Home / Romansa / DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH / CHAPTER 2. DUA MAUT SATU JANJI

Share

CHAPTER 2. DUA MAUT SATU JANJI

Author: Selena Vyera
last update Last Updated: 2025-06-11 18:04:44

Beberapa perang dimulai bukan karena kebencian... tapi karena cinta yang gagal jadi pengampunan.

Mereka dulu sahabat. Arthur Xavier dan Charles Morgan.

Dua anak muda yang mengira dunia bisa mereka taklukkan bersama. Tapi dunia mafia... tak pernah mengizinkan dua raja duduk di tahta yang sama.

Velmora, dua dekade silam.

Di sebuah bar tua di distrik Ravenstale, dua pemuda duduk berdampingan, minum dari botol yang sama, tertawa pada nasib dunia yang mereka pikir bisa mereka ubah.

Arthur Xavier muda—tajam, cerdas, dan percaya bahwa kekuatan bisa dibagi.

Charles Morgan muda—dingin, penuh strategi, dan yakin bahwa kekuatan hanya milik satu orang.

Mereka bertaruh nyawa bersama, menyusup kartel asing, menyuap kepolisian internasional, hingga menumbangkan satu keluarga mafia yang lebih tua dari keduanya.

Dan setiap kemenangan mereka rayakan dengan tawa, bukan peluru.

“Kita bangun kekaisaran bersama, Char,” ujar Arthur, mengangkat botol. “Dua kepala, satu dinasti.”

“Itu hanya mimpi, Art,” jawab Charles, menatap pantulan dirinya di cermin bar. “Pada akhirnya... akan tinggal satu raja.”

Tawa Arthur bertahan. Tapi malam itu, Charles mulai diam.

Namun ketika keluarga masing-masing menuntut wilayah, ketika ambisi mulai mengganti tawa dengan kecurigaan—

Mereka berhenti menyebut satu sama lain saudara.

Mereka membangun kekaisaran. Tapi bukan bersama.

Melainkan... saling mengintai dari balik moncong senapan.

Malam itu—di antara runtuhan sejarah, darah sahabat, dan janji yang tak pernah ditepati—

Dua pemuda yang dulu pernah percaya pada dunia yang bisa mereka bagi...

Akhirnya saling membunuh demi dunia yang tidak akan mereka tinggali.

Langit malam menyelimuti Velmora seperti jubah kematian. Hujan tak turun, tapi udara menggantung berat, seperti menahan napas untuk menyaksikan kehancuran dua dinasti.

Kota Velmora menyaksikan duel terakhir dua penguasa tua, tapi darah mereka bukan akhir. Itu hanya bab pembuka… untuk generasi yang lebih ganas.

Di tengah reruntuhan markas tua distrik netral—bangunan yang dulu menjadi tempat kompromi terakhir Morgan dan Xavier—Charles Morgan berdiri sempoyongan.

Darah merembes deras dari perutnya, membasahi jas abu-abu yang dulunya lambang kekuasaan—kini hanya kain penutup kematian. Napasnya mencabik-cabik paru-paru. Tapi matanya belum padam.

Di hadapannya, Arthur Xavier masih berdiri, tubuh tegak tapi ringkih, pistol di tangan. Jemarinya gemetar, tapi sorot matanya tak goyah. Seperti dua binatang buas tua yang menolak mati lebih dulu—dan terlalu bangga untuk mundur.

“Jadi begini akhir kita, Charles?” Arthur menyeringai pahit. “Berpuluh tahun saling mengintai… dan tetap saja, yang kita bunuh bukan dunia, tapi diri sendiri.”

Charles menatapnya. Mata yang dulu tajam seperti peluru kini retak seperti kaca—tapi tidak buta akan dendam.

“Kita memang tidak diciptakan untuk berdamai, Arthur,” gumamnya parau. “Tapi jangan pernah bilang aku kalah.”

Tak ada aba-aba.

Charles menerjang.

