidak lagi terasa manusia. Darah belum mengering saat langkah seorang anak laki-laki menggema di lorong reruntuhan. David Morgan datang terlambat. Langkahnya terhenti di ambang reruntuhan, tepat saat nyawa terakhir keluar dari dada ayahnya. Ayahnya bersimbah darah. Musuh ayahnya mati hanya sejengkal dari tubuhnya. Dan tidak ada satu pun yang bisa diselamatkan. Kaki David tak bergerak. Dingin menjalari tulangnya. Tapi bukan karena takut—melainkan karena inilah warisan yang sebenarnya: Tak ada tahta. Hanya kehancuran. “David...” suara Charles lebih mirip bisikan roh yang menolak meninggalkan tubuh. “Maafkan aku... jaga Helena. Dunia ini... terlalu kejam buat adikmu…” David berlutut, lututnya tenggelam dalam darah yang belum kering. Tangannya menyentuh pipi ayahnya—dingin, kaku. Tapi wajahnya tetap seperti patung: tanpa tangis. Bukan karena tak merasa. Tapi karena rasa di dadanya terlalu besar untuk dikeluarkan. “Jangan biarkan darah Xavier menyentuhnya...” gumam Charles, lalu diam. Selamanya. David tidak menjawab. Ia hanya membiarkan kesunyian menjawab untuknya. Langkah pelan terdengar dari sisi reruntuhan. Bayangan panjang muncul, siluetnya menjulur panjang di antara asap dan puing. Benjamin Alexander berdiri di sana, mengenakan mantel hitam panjang, kerahnya terangkat menahan dingin malam, tapi bukan itu yang membuatnya tampak dingin. Wajahnya… seperti batu nisan yang terlalu lama memendam penyesalan. “Charles...” bisiknya. Suaranya pecah seperti kaca. Ia berlutut perlahan di sisi tubuh sahabatnya. Jemarinya menyentuh tangan Charles, lalu menguncinya. “Aku... minta maaf. Aku terlalu lambat.” David menoleh. Matanya tajam, tapi tidak menuduh. “Tuan Benjamin?” Benjamin mendongak. Tatapannya mengunci mata David sejenak. Lalu mengangguk. “Kau kuat, David. Tapi jangan sendirian. Dendy ada untukmu—seperti dulu aku ada untuk ayahmu.” David mengangguk. Gerakan kecil. Tapi di dalam dirinya, dunia yang ia kenal telah patah menjadi dua. Saat itu ia tahu, ia telah diwarisi beban yang lebih berat dari sekadar tahta. Karena darah adalah warisan, tapi kesepian adalah kutukan. Di sisi lain reruntuhan, suara langkah sepatu menghantam batu. Ronald Xavier berjalan pelan. Tak ada emosi di wajahnya—hanya kebisuan dingin yang bahkan malam enggan menyentuh. Ia tidak menangis. Ia tidak berteriak. Ia hanya menunduk, mengambil pistol dari genggaman tangan ayahnya. Menatapnya beberapa detik. Lalu menyelipkannya ke balik jas. Suara logam bertemu kulit. Bisu. Tapi dunia tahu: perang baru saja dimulai. Tangannya bersih. Tapi matanya... menyimpan bara yang akan membakar dunia. Dan dengan nada rendah—yang seperti dikirimkan ke neraka, bukan ke langit—ia berbisik “Kalau kau tak melahap dunia... maka dunia akan melahapmu.” Ia menoleh. Tatapan matanya bertemu dengan David. Mereka tidak bicara. Tapi langit Velmora tahu—dua anak laki-laki telah dilahirkan kembali malam itu. Bukan sebagai anak tapi sebagai pewaris. Sebagai musuh. David Morgan mewarisi tahta Distrik Morgan. Ronald Xavier mewarisi ambisi dan kebencian Distrik Xavier. Dan Benjamin Alexander kembali ke dinastinya… dengan satu beban: mengawasi anak dari sahabat yang gagal ia lindungi. Dari tragedi itu, lahirlah tiga takdir. Satu dalam duka. Satu dalam dendam. Dan satu dalam diam. Tak ada kerja sama. Tak ada perdamaian. Dan tak ada belas kasihan. Langit malam menyaksikan semuanya. Dan tidak satu pun bintang bersinar malam itu.Blackstone, malam ketiga setelah operasi tersebar.Helena duduk paling ujung meja taktis yang kini tak lagi menampilkan peta. Hanya gelap. Seolah dunia pun sedang menahan napas.Dendy meletakkan tiga map lusuh di hadapannya. Satu dari Nocterra. Satu dari Valoria. Dan satu dari Belegrive.Kevin berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuh di dinding seperti biasa. Tapi kali ini, sorot matanya berbeda. Terlalu dalam untuk hanya menyimpan strategi. Terlalu sunyi untuk disebut waspada.Wolf membuka map pertama.Di dalamnya, kertas hasil print dari server Nocterra. Nama-nama yang pernah menyamar jadi operator lintas garis. Semuanya sudah mati. Atau dibungkam.Map kedua. Valoria. Dendy meletakkan berkas itu dengan lebih pelan. Di dalamnya, bukan hanya catatan. Tapi surat operasi yang menyebut tiga nama:Lucas Alexander.Salvatore Xavier.Dimitri Morgan.
