"Mencari gimana, Ma?" tanyaku mencoba untuk tetap tenang."Mereka mengatakan kalau mereka adalah keluarga Kiara," jelas Mama dengan sedikit ketakutan di wajahnya.Brakkk...Terdengar bunyi sesuatu yang jatuh di kamar mandi. Apa itu Kiara?Tidak, kumohon kau baik-baik saja. Segera aku membuka pintu kamar. Benar saja, Kiara sudah terduduk tidak berdaya di lantai yang begitu dingin.Kedua tanganku sudah siap untuk mengangkat tubuhnya, namun Kiara menahan tanganku. "Jangan temui orang-orang itu, Mas," lirihnya pelan."Orang-orang?" tanyaku heran. Meskipun beberapa kali tanganku ditepis, tapi beberapa kali juga aku kembali mencoba untuk mengangkatnya. Mana mungkin aku tega membiarkannya terduduk seperti ini dengan keadaan yang acak-acakan."Bagaimana Raksa? Apa perlu kita memanggil dokter?" Mama terlihat lebih khawatir daripada aku."Itu harus, Ma."Lagi-lagi Kiara menahan tanganku yang akan mengambil ponsel, "Tidak perlu memanggil dokter, Mas. Aku tidak apa-apa," ucapnya lemah.Yah, aku h
Aku sudah memberi perintah kepada orang-orangku untuk bersiap, tapi wanita tua itu kembali menyembunyikan benda itu dan duduk dengan tenang. Tentu saja bersama dengan istri dan anakku.Sepertinya aku sudah menyepelekan mereka, ternyata orang yang datang dengan mereka sangat banyak. Tentunya dengan membawa senjata api."Kita di sini tidak akan berlama-lama. Tidak masalah jika wanita itu tidak mau menemui kita, asal kau sebagai suami yang rela berkorban untuk istrimu mau berganti posisi dengannya," ucapnya panjang, tanpa kuminta sama sekali. Sumpah, bahkan jika aku punya pilihan, lebih baik tidak membiarkan wanita ini bicara."Apa yang kalian inginkan?” "Kau masih bertanya apa yang kuinginkan? Ternyata kau bukan laki-laki yang cerdas, sungguh membuatku kecewa.""Katakan saja, mungkin aku bisa melakukannya, daripada berbicara panjang lebar tapi intinya belum masuk," ucapku menahan geram.Bisa-bisanya wanita ini mengajak diskusi seorang Raksa, dia pikir dia siapa. Mau orangtua sekalipun,
Hari ini aku sengaja mengambil cuti untuk istirahat di rumah menemani Kiara dan Mama. Sekaligus mencari tahu bagaimana cara yang dilakukan Mama hingga membuat Kiara berubah drastis."Sebelah sini masih kotor, lho," Mama menunjuk beberapa sudut yang menurutnya kurang kinclong. Ya, begitulah Mama, semuanya harus terlihat sempurna. Kini sedang berperan sebagai mertua yang jahat, padahal kalau sama Kiara sikapnya halus banget, bagikan kapas."Iya, Ma."Entah berapa jam Jasmin bekerja, tapi semangatnya masih sangat tinggi. Baguslah, jadi Kiara tidak perlu melakukan banyak hal."Di atas sana kurang mengkilap," lagi-lagi Mama memberikan komentar.Segera Jasmin melakukannya.Nyapu sudah dia lakukan, dilanjut pel lantai. Keringat ditubuhnya sudah mulai bercucuran. Bahkan baunya sampai tercium. Jorok."Kamu kenapa tutup hidung, Mas?" tanya Kiara ketika melihatku memakai masker. Tentu saja karena bau. Apa dia tidak menciumnya? "Bau banget," beberapa kali aku terbatuk."Masa, sih?""Emang kamu g
Jasmin yang dikatai gendut oleh Mama menunjukkan wajah marah. Tentu saja dua tidak menerima.Aku sudah bertahun-tahun mengenalnya, seorang Jasmin bukanlah hal yang kita bisa mengerti."Kenapa? Ada masalah?" Mama memasang wajah tidak bersalah dan menanyai Jasmin dengan beberapa pertanyaan."Jadi istri Raka itu jangan baperan, Jas. Dia gak bakal suka. Mama juga sama. Lebih suka menantu yang kuat dan bisa melakukan apapun. Tidak manja," jelas Mama lagi."Iya, Jasmin minta maaf, Ma," lirihnya sambil sesekali melihat ke arahku dan Kiara yang saling berpandangan.Ngiri kali dia. Siapa suruh dulu kabur, tapi ada untungnya buatku. Jadi tidak punya istri yang bermuka dua. Wkwkkk."Mama juga lebih suka menantu yang bisa mengelola keuangan. Meskipun uang itu sedikit, tapi dia bisa membeli seluruh kebutuhan rumah selama satu bulan.""Itu justru penting, Ma," balas Jasmin, tapi matanya masih menatap kita."Apa kamu bisa?""Tentu saja Jasmin bisa!" serunya. Tentu dengan nada kesombongan.Tapi Kiara