Sangkurnya menembus dada Arthur dalam satu gerakan liar—tepat di bawah tulang selangka. Tapi sebelum Arthur roboh, pelurunya lepas. Menembus sisi bawah perut Charles. Darah meledak bersamaan.

Keduanya tumbang—bersama.

Tubuh mereka jatuh di tanah yang sudah lebih dulu dibanjiri darah prajurit. Tangan mereka masih saling mencengkeram, seperti menolak dilepaskan oleh sejarah yang mereka tulis bersama.

Nafas tersisa terdengar seperti siulan angin terakhir dari menara kekuasaan yang runtuh.

Darah bercampur. Tapi mata mereka menolak memejam.

“Jangan... biarkan darahnya menyentuh darahku...” desis Charles. Napasnya lepas satu-satu, seperti pasir dalam jam retak.

“Satu Morgan terakhir... cukup,” balas Arthur dengan sisa suara yang tidak lagi terasa manusia.

Darah belum mengering saat langkah seorang anak laki-laki menggema di lorong reruntuhan.

David Morgan datang terlambat.

Langkahnya terhenti di ambang reruntuhan, tepat saat nyawa terakhir keluar dari dada ayahnya.

Ayahnya bersimbah darah. Musuh ayahnya mati hanya sejengkal dari tubuhnya.

Dan tidak ada satu pun yang bisa diselamatkan.

Kaki David tak bergerak. Dingin menjalari tulangnya. Tapi bukan karena takut—melainkan karena inilah warisan yang sebenarnya:

Tak ada tahta. Hanya kehancuran.

“David...” suara Charles lebih mirip bisikan roh yang menolak meninggalkan tubuh. “Maafkan aku... jaga Helena. Dunia ini... terlalu kejam buat adikmu…”

David berlutut, lututnya tenggelam dalam darah yang belum kering. Tangannya menyentuh pipi ayahnya—dingin, kaku. Tapi wajahnya tetap seperti patung: tanpa tangis.

Bukan karena tak merasa. Tapi karena rasa di dadanya terlalu besar untuk dikeluarkan.

“Jangan biarkan darah Xavier menyentuhnya...” gumam Charles, lalu diam. Selamanya.

David tidak menjawab. Ia hanya membiarkan kesunyian menjawab untuknya.

Langkah pelan terdengar dari sisi reruntuhan.

Bayangan panjang muncul, siluetnya menjulur panjang di antara asap dan puing.

Benjamin Alexander berdiri di sana, mengenakan mantel hitam panjang, kerahnya terangkat menahan dingin malam, tapi bukan itu yang membuatnya tampak dingin. Wajahnya… seperti batu nisan yang terlalu lama memendam penyesalan.

“Charles...” bisiknya. Suaranya pecah seperti kaca. Ia berlutut perlahan di sisi tubuh sahabatnya. Jemarinya menyentuh tangan Charles, lalu menguncinya. “Aku... minta maaf. Aku terlalu lambat.”

David menoleh. Matanya tajam, tapi tidak menuduh.

“Tuan Benjamin?”

Benjamin mendongak. Tatapannya mengunci mata David sejenak. Lalu mengangguk.

“Kau kuat, David. Tapi jangan sendirian. Dendy ada untukmu—seperti dulu aku ada untuk ayahmu.”

David mengangguk. Gerakan kecil. Tapi di dalam dirinya, dunia yang ia kenal telah patah menjadi dua.

Saat itu ia tahu, ia telah diwarisi beban yang lebih berat dari sekadar tahta.

Karena darah adalah warisan, tapi kesepian adalah kutukan.

Di sisi lain reruntuhan, suara langkah sepatu menghantam batu.

Ronald Xavier berjalan pelan. Tak ada emosi di wajahnya—hanya kebisuan dingin yang bahkan malam enggan menyentuh.

Ia tidak menangis. Ia tidak berteriak.

Ia hanya menunduk, mengambil pistol dari genggaman tangan ayahnya. Menatapnya beberapa detik.

Lalu menyelipkannya ke balik jas. Suara logam bertemu kulit. Bisu. Tapi dunia tahu: perang baru saja dimulai.