Valoria — dua hari setelah infiltrasi Nocterra.Kabut malam Valoria turun seperti selimut busuk yang terlalu lama tak diganti.Bau garam, racun logam, dan karat menempel di tenggorokan.Kota itu seakan menolak dibersihkan—seperti kenangan buruk yang tak pernah benar-benar terkubur.David menyalakan rokok, lalu mematikannya lagi bahkan sebelum sempat menghisap.Jari-jarinya basah karena udara asin, atau karena firasat yang menekan di belakang kepalanya.Di sampingnya, Wolf berjalan dalam diam.Sepatu bot mereka menjejak koridor beton bawah pelabuhan lama—tempat yang pernah jadi jalur senjata biologis saat rezim Charles masih berkuasa.“Tempat ini dibersihkan setelah kebakaran beberapa tahun lalu,” gumam Wolf.“Tapi bangkai dokumen biasanya selamat lebih lama dari manusia.”David tak menjawab.Ia menarik satu lembar catatan dari saku dalam jasnya. Sebuah peta tua, lusuh, penuh anotasi tangan.Diberi penanda tinta merah—tempat Dimitri biasa menyimpan berkas rahasia luar sistem.“Kita car
Belegrive — tiga hari kemudian.Kota itu tak pernah tidur. Tapi tidur di Belegrive... selalu berarti mengubur kesaksian.Helena mengenakan mantel gelap, menyatu dengan arus langkah para pejalan malam.Angin membawa aroma alkohol, logam, dan nyala api dari cerobong-cerobong industri pencucian uang yang menyamar sebagai pabrik daur ulang.Helena berhenti di depan gedung tua berlapis kaca buram. Tak ada nama. Tak ada tanda. Tapi ia tahu: di dalamnya, Caspian Montgomery menyimpan semua rahasia keuangan Sylvania.Langkah kaki berhenti di belakangnya. Bukan musuh. Tapi bukan juga sekutu penuh.Seorang pria tua, dengan tubuh bungkuk dan wajah dipenuhi bekas luka. Loyalis David. Salah satu yang selamat—tapi tak pernah utuh lagi.“Kau datang sendiri,” gumam pria itu. Suaranya serak, nyaris seperti kerikil yang terinjak.Helena tidak menoleh. “Kau masih mengingat?”“Aku tidak bisa lupa, Lena. Karena mereka tak pernah berhenti membuatku mengingat.”Ia menyodorkan amplop kecil dari balik jaket. “
Blackstone dipenuhi aroma besi basah dan kertas tua malam itu.Meja taktis di ruang rapat utama sengaja dibiarkan gelap, seolah para penghuninya sepakat untuk tidak membicarakan apapun yang belum sanggup mereka telan.Dendy membuka koper besi, menaruh dokumen hasil dari Viremont di atas meja satu per satu.Map lusuh, lembaran dengan cap Morgan lama, hingga surat dari Charles Morgan yang kini menjadi hantu paling nyata di ruangan itu.Helena duduk tegak di kursi utama. Kevin bersandar di dinding belakangnya. Wolf berdiri di sisi pintu, tangan terlipat, matanya tak berkedip.David membuka suara.“Semua dokumen ini... bukan tentang pengkhianatan biasa. Mereka bukan cuma ingin menghapus namamu, Lena. Mereka ingin menghapus... konsepmu.”Helena menunduk sebentar. Lalu menatap lurus ke David. Suaranya rendah, tetapi jelas."Lalu kita mulai dari siapa yang paling takut kalau aku bertahan."David menyalakan lay
Langit pagi di atas Isle of Viremont tampak kelabu, tapi tak lagi hujan.Udara di sekitar pulau itu dingin dan basah, seolah membawa sisa-sisa rahasia yang pernah dibuang jauh ke dalam tanah.Empat siluet mendekat dari sisi dermaga tua—Helena, Kevin, Dendy, dan David.Mereka bergerak tanpa suara. Tak ada komunikasi. Hanya langkah yang sudah terlalu lama disesuaikan dengan bahaya.Bangunan spiral yang mereka tuju menjulang rendah seperti bekas tulang punggung monster purba.Struktur beton tua dengan lumut di setiap sisi. Tidak ada penjaga. Tidak ada sistem modern. Justru karena itu… tempat ini jauh lebih berbahaya."Gerbang manual," ucap Dendy pelan, menekuk tubuhnya membuka palang tua yang tersembunyi di balik semak.David menyusul masuk pertama.“Kita hanya cari dokumen. Jangan sentuh apa pun selain yang ada di daftar.”Kevin berjalan pelan di samping Helena
Blackstone tak pernah benar-benar tidur, tapi malam itu terasa seperti tubuh besar yang menahan napas.Langit masih kelabu. Hujan hanya tinggal gerimis tipis yang menetes seperti sisa air mata yang tak pernah sempat jatuh.Di ruang observasi atas, Helena berdiri sendiri menghadap kaca tebal.Di baliknya, kota bawah tanah tampak seperti labirin arteri yang tenang—padahal denyut di dalamnya mulai menyiapkan perang.Helena menggenggam secangkir teh yang sudah lama dingin. Tapi ia tak peduli. Di kepalanya, suara Raymond masih terngiang:"Ia lahir dari kelalaian."Ia mengulangnya diam-diam. Tak untuk membenci. Tapi untuk mengingat. Karena ia tahu—kalimat itulah yang akan ia balas dengan seluruh warisan yang kini ada di punggungnya.Langkah pelan terdengar. Kevin mendekat. Tidak memecah hening. Tidak bertanya apa-apa. Ia hanya berdiri di belakang Helena.Tidak menyentuh, tidak menyela. Hanya napasnya… yang membuat ruang itu terasa sedikit lebih hidup."Kau percaya takdir bisa diubah?" tanya