Share

Bab 7

[Ibu butuh uang untuk ke salon. Jangan lupa siapkan lima juta.]

Pesan itu kubaca berulang, tidak yakin dengan apa pesan yang baru saja Kiara terima. Berhubung Kiara sedang kecewa padaku, kuputuskan untuk membalas pesannya.

[Untuk apa aku harus selalu menyiapkan uang untuk ibu?]

Dengan hati yang tidak tenang karena takut Kiara lebih dulu datang, kutunggu balasannya dengan gelisah.

Beberapa menit telah berlalu, namun balasannya belum juga aku terima.

"Bentar, Ma, aku ajak Mas Raksa dulu untuk ikut makan," ucap Kiara yang kudengar tidak berada jauh dari pintu.

Mati aku kalau sampai dia tahu.

Berhubung suara Kiara makin dekat, aku lebih dulu menghapus pesan chat dari ibunya dan juga balasanku.

Lalu menyimpan ponselnya di tempat yang tidak dapat dia ketahui. Kecuali kalau Kiara mengobrak-abrik kamar ini.

"Mas, Mama ajak kita makan," ucapnya dengan muka ditekuk.

"Senyum, dong!"

"Kenapa? Aku kan juga pegel kalau harus senyum terus."

”Kalau nyuruh makan dengan senyum, Mas jadi semangat. Tapi kalau hanya gitu, ya, gimana mau semangat,” kilahku bercanda.

Jujur saja aku memang tidak terbiasa dengan wajahnya yang datar. Karena seringkali dia tersenyum dalam setiap melakukan hal apapun. Apalagi jika aku ada di rumah.

*

"Uhuk! Mas mau ajak kamu ketemu istri teman, Mas. Mau tidak? Tapi kalau saran Mas, sebaiknya kamu mau."

"Mas tuh maksudnya tanya aku atau maksa?" Kiara menunjukkan wajah keberatan.

"Hehehe, maaf. Intinya Mas ingin kamu punya teman."

Mama menyunggingkan senyum, "Bagus itu, Kiara. Sebaiknya kamu ikut saran Raksa."

Nah, aku tahu kalau Mama akan terus mendukung apapun keputusanku.

"Ya, sudah. Dimana aku harus menemuinya?"

Yey ... akhirnya Kiara mau.

"Besok kamu ikut Mas ke kantor," jawabku girang.

Padahal ingin rasanya aku melompat, tapi tidak berani. Takut dibilang gila.

***

Disepanjang jalan ke kantor, aku tidak berhenti bersiul. Ternyata bahagia itu sederhana, ya, Bun. Eh, aku tidak punya bunda, tapi Mama.

Lah, sama saja, kan?!

"Mas bisa gak kalau aku enggak jadi ketemu istrinya teman Mas itu?” tolak Kiara yang tiba-tiba berubah.

"Kenapa? Bukankah semalam sudah mau?"

"Em, itu, Mas. Aku mendadak kangen sama Della," kilahnya yang kutahu berbohong.

Orang Della sudah dititipin ke Mama kok. Karena Mama bilang hari ini bakal full time di rumah.

"Mas tidak enak untuk membatalkannya, Ra. Soalnya istri teman Mas ini adalah orang yang hebat. Masak sudah janji tiba-tiba dibatalkan?"

Bukan Raksa namanya kalau tidak pandai cari alasan. Sedingin apapun sikapku pada orang lain, aku tetap harus selalu menghangatkan istriku.

Karena ketenangan sebuah rumah tangga itu ada jika istri sudah merasa bahagia.

"Ya udah, deh," jawabnya terpaksa.

Yes.

Kuparkirkan mobil di dekat dua mobil yang sesuai dengan mobilku. Siapa lagi kalau bukan punya Reyhan dan Sultan.

Belum aku mencari keberadaannya, tapi Sultan sudah duduk tenang di ruanganku.

Tapi dia langsung berdiri ketika melihat aku datang bersama Kiara.

"Perkenalkan saya Sultan," ucapnya sambil tersenyum pada Kiara.

Perkenalan tanpa jabat tangan. Ck! Inilah Sultan.

"Saya sudah tahu," jawab Kiara ketus. Mungkin dia kesal dengan cara senyum Sultan. Padahal dia hanya tersenyum pada istrinya dan sekarang sama Kiara, menghargai dia istriku.

Aku terkekeh melihat reaksi Sultan.

"Kiara, dia adalah atasan sekaligus rekan kerja, Mas. Sultan Muhammad Nakib," aku memperkenalkan.

"Tunggu, jadi Sultan yang dimaksud oleh Mas Raksa selama ini adalah dia. Laki-laki yang tidak mudah untuk ditemui itu?" Kiara mendadak canggung.

Mungkin awalnya dia berpikir kalau Sultan yang ada di depannya ini hanya orang yang mengaku Sultan.

"Bukannya dia dingin?" bisik Kiara di telingaku. Padahal Sultan saja bisa mendengarnya karena ini sama saja bukan berbisik.

Aku hanya mengangguk.

"Tapi kok tadi dia senyum ke aku?" bisiknya lagi.

"Karena kau Istriku."

Kuakui semua wanita mengenal Sultan sebagai sosok laki-laki yang dingin dan sulit untuk ditemui. Itu semua dia lakukan karena dalam hatinya tidak ada sedikit pun keinginan untuk berbuat baik pada wanita lain.

"Saya Kiara," ucapnya mengangguk kecil.

"Saya juga sudah tahu," Sultan mengatakan perkataan yang sama seperti Kiara.

"Istri saya sudah menunggu di ruangan sana," ucapnya lagi dan meminta Kiara agar tidak membuat istrinya menunggu.

Setelah dipastikan Kiara masuk ke ruangan itu, aku dan Sultan pun bergegas masuk ke ruangan sebelahnya. Dalam artian kita seperti sedang menyaksikan life bagaimana Kiara akan bercerita pada Mbak Sinta.

Jangan buat Mas kecewa, Ara.

"Mbak Kiara?" Mbak Sinta membimbing Kiara untuk duduk dan mengobrolkan hal yang biasa.

Sampai tiba pertanyaan itu harus dilontarkan juga.

"Apa Mbak Kiara pernah merasa tertekan?" tanya Mbak Sinta.

Bukannya menjawab, tapi Kiara malah menangis.

"Apakah pernah, Mbak? Maaf jika pertanyaan saya membuat Mbak Kiara sangat bersedih."

"Tidak apa-apa, Mbak. Hanya saja saya bingung harus mulai darimana."

Melihat wajah Kiara begitu membuatku tidak tahan untuk memeluknya.

Tapi tidak bisa.

Kini aku harus bisa menahan, agar Kiara bisa mengungkapkan isi hatinya.

"Tidak apa kalau tidak mau cerita."

"Saya mau, Mbak," ucap Kiara mantap.

Aku dan Sultan semakin memasang wajah serius.

"Baiklah. Ceritakan kalau sudah nyaman dan tenang."

Mbak Sinta memberikan satu gelas minum dan beberapa potong buah untuk mengurangi kegelisahan Kiara.

Kiara mulai mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

"Semuanya berawal dari Ibu yang selama ini aku hormati meminta dibayar, Mbak," jawabnya lirih.

Aku dan Sultan saling melempar pandangan.

Ibu minta dibayar?

Apa ada seorang Ibu yang meminta anaknya membayar semua jasanya?

Keterlaluan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status