Tangannya bersih. Tapi matanya... menyimpan bara yang akan membakar dunia.

Dan dengan nada rendah—yang seperti dikirimkan ke neraka, bukan ke langit—ia berbisik “Kalau kau tak melahap dunia... maka dunia akan melahapmu.”

Ia menoleh. Tatapan matanya bertemu dengan David.

Mereka tidak bicara.

Tapi langit Velmora tahu—dua anak laki-laki telah dilahirkan kembali malam itu.

Bukan sebagai anak tapi sebagai pewaris. Sebagai musuh.

David Morgan mewarisi tahta Distrik Morgan.

Ronald Xavier mewarisi ambisi dan kebencian Distrik Xavier.

Dan Benjamin Alexander kembali ke dinastinya… dengan satu beban: mengawasi anak dari sahabat yang gagal ia lindungi.

Dari tragedi itu, lahirlah tiga takdir.

Satu dalam duka.

Satu dalam dendam.

Dan satu dalam diam.

Tak ada kerja sama.

Tak ada perdamaian.

Dan tak ada belas kasihan.

Langit malam menyaksikan semuanya.

Dan tidak satu pun bintang bersinar malam itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 163. BAYANG DALAM DINGIN

    Beberapa cinta tidak mati—ia cuma belajar bersembunyi di tempat paling dingin, menunggu saat untuk membakar lagi.Ravenstale pagi itu tidak benar-benar pagi.Langitnya kelabu, seperti menolak mengakui keberadaan matahari.Kabut menggantung rendah, tebal, dan lembab, menelan halaman depan mansion hingga batas pandang tak lebih dari beberapa meter.Suara ranting patah dari jauh terdengar seperti desah napas dari dunia lain.Helena duduk di tangga batu yang mengarah ke taman belakang.Tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, uapnya tak lagi terlihat.Matanya menatap jauh ke lembah yang diselimuti kabut—tatapan kosong, tapi pikirannya bergerak terlalu cepat untuk diikuti.Ia tidak tidur semalaman.Sisa percakapan dengan Kevin masih terjebak di pikirannya, berulang-ulang seperti gema dalam ruangan yang tak punya pintu keluar.Setiap kalimatnya, setiap napasnya, menempel di kulit.Ia mencoba membencinya, tapi yang tumbuh justru rasa ingin kembali pada sesuatu yang seharusnya sudah

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 162. DINDING API

    Beberapa luka tidak butuh peluru untuk berdarah. Cukup satu tatapan... dari orang yang tidak bisa kau lupakan.Ravenstale malam itu sunyi—terlalu sunyi untuk tempat yang menyimpan begitu banyak rahasia.Api kecil di perapian memantul di dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak seperti roh yang gelisah.Helena berdiri di depan jendela, bahunya masih dibalut luka lama yang belum benar-benar pulih.Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah, tapi matanya tetap hidup—tajam, dingin, namun menyimpan sesuatu yang nyaris rapuh.Kevin berdiri di belakangnya.Tidak bicara, tidak menyentuh. Tapi jarak antara mereka terlalu kecil untuk disebut aman.Ia bisa merasakan aroma kulitnya—abu dan hujan, campur aduk seperti racun yang justru membuatnya tenang.Helena bicara dulu, tanpa menoleh.“Kau datang sayang.”Kevin tidak menjawab. Hanya menghela napas pelan, berat.“Tidur di tempat ini sama saja seperti tidur di peti mati.”“Lalu kenapa kau di sini?”“Karena di luar lebih gelap.”Hujan menetes