Aku masih menimbang untuk memberitahukan kepada Raya kalau papanya masih hidup. Takut nanti dia akan terus kepikiran, terlebih lagi masalah Jasmin juga masih belum selesai."Kamu kenapa Mas, kok wajahnya kusut gitu?" Kiara mendekat dengan wajah penasaran. "Kayak pakaian yang baru diangkat dari jemuran tapi enggak langsung ditindak."Apa? Jemuran? Emang wajahku sekusut itu?Untuk membuktikan, aku menjauh dari Kiara dan mendekat ke arah cermin."Kusutnya sebelah mana? Orang tampan gini juga."Kiara ada-ada saja, mana ada kusut dalam wajah Raksa yang tampan enggak ketulungan ini."Beneran, Mas."Seperti biasa Kiara mulai cengar-cengir. Dasar.Kembali aku teringat tentang papanya Kiara, mertuaku. Kembali aku mendadak diam."Kamu kenapa, sih, Mas? Kok semenjak pulang berubah banget.""Maaf Ra, Mas capek, besok saja kita ngobrol lagi," aku sengaja menghindar. Kalau dekat, takutnya kecelakaan. Maklum, aku tipe suami yang idaman. Enggak tega membiarkan istri kepikiran.Kiara pun diam. Hanya a
Aku berjalan di sekitar koridor yang panjang di sebuah rumah sakit. Hening dan sepi. Bukan karena aku penakut, tapi aku sangat menyayangkan ini. Bagaimana mungkin pasien bisa sembuh jika begini."Kalian harus segera urus masalah koridor ini!” "Sudah kami urus, Pak. Tapi kami masih membutuhkan waktu," kedua orang di belakangku berbicara bersamaan."Bagus. Kalian pantas untuk mendapatkan bonus bulan ini.""Terimakasih BOSSA.""Hentikan panggilan gila itu! Apa kalian tidak ingat dokter itu menertawakan?""Mungkin saja dia hanya iri, Bos.""Benarkah?""Tentu.""Kalian jangan menilai negatif, dosa!"Tapi bisa saja itu memang benar, karena dia tidak berhasil mendapatkan Kiaraku dan akulah yang beruntung bisa bersamanya."Apa itu?" tanyaku menunjuk seorang wanita yang sedang duduk di taman. Wajahnya memancarkan cahaya, meksipun tertutupi dengan penampilannya yang berantakan. Tapi cahaya di wajahnya tetap saja terlihat."Iya, Bos.""Kalian tunggu di sini, aku akan masuk sendiri," pintaku pad
Tapi aku sama sekali tidak takut dengan wanita berumur. Sekali dorong saja, dia akan mengalami sakit yang amat.[Kata-kata itu, aku kembalikan padamu. Jangan lupa ingat umur!!!]Aku tersenyum sendiri setelah mengirimkan balasan, bisa kupastikan setelah ini dia akan semakin marah. Tapi aku tidak peduli.Mungkin dia baru sadar kalau tawanannya sudah berada di tanganku, eh, maksudnya ibu mertua.Wanita yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi untuk membiarkan anaknya selamat dan melihat, betapa indahnya dunia ini.Tapi, sayangnya dia belum pernah melihat seperti apa rupa anak yang dilahirkannya. Apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dan bagaimana wajah dan tubuhnya. Bahkan sampai puluhan tahun lamanya.Sungguh keji orang-orang itu, dengan entengnya mereka melakukan hal seperti ini kepada manusia, yang bahkan hewan pun tidak layak diperlakukan seperti ini."Anakku!!" Ibu langsung berlari ke arahku, memelukku erat. Seolah kita sudah lama tidak bertemu dan saling melepas ri
Badanku mendadak gemetar, lidah pun terasa kelu untuk bicara. Apa yang harus aku lakukan, padahal masalah Jasmin saja masih belum selesai. Bapak mertuaku juga masih menunggu kami jemput, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?Jasmin menyadari kedatanganku, dia menatapku dari bawah sampai atas. Semoga saja dia tidak sadar dengan perubahan pada diriku."Bukankah kalau pulang biasanya mengucap salam?" ucapnya tiba-tiba, kupikir dia tidak akan bicara.Mendengar suara Jasmin, Mama dan Kiara langsung membalikkan tubuhnya dan menghampiriku."Kok kamu enggak bilang-bilang kalau sudah pulang, Mas?" tanya Kiara sambil mencium takzim tanganku."Em, iya, banyak pekerjaan," jawabku singkat dengan seulas senyum. Agar mereka tidak curiga kalau aku menyimpan sesuatu."Apa di kantor ada masalah?" ucap Mama menimpali."Tidak ada kok, Ma. Semuanya baik-baik saja."Aku berharap Mama dan Kiara tidak tahu kalau aku baru saja bertemu dengannya. Bisa bahaya kalau mereka sampai tahu."Yakin kamu, Mas?" Ja