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 161. AKAR DALAM API

    Setiap darah punya asalnya. Dan di Ravenstale… beberapa asal seharusnya tetap terkubur.Kabut belum bubar sejak pagi.Ravenstale berdiri dalam keheningan, seperti tubuh raksasa yang menahan napas di antara dua dunia—hidup dan mati.Dari jendela kamar atas, Helena menatap pekat kabut di luar; di sanalah suara samar hujan terakhir masih menetes dari ranting.Udara dingin menusuk kulit, tapi yang lebih tajam adalah rasa sunyi yang perlahan menggigit pikirannya.Di ruang bawah, cahaya lampu redup memantul di meja besi yang dipenuhi dokumen lama, peta retak, dan abu rokok yang belum sempat dibersihkan.Dendy duduk di ujung meja, mantel hitamnya basah di bahu. Jemarinya menelusuri berkas tua yang ditulis dengan tinta nyaris pudar.Di salah satu halaman, ada simbol kecil—segitiga merah dengan huruf X di tengahnya.Wolf berdiri di belakangnya, bahu tegang.“Aku dapat ini dari sistem satelit lama di sisi timur Ravenstale. Sinyalnya bukan punya Ronald.”Dendy mengangkat kepala.“Keluarga siapa?

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 160. STRATEGI DALAM BAYANG

    Beberapa perang tak dimenangkan dengan peluru, tapi dengan siapa yang paling bisa menahan rasa sakit lebih lama.Langit di atas Blackstone berwarna kelabu tua.Hujan belum berhenti sejak mereka meninggalkan Drosnya.Di balik kaca ruang taktis, kilat sesekali menembus bayangan gedung, memantul di meja logam yang penuh peta, berkas, dan darah kering.Helena berdiri di sana—mantel hitamnya masih berbau asap dan mesiu.Tatapannya menempel pada peta besar di dinding, tapi pikirannya masih tertinggal di pabrik besi yang kini tinggal abu.Sylvania. Drosnya. Peluru yang seharusnya berhenti, tapi justru membuka bab baru.Udara ruangan dingin, tapi bukan dingin yang menenangkan.Dinginnya seperti sisa perang—menyelinap ke kulit, menempel di napas.Wolf duduk di kursi belakang, bahunya masih terbalut perban, rokok menyala di antara jari.

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 159. ABU YANG MASIH HIDUP

    Drosnya jatuh bukan karena peluru—tapi karena cinta yang memilih terbakar daripada dilupakan.Drosnya terbakar perlahan—seperti luka yang enggan menutup.Langitnya hitam, tapi setiap percikan api di bawahnya seolah menulis kembali sejarah dengan darah yang belum kering.Udara terasa berat. Asap dan hujan bersatu, menurunkan kabut logam yang membuat setiap napas terasa seperti menelan serpihan peluru.Helena berjalan di antara sisa pabrik, langkahnya berat tapi stabil.Setiap lantai yang ia injak berderit, mencampur suara hujan dengan desis logam yang mencair.Bau mesiu menempel di kulitnya. Di tangannya, pistol itu masih hangat—bukan karena peluru, tapi karena kenangan yang belum sempat mendingin.Di belakangnya, Kevin menyusul.Ia menatap punggung Helena dalam diam; bahu itu seperti menanggung kota yang sudah lama runtuh, tapi tetap berdiri karena keras kep

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 158. LUKA YANG HIDUP

    Setiap luka punya bayangannya sendiri.Beberapa bahkan… menolak sembuh.Tangga besi itu berderit di bawah langkah mereka.Panas dari kobaran api menjilat dinding pabrik, membuat udara bergetar.Asap menebal, tapi di atas sana—di platform logam yang disinari lampu merah berkedip—suara tumit Sylvania masih terdengar.Helena naik paling depan, pistolnya di tangan kanan, napasnya berat tapi teratur.Dendy di belakang, langkahnya tegap namun matanya buram oleh ingatan yang belum mati.Kevin dan Wolf menutup bawah, mengamankan jalur keluar—kalau masih ada yang bisa disebut keluar.“Dia di atas, Lena” bisik Dendy.“Aku tahu.”Nada suaranya datar, tapi di matanya, ada badai yang belum meledak.Begitu mereka mencapai puncak tangga, cahaya merah menelan semuanya.Lantai atas pabrik terbuka ke arah langit—atap logam sudah jebol sebagian, dan hujan turun seperti air suci di tengah neraka.Sylvania berdiri di ujung platform, membelakangi mereka.Gaun merahnya basah, menempel di kulit, membuatnya t